Mohon tunggu...
Mathilda AMW Birowo
Mathilda AMW Birowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan PR

Empat dasawarsa menggeluti bidang Corporate Communication di Kompas Gramedia, Raja Garuda Mas Group dan Bank CIMB Niaga. Memiliki pengalaman khusus dalam menangani isu manajemen serta strategi komunikasi terkait dengan akuisisi dan merger. Sarjana Komunikasi UI dan Sastra Belanda ini memperoleh Master Komunikasi dari London School of Public Relations serta sertifikasi Managing Information dari Cambridge University. Setelah purnakarya, menjadi Konsultan Komunikasi di KOMINFO. Saat ini mengembangkan Anyes Bestari Komunika (ABK), dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia; Universitas Multimedia Nusantara; Trainer di Gramedia Academy dan KOMINFO Learning Center serta fasilitator untuk persiapan Membangun Rumah Tangga KAJ; Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik RI; Ketua Umum Alumni Katolik UI; Koordinator Sinergi Perempuan Indonesia (Kumpulan Organisasi Perempuan Lintas Iman dan Profesi). Memperoleh penghargaan Indonesian Wonder Woman 2014 dari Universitas Indonesia atas pengembangan Lab Minibanking (FISIP UI) dan Boursegame (MM FEB UI); Australia Awards Indonesia 2018 aspek Interfaith Women Leaders. Ia telah menulis 5 buku tentang komunikasi, kepemimpinan dan pengembangan diri terbitan Gramedia. Tergabung dalam Ikatan Alumni Lemhannas RI (PPRA LXIV/Ikal 64).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Komunikasi Antarpribadi Vs Penyerangan Karakter

11 November 2023   08:02 Diperbarui: 11 November 2023   08:18 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: psikologiklinis/unakiblogspot.com

SAAT KETERBUKAAN DIKEDEPANKAN,

APA YANG SALAH DENGAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI?

Saat ini banyak pihak termasuk lembaga-lembaga berbasis keagamaan memperkuat 'ruang-ruang' nyaman seperti yang disebut dengan ramah anak, ramah lansia, ramah disabilitas, termasuk juga perlindungan terhadap kekerasan bagi kaum yang dianggap rentan (anak-anak dan lansia). Perlindungan terhadap kekerasan ini selain melindungi mereka yang dirudung kekerasan (pelecehan atau tindak kekerasan seksual), mendorong masyarakat  untuk berani berbicara dan mengadukan kasusnya kepada Tim Perlindungan Terhadap Kekerasan yang dibentuk oleh lembaga. Terkait dengan hal ini berbagai pendekatan dapat disorot mulai dari aspek psikologis, hukum, budaya, dan tentu saja aspek keagamaan. Tulisan ini meninjau bagaimana upaya perlindungan terhadap kaum rentan dari kekerasan (fisik, verbal dan non verbal) melalui pendekatan komunikasi. Bahwasanya upaya-upaya ini sangat perlu didukung. Disamping itu, perlu mekanisme yang jelas agar tujuan dari program perlindungan ini dapat menjadikan masyarakat sadar terhadap perlindungan diri, bukannya justru membuka celah bagi penyerangan karakter atas pengaduan yang tak berdasar sehingga menimbulkan korban lainnya.

Berawal dari Komunikasi Antarpribadi

Joseph A. DeVito dalam The Interpersonal Communication Book mengatakan secara sederhana bahwa komunikasi antarpribadi adalah interaksi verbal dan nonverbal antara dua atau lebih orang yang saling terhubung. Mengapa kita perlu memahami komunikasi antarpribadi secara lebih baik, padahal sejak kecil kita sudah  berkomunikasi dengan begitu lancar. Sebagai makhluk sosial kita dipicu untuk mempelajari komuniksi antarpribadi agar dapat menghormati perspektif yang berbeda dari kita sendiri maupun komunitas kita. Kita mungkin dapat memilih teman atau kolega bisnis tetapi kita tak dapat memilih atasan kita harus seperti apa, asal dari mana, karakternya seperti apa. Dalam persaingan global, dan terbukanya akses relasi dan bisnis dari berbagai penjuru dunia menuntut kita juga untuk dapat bekerjasama dengan orang dari berbagai usia, ras, etnis.

Komunikasi antarpribadi sangat penting dikuasai di era digital saat ini karena kita berkomunikasi tak hanya secara langsung, bahkan saat ini akan lebih sering kita berbicara melalui media (sosial) artinya berkomunikasi secara tertulis (texting). Maka aspek-aspek berkomunikasi perlu kita pahami dan kembangkan guna memberi nilai tambah bagi kompetensi pribadi maupun dalam menjalin relasi dengan berbagai pihak. Mengacu pada How American Communicate, 1999 disebutkan bahwa pada survei yang dilakukan terhadap 1.001 orang berusia di atas 18 tahun, 53 persen merasa komunikasi kurang efektif dalam pernikahan yang cenderung mengacu pada kegagalan pernikahan.

Sementara itu kemampuan berkomunikasi antar pribadi juga berkaitan langsung dengan kesuksesan individu dalam menjalankan profesi mereka. Sebagai Corporate Communication di beberapa perusahaan, konsultan komunikasi pada lembaga pemerintah dan juga Ormas, seringkali Penulis menjumpai persoalan datang dari hal yang sepele. Misalnya, seorang manajer tersinggung karena pesan WA nya tak dibalas segera oleh anak buahnya (pesan WA yang disampaikan itu diluar jam kerja, dan ternyata anak buahnya adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam bagi keluarga, tidak memegang hp). Karena rasa 'baper' (bawa perasaan) ini, kemudian sang manajer mulai melakukan aksi penekanan terhadap anak buahnya, sedemikian rupa sehingga merasa tidak nyaman dan si anak buah ini mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Apa yang menyebabkan salah pengertian?

Dikarenakan komunikasi telah menjadi bagian dari keseharian aktifitas kita, maka seringkali pula kita menjadi kurang peka terhadap akibat yang kita ucapkan. Kita perlu memahami sifat-sifat alami dari komunikasi Interpersonal atau Antarpribadi.

Sifat alami 1 - Komunikasi antar pribadi melibatkan individu yang saling bergantung, misalnya antara ayah dan anaknya, karyawan dengan atasan atau antara seorang gembala (pemuka agama) dengan umatnya. Mereka saling bergantung karena memiliki sekaligus memberi pengaruh satu dengan lainnya. Seorang anak laki-laki yang cara berkomunikasinya mirip dengan ayahnya, atau seorang adik yang format kata-katanya mirip dengan kakaknya, mereka saling memengaruhi dan dipengaruhi karena hubungan komunikasi yang intens. Demikian halnya dengan kebiasaan dalam memberi kata sambutan. Coba kita perhatikan, mulanya dari presiden Jokowi yang dalam setiap kata sambutan selalu mengawali dengan salam dari seluruh agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yaitu "Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan". Hal ini kemudian diikuti oleh seluruh pejabat bahkan masyarakat, dengan anggapan demi keselarasan dan keadilan. Bagaimana dengan masyarakat yang menganut aliran kepercayaan sebagai agama asli orang Indonesia? Maka belakangan ini orang sering menambahkan kata 'rahayu'. Persoalannya adalah apakah salam ini sudah baku atau merupakan kewajiban?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun