Mohon tunggu...
Matkodak
Matkodak Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Peminat masalah sosial politik, kesenian dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lewat Lurah Susan, Kaum Picik Agama Merongrong Ibukota

29 Oktober 2013   02:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:54 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1382988906120016866

SEMAKIN mengamati sepak terjang kaum picik agama dalam kasus Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, semakin absurd rasanya. Indonesia sedang dipaksa mundur 100 tahun, dan diajak terbang ke gurun pasir di abad pertengahan.

Jelas sekali, kaum picik agama seperti kelompok FUI dan FPI sedang mencari-cari masalah, menghidupkan fundamentalisme, mendompleng isu sektarian, demi mengibarkan bendera ormas mereka, untuk menaikkan posisi tawar mereka dengan elite, dan dengan sengaja mengacaukan NKRI yang menjunjung tinggi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika ini.

Semalam saya melakukan browsing di internet, mencari bahasan seputar isu agama dalam pemerintahan, dan mendapatkan situs menarik, di Larantuka - Nusa Tenggara Timur, NTT.Saya membaca wawancara lengkap seorang pastor di NTT yang membahas isu agama dalam pemilihan gubernur NTT.

http://www.floresbangkit.com/2013/04/frans-amanue-pr-hanya-politisi-picik-yang-gunakan-isu-sara/

“Saya bilang, yang gunakan isu agama untuk meraih kemenangan hanyalah politisi picik yang mungkin saja sedang takut menghadapi kekalahan, kata Romo Frans Amanue Pr., kepada situs Flores Bangkit.com di pastoran Postoh, Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut Romo yang dikenal kritis dan dekat dengan persoalan masyarakat ini, menghadapi isu seperti ini kita bisa belajar dari sejarah kepemimpinan di NTT. Para gubernur entah Katolik atau Protestan sama-sama memimpin seperti biasa menurut tata cara pemerintahan formal dan birokratis. Karena itu, lanjut Romo siapa pun agamanya, tidakpenting.

“Yang kita pilih itu pemimpin masyarakat yang bisa mengayomi semua warga tanpa membeda-bedakan agama dan asal usul,” tegas pastor keuskupan Larantuka, yang juga dikenal sebagai antropolog itu.

Lebih lanjut Romo Frans bertanya retioris, kalau sebuah propinsi dipimpin oleh gubernur yang beragama dan ada kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, maka itukah pemimpin yang beragama? Beragama kok korupsi? Padahal tidak ada satu agama pun yang membenarkan korupsi.”

Romo yang kini tengah menikmati masa pensiunan di keuskupan Larantuka ini menjelaskan,jika seseorang itu beragama Katolik yang benar dan menjadi pemimpin maka dalam masa kepemimpinannya minimal kurang terdengar ada korupsi. Sehingga kita bisa atas nama agama bangga punya orang baik di pemerintahan, lalu cukup ada alasan untuk memilih. Dan rakyat beragama lain juga tentu mau pilih karena dia orang benar.

Karena itu Romo Frans menganjurkan agar jangan bawa-bawa agama dalam pilgub ini. Biarkan masyarakat menilai siapa yang jujur dan dipercaya sebagai gubernur mereka. Para politisi jangan picik,” imbuhnya.

Yang saya kutip dari tulisan panjang di atas merupakan filme sebelum Pilgub NTT april 2013 ini. Namun sampai semalam file masih ada.

Tapi, yang ingin saya tegaskan adalah, jika nun di NTT sana - yang jauh dari ibukota - urusan agama sudah ditinggalkan dalam urusan politik pemerintahan, mengapa di ibukota justru agama lurah jadi masalah? Mengapa kaum picik agama - seperti FUI dan FPI - masih mengobarkan fanatisme sempit, menjual isu agama, di dalam lingkup kelurahan. Dan mengira itu akan laku.

Di ibukota, peranan Lurah “hanyalah” administratur wilayah, sebagai kepanjangan Camat dan Walikota. Seorang Lurah, di Jakarta saat ini, tidak akan mampu meng-Kristen-kan, mem-Islam-kan, mem-Budha-kan, meng-Hindu-kan, men-Sekuler-kan warganya. Sebab, dalam urusan agama, warga sudah punya pedomannya sendiri.

Seorang Lurah memang bisa bikin wilayahnya kotor (atau bersih), tak terurus (jadi rapi), banyak preman (jadi aman), balita bergizi buruk (jadi sehat), kaum manula terlantar (jadi sejahtera), dst. Tapi ketaatan atau ketidak-taatan warga dalam beragama - jelas tidak ditentukan oleh seorang Lurah.

Sehingga ketakutan akan kehadiran Lurah Cantik Susan Jasmine di Lenteng Agung jelas merupakan ekspresi kebodohan. Atau memang disengaja untuk merongrong keBhinekaan Indonesia, karena adanya order penyebaran paham sempit, picik, dari tuannya di Timur Tengah sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun