Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tontu

23 Juni 2017   08:08 Diperbarui: 23 Juni 2017   09:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Telake, Long Kali | dok.pri

Sebuah mini bus angkutan umum melaju dengan kecepatan sedang menelusuri jalan raya di tengah hujan deras, angin kencang serta ribut petir. Sebenarnya malam masih lagi ranum dan baru saja datang menggantikan senja, namun alam nampak sangat hitam pekat selain karena hujan tengah mengguyur bumi, juga lantaran sedang mati lampu. Tidak tampak penerangan apapun di depan rumah penduduk di sepanjang kanan-kiri jalan. Tidak ada orang yang lalu lalang dan tentunya mereka lebih memilih berada dalam rumah ketimbang bercengkrama di beranda dalam kondisi cuaca demikian. Hanya cahaya putih berbentuk cambuk menyilau dan mengerikan dari petir yang datang bertaut-tautan menerangi alam malam. Cahaya petir saling sambar menyambar dan bersahut-sahutan juga terlihat di kejauhan, di balik pepohonan, bukit-bukit dan gunung-gunung laksana api kebakaran.
Mini bis berisi penuh sesak dengan penumpang dan barang bawaan mereka yang berjejalan di lantai dan sela-sela kursi serta sebagian dipangku oleh pemiliknya. Badrun duduk pada pinggir kiri kursi paling belakang. Dia bisa merasakan sesekali semburat air hujan menghantam wajah dan dadanya, menerobos melalui sela-sela kisi kaca jendela yang renggang. Badrun tidak pernah merencanakan bahwa dia akan bergabung  dalam rombongan pemudik lebaran yang berangkat dari terminal Penajam menuju arah selatan dan menjadi salah satu penumpang mini bus tua dengan pegas pada sistem suspensinya tidak bagus lagi, sehingga kendaraan terguncang setiap kali melintasi bagian permukaan jalan yang tidak rata, rusak dan berlubang.


Keputusan untuk menjadi bagian dari pemudik lebaran, sebuah perayaan kepulangan ke kampung halaman paling dirindukan dan dramatis bagi para perantau, baru Badrun putuskan pada tengah hari, setelah matahari tergelincir menuju senja tadi. Telah belasan tahun lamanya dia teguh bertahan melawan amukan kerinduan akan orangtua, keluarga dan handai tolan. Ingatannya kembali melayang pada rentetan peristiwa yang membimbing langkahnya pulang ke akarnya yang hakiki, kampung halaman.


“Badrun?” sapa seseorang kepada seorang laki-laki bertopi purun yang tengah memindahkan buah-buahan dari keranjang sepeda motornya ke meja penjual buah-buahan.
Lelaki usia pertengahan tiga puluhan tahun itu mengangkat sedikit bagian depan topinya dan menatap seksama wajah orang yang barusan bertanya. Tampak berkelebat kilauan rasa kaget dari tatapan matanya.


“Haris!” Hanya satu kata itu yang keluar mulut Badrun dan selanjutnya kedua lelaki dengan usia sepantaran itu saling merentangkan kedua tangan mereka untuk  berpelukan erat dan bergantian membopong, menyisakan keheranan pada pemilik lapak buah yang menyaksikan ulah mereka.


“Sedang apa kau di Pantai Manggar ini?” Tanya Badrun kepada Haris selepas Badrun menerima uang pembayaran dari buah-buahan yang dia serahkan kepada penjual buah. Mereka beranjak menjauh dari deretan pedagang kaki lima dan asongan yang banyak bertebaran di sepanjang pantai dan kini duduk di atas pagar tembok pemecah ombak.
“Sudah pastilah berlibur. Aku membawa istri dan kedua anak kami. Itu mereka tengah berenang .” Jawab Haris seraya menunjuk ke arah anak dan istrinya di tepi pantai yang jaraknya sekira 50 meter dari tempat mereka berdua duduk.


Badrun menatap ke arah istri dan dua orang anak dari salah seorang sepupu jauh dan juga merupakan seorang kawan paling karibnya di kampung. Badrun memperkirakan kedua anak laki-laki dan perempuan dari temannya itu berusia 13 dan 10 tahun. Dia berusaha mengenali siapa istri Haris yang sesekali menatap ke arah mereka berdua dan setiap kali itu pula Badrun berusaha membuang muka, sampai akhirnya menyerah dan bertanya, “Siapa perempuan yang kau jadikan istri itu?”


“Jangan cemas. Dia tidak mengenalimu sebab dia bukan orang kampung kita. Mertua saya orang Balikpapan sini,” tukas Haris seperti mengetahui kekhawatiran kawan sepermainan semasa kecil dan remajanya. “Setelah belasan tahun lamanya kita tidak bertemu, boleh aku bertanya tentang beberapa hal, Badrun?”


Badrun hanya diam untuk beberapa saat, “Jika kau ingin, kau saja yang bercerita. Ceritakan apa saja yang sekiranya perlu kau sampaikan menurutmu” ujarnya menanggapi.
Haris menangkap jawaban Badrun barusan sebagai isyarat bahwa kawannya itu tidak ingin bercerita tentang dirinya, tetapi juga tersirat dia ingin tahu tentang kabar kampung halamannya.


“Aku tengah menjalani cuti tahunan dari perusahan perkebunan kelapa sawit tempatku bekerja sekarang, lokasinya tidak jauh di hulu sungai kampung kita. Hampir sepuluh tahun sudah aku pindah bekerja di sana setelah tempat bekerjaku sebelumnya, sebuah perusahaan kayu di tanah hulu berhenti beroperasi. Aku tetap tinggal di kampung dan pergi-pulang ke tempat kerja setiap hari. Telah banyak dibangun jalan darat di sisi kiri dan kanan sungai yang membelah kampung kita menuju desa-desa di hulu dan hilir sungai yang dulu hanya bisa dijangkau melalui perjalanan sungai.”


Haris berhenti sejenak bercerita seraya memperhatikan reaksi Badrun, namun kawannya dengan kulit terlihat lebih gelap dibanding saat dia masih tinggal di kampung mereka dulu tidak menoleh dari pandangannya yang sejak tadi menatap ke arah laut lepas. “Setelah adanya jalan darat, maka transportasi sungai berangsur-angsur sepi, hanya sesekali kapal kelotok pengangkut barang dan perahu ketinting bermuatan beberapa orang penumpang melintas dalam sehari. Hanya tersisa satu-dua lanting, tempat warga mandi dan mencuci pakaian di sungai serta menambatkan kapal serta perahu. Banyak warga tidak lagi berani turun ke sungai karena merebaknya kejadian warga digigit buaya saat tengah berenang. Entah kenapa pula Sungai Telake semakin keruh airnya dan semakin sulit mendapatkan ikannya. Pernah aku memancing di beton bekas dermaga ponton penyeberangan, hampir setengah hari aku duduk di sana tanpa sekalipun umpan pancingku disentuh ikan. Entah kemana raibnya ikan baung dan udang galah yang dulu sering kita lihat menghampiri bibir pantai saat kita tengah mandi berenang di sungai kala sore hari pada masa kecil kita.”


Sekali lagi Haris menahan cerita demi mencari reaksi Badrun pada rona wajahnya. Badrun membetulkan letak topi purunnya yang tadi sedikit terangkat ke atas tertiup kencangnya hembusan angin laut. “Lanjutkan saja bercerita.” ujar Badrun, masih tanpa menoleh ke arah Haris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun