Mohon tunggu...
Mathilda AMW Birowo
Mathilda AMW Birowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan PR

Empat dasawarsa menggeluti bidang Corporate Communication di Kompas Gramedia, Raja Garuda Mas Group dan Bank CIMB Niaga. Memiliki pengalaman khusus dalam menangani isu manajemen serta strategi komunikasi terkait dengan akuisisi dan merger. Sarjana Komunikasi UI dan Sastra Belanda ini memperoleh Master Komunikasi dari London School of Public Relations serta sertifikasi Managing Information dari Cambridge University. Setelah purnakarya, menjadi Konsultan Komunikasi di KOMINFO. Saat ini mengembangkan Anyes Bestari Komunika (ABK), dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia; Universitas Multimedia Nusantara; Trainer di Gramedia Academy dan KOMINFO Learning Center serta fasilitator untuk persiapan Membangun Rumah Tangga KAJ; Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik RI; Ketua Umum Alumni Katolik UI; Koordinator Sinergi Perempuan Indonesia (Kumpulan Organisasi Perempuan Lintas Iman dan Profesi). Memperoleh penghargaan Indonesian Wonder Woman 2014 dari Universitas Indonesia atas pengembangan Lab Minibanking (FISIP UI) dan Boursegame (MM FEB UI); Australia Awards Indonesia 2018 aspek Interfaith Women Leaders. Ia telah menulis 5 buku tentang komunikasi, kepemimpinan dan pengembangan diri terbitan Gramedia. Tergabung dalam Ikatan Alumni Lemhannas RI (PPRA LXIV/Ikal 64).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Perempuan Bersatu (Bagian Empat)

28 Juli 2021   17:34 Diperbarui: 28 Juli 2021   18:00 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. Pelita / The Servant Leaders (Dokpri)

ORGANISASI PEREMPUAN, KEKUATAN DAN TANTANGANNYA

Kepemimpinan bukan hanya kemampuan manajerial dan memengaruhi orang lain, tetapi keberanian untuk meluruskan yang tidak selaras,  mencerahkan dimana ada kekaburan. (Mathilda AMW Birowo)

Australia, negeri kangguru dengan multikultur-nya ini memiliki kedekatan dengan Indonesia dalam arti keragaman budaya, etnik dan kepercayaan. Dibandingkan dengan Australia, jumlah organisasi perempuan di Indonesia jauh lebih banyak. Dari data Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) saja, organisasi ini memiliki 97 anggota terdiri dari organisasi perempuan dengan berbagai latar belakang dan ragam kegiatannya. 

Dari segi peluang, saat ini di Indonesia terbuka banyak jalur untuk dapat berperan dalam kebijakan dan menyuarakan kepentingan perempuan secara independen. Sebagai contoh, menjadi anggota dalam Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak (KPA) atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Keikutsertaan terbuka bagi publik meski tetap melalui seleksi dan uji kepatutan.

Spirit Organisasi Berbasis Agama

Salah satu kekuatan pada organisasi perempuan khususnya yang berbasis agama mencakup struktur organisasi yang telah terbangun mulai dari tingkat akar rumput atau setingkat RT/RW hingga ke Dewan Pengurus Daerah serta Nasional. Organisasi perempuan sesuai sifat kewanitaannya, mengutamakan kerapihan dan keteraturan dalam tata kelola dan cenderung detail di setiap aspek.  Selain itu setiap organisasi telah memiliki nilai-nilai dasar yang telah dipahami oleh para pemimpin, pengurus maupun anggotanya. Nilai-nilai dasar ini menjadi begitu kuat karena didasari oleh nilai-nilai kepercayaan. 

Ditambah lagi budaya Indonesia yang mengedepankan musyawarah dan mufakat disertai tenggang rasa dalam setiap kebijakan yang diambil, termasuk ketika menghadapi krisis organisasi. Meski dalam prakteknya pendekatan dan prioritas yang diambil dapat saja berbeda, terutama karena unsur kepemimpinan sangat melekat pada bagaimana roda organisasi dijalankan. Seorang pemimpin dalam banyak hal menjadi penentu kesuksesan sebuah organisasi.

Sebagai contoh, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Wanita Katolik RI (WKRI)  menjunjung  nilai-nilai Solidaritas dan Subsidiaritas (2S) dan Asih Asah Asuh (3A). Selain itu sejarah panjang menunjukkan WKRI telah mencatat lahirnya kader-kader penggerak sosial kemasyarakatan yang  memiliki peran penting dalam kancah sosial-politik-ekonomi dan budaya. Organisasi ini juga berperan dalam lahirnya Kowani. 

Sementara itu Meliani Endang Murtiningsih dari  Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba mengakui kekuatan mereka adalah pada unsur homogenitas yakni kebanyakan anggota adalah pendeta dan calon pendeta perempuan. Sedangkan perwakilan pengurus Bah' menyebutkan kekuatan organisasi terletak pada nilai-nilai organisasi yang dianut, yaitu bersifat inklusif dan kekeluargaan, mencakupi bagian anak, remaja, bapak, ibu, dan lanjut usia. 

Aspek inklusifitas juga tercermin pada visi misi organisasi. Srikandi Lintas Iman (Srili) Yogya, yang meletakkan dasar kekuatan mereka pada keberagaman pengurus dan anggota dimana mereka berasal dari berbagai latar belakang kepercayaan termasuk juga aliran kepercayaan yang merupakan kepercayaan awal yang dianut penduduk asli Indonesia.

Masing-masing organisasi memiliki kekuatan yang dianggap sebagai fondasi di setiap kegiatan. Lembaga keagamaan Buddha, Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI) menjadikan Dharma atau ajaran Buddha sebagai  pilar utamanya dalam membina umat Buddha NSI agar mampu mengaplikasikan dan memperdalam keyakinannya dalam mengarungi bahtera kehidupan. Ada tiga pilar sentralisasi yang di jalankan NSI dari tingkat pusat hingga ranting yaitu perihal kebijakan, keuangan, dan ajaran. 

Tristina Handjaja yang menangani kegiatan-kegiatan perempuan di lingkungan NSI memberi contoh bagaimana dasar itu diterapkan dalam sentralisasi di bidang keuangan. Ketika hendak membangun rumah ibadah di tingkat ranting, penghimpunan dana dari semua lini (ranting, daerah, wilayah, pusat) dilakukan melalui satu pintu secara tercatat. 

Setelah itu pusat akan mengalokasikan kembali ke lini dibawahnya sesuai kebutuhan/penganggaran. Pengelolaan dana untuk kemaslahatan seluruh umat berpedoman pada pemahaman "dana paramita" yang merupakan sumber karma kebajikan dan maknanya berbeda dengan sumbangan.

Terkait dengan kepemimpinan, Nasrin Astani dari kantor Humas dan Pemerintahan Majelis Rohani Nasional Bah' menyebutkan bahwa  kerangka administrasi yang ditetapkan oleh Sang Suci Bah'u'llh (Pembawa Wahyu Agama Bah') begitu kuat, terdiri dari lembaga yang dipilih secara bebas tanpa melalui pencalonan atau kampanye. 

Lembaga ini dikenal dengan sebutan Majelis Rohani yang terdapat pada tingkat lokal dan nasional, yang dipilih setiap tahun. Lembaga-lembaga itu bermusyawarah dan membuat rencana bersama masyarakat demi kesejahteraan, pendidikan rohani, dan perkembangan sosial bagi seluruh masyarakat di lingkup tanggung jawab mereka. Di antara "sifat-sifat yang penting" yang disebutkan oleh Sang Wali adalah kesetiaan yang tidak dapat diragukan, pengabdian yang tidak mementingkan diri sendiri, pikiran yang terlatih dengan baik, kemampuan yang diakui dan pengalaman yang matang. 

Dengan memiliki kesadaran yang lebih besar mengenai tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh badan yang akan dipilih itu, mukmin dapat menilai dengan layak orang-orang yang harus dipilihnya. Kemudian, dari antara kumpulan orang-orang yang diyakini oleh pemilih  memenuhi kualifikasi untuk mengabdi, lalu seleksi dilakukan dengan memberikan pertimbangan yang layak pada faktor-faktor lainnya. Misalnya, usia, keragaman, dan gender. 

Dijelaskan pula, kehidupan masyarakat Bah' mewajibkan setiap mukmin yang loyal dan setia untuk menjadi pemilih yang cerdas, yang tahu tentang keadaan di masyarakatnya, serta bertanggung jawab, dan juga memberinya kesempatan untuk meningkatkan diri. Artinya di sini, mengenal calon pemimpin dengan baik sangatlah perlu agar tidak memilih 'kucing dalam karung'.

Tak sedikit narasumber menegaskan bahwa kekuatan dalam organisasi adalah pada musyawarah bersama, tidak ada pemimpin individu, ketua hanyalah memfasilitasi jalannya musyawarah.  Sistem ini agak berbeda dengan organisasi lainnya seperti Wanita Katolik RI (WKRI) yang menganut Kepresidiuman terdiri dari Ketua Presidium, Anggota Presidium 1 dan Anggota Presidium 2 yang dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan saling berkoordinasi. 

Mereka dipilih melalui Kongres Nasional yang diselenggarakan setiap 5 tahun dan diajukan oleh ranting yang mekanismenya diatur oleh Komisi Pemilihan. Kongres Nasional merupakan forum tertinggi dimana selain pemilihan pimpinan, juga dilakukan pertanggungjawaban dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) kepada anggota serta rancangan program kerja ke depan. 

Kaderisasi dan Globalisasi

 Kaderisasi juga merupakan unsur penting yang tak dapat dipisahkan dari kepemimpinan. Pemimpin memiliki kewajiban pula dalam mempersiapkan kader-kader pengganti yang berkualitas. Terkait dengan kaderisasi, hampir seluruh perwakilan organisasi berpendapat bahwa pengurus telah memiliki pegangan baku dalam mempersiapkan para kader.  

NSI antara lain mengutarakan tentang usia bagi pemilih dan yang berhak dipilih adalah setiap orang yang telah berumur 21 tahun dengan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga kaderisasi terjadi secara otomatis , selaras dengan prinsip kesatuan umat manusia. Kepengurusan organisasi bersifat sukarela, dan setiap pengurus di tingkat pusat sampai ranting bertanggung jawab untuk membina umat di yurisdiksinya masing-masing sesuai aturan dalam AD-ART.

 Usia organisasi ternyata tak serta merta menjamin adanya sistem baku dalam mempersiapkan caon-calon pemimpin. Beberapa narasumber dari sebuah organisasi yang jelang 1 abad usianya mengakui, kaderisasi dirasakan masih kurang mendapat perhatian. Mereka menegaskan, seyogyanya calon-calon perlu dipersiapkan untuk pemimpin masa depan dengan kapasitas inklusif dan memahami isu-isu nasional, global dan digitalisasi.  

Program-program yang dikembangkan perlu menjawab kebutuhan terkini dari masyarakat, terutama bagaimana organisasi mampu berjejaring secara lintas serta internasional.  "Kaderisasi masih menjadi PR besar karena belum memiliki konsep yang jelas, dan program-program yang dilakukan sifatnya masih lokal. Padahal kita sudah terbilang senior dalam usia"  ungkap seorang aktivis senior dari Jawa Tengah.

Secara umum semua perwakilan organisasi mengakui bahwa kaderisasi yang tak terkelola dengan baik akan menimbulkan krisis kepemimpinan sehingga sangat perlu dipersiapkan sejak dini.  Para narasumber juga berharap agar pengurus yang dibentuk harus memiliki jiwa kepemimpinan yang melayani, tidak menjadikan organisasi sebagai kendaraan saja. 

Pemimpin masa depan harus terlatih untuk mengambil keputusan secara kolaboratif, membangun usaha yang meliputi proses tindakan, musyawarah, dan refleksi, bekerja dalam sikap belajar, membangun persatuan dengan menghargai keanekaragaman mulai dari dalam organisasi. "Jika secara internal organisasi kuat, maka akan mudah untuk bekerjasama ke luar. 

Organisasi yang  secara  internal solid dengan sendirinya membangun citra dan reputasi yang baik bagi sehingga  akan mudah berelasi secara lintas organisasi," ditambahkan oleh seorang pemimpin senior.  Ia juga menambahkan, perlunya melibatkan orang-orang muda didalam kepengurusan, harus diakui bahwa kaum muda memiliki kapasitas dan semangat untuk mempelajari hal-hal baru dan mampu membuat terobosan dalam mengoptimalkan teknologi digital. 

"Kalau organisasi mau go international, perlu memahami strategi global dan terbuka pada masukan-masukan baru. Sekarang begitu mudah kita memperoleh informasi melalui teknologi komunikasi, termasuk tentang lembaga-lembaga internasional dimana kita dapat berkolaborasi."

Kepemimpinan & jejaring

Coc. Pelita / Perlu bangun jejaring  (Dokpri)
Coc. Pelita / Perlu bangun jejaring  (Dokpri)

Sementara itu, organisasi yang terbilang baru seperti Srikandi Lintas Iman (Srili) bahkan telah memiliki pedoman dalam hal mempersiapkan calon pemimpin atau yang akan mengambil tongkat estafet dari kepemimpinan sebelumnya. Praktik ini selaras dengan unsur-unsur dalam teori Servant Leadership yang mencakup komitmen terhadap mempersiapkan calon pemimpin masa depan. Kepemimpinan yang mumpuni menjadikan Srili berkembang pesat dalam keanggotaan dan kegiatan-kegiatannya serta mampu membangun jejaring dengan lembaga-lembaga internasional. 

Meski belum memutuskan untuk berbadan hukum, Srili telah berhasil memperoleh dana hibah dari organisasi-organisasi luar negeri guna mendukung program-program inklusif mereka di wilayah kerja, Yogya dan sekitarnya. Disini kita belajar bahwa program-program yang 'menjual' yakni dilirik yayasan-yayasan nasional maupun internasional adalah yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan terkini komunitasnya serta dapat dipertanggungjawabkan. Tak kalah penting adalah peran dari pemimpinnya yang menguasai medan kerja serta mengkomunikasikan secara baik profil organisasinya.

Adalah Wiwin Siti Aminah Rohmawati, aktivis perempuan yang menjadi co-founder Srikandi Lintas Iman. Ia memiliki relasi yang luas di dalam dan luar negeri. Di Wisma Mawar Asri, Yogyakarta, di tahun 2015 iamengumpulkan 32 perempuan dari berbagai agama berasal dari organisasi-organisasi perempuan antara lain Fatayat NU, Nasyatul Aisyiyah, Perempuan Khonghuci dan WKRI. Tema yang diusul "Revitalisasi Peran Perempuan dalam Mengelola Kebersamaan Agama di Yogyakarta". Pertemuan ini menjadi cikal bakal berdirinya Srikandi Lintas Iman. Wiwin sebagai awardee KAICIID International Fellows Programme terpicu menggalang komunitas ini dikarenakan peristiwa-peristiwa kekerasan berbasis agama yang terjadi di Yogyakarta.

Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengenal sosok Lany Guito, seorang pemimpin perempuan yang berada di balik perjuangan umat Khonghucu memperoleh hak-hak sipilnya. Di tahun 1996 ia bersama suami menggugat Catatan Sipil Surabaya berkaitan dengan ditolaknya pernikahan mereka yang telah dilaksanakan secara agama Khonghucu. Keputusan Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan tuntutan mereka pada tahun 2000. 

Abdurahman Wahid yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI, mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000 dan mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang memulihkan hak-hak sipil umat Khonghucu setelah terenggut selama 32 tahun. Pertama kalinya MATAKIN Pusat Jakarta menggelar Perayaan Hari Imlek Nasional dan Perayaan Cap Go Meh di Surabaya, dihadiri Presiden Abdurahman Wahid. Tahun 2002 Hari Raya Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional.

Selain masalah kepemimpinan, aspek komunikasi masih sering menjadi kendala dalam kelangsungan organisasi. Komunikasi yang dimaksud di sini pertama soal keterampilan seorang pemimpin yang mampu mengarahkan tim kerja dan anggota menuju visi misi organisasi, disamping menyosialisasi kebijakan atau tata kelola organisasi sebagaimana semestinya. Hal lain adalah juga memahami strategi komunikasi termasuk didalamnya mengoptimalkan media digital untuk menyampaikan pesan-pesan strategis organisasi, membina jejaring dan relasi yang kuat dengan para stakeholders. 

"Keterbukaan, saling percaya dan menghargai antar pengurus maupun anggota merupakan kunci bagi iklim organisasi yang sehat," jelas seorang narasumber yang merupakan mantan Ketua Presidium sebuah organisasi. Ditambahkan, komunikasi yang tidak lancar akan menjadikan organisasi kurang produktif, "karena hanya kisruh pada urusan internal yang tak beres-beres."

Menuju Indonesia emas 2045, perlu menjadi perhatian adalah agar para anggota di tingkat nasional hingga akar rumput dapat terlibat lebih pada pencapaian target kesehatan (terkait pandemi) dan kesetaraan gender guna meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Beberapa organisasi bahkan telah menyusun program mengacu pada 17 aspek Pembangunan Berkelanjutan / SGDs (Sustainable Growth Develoment). 

Program-program yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi Perempuan di Indonesia ini hampir menyentuh seluruh aspek yang menjadi perhatian dan keprihatian terhadap kaum perempuan.  Sebagai contoh, dapat kita ikuti apa yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi berikut. 

WKRI secara spesifik menyoroti peran perempuan dalam konstelasi tiga isu yakni radikalisme dan terorisme; korupsi dan lingkungan hidup. Lies Pranowo, anggota Dewan Pengurus Pusat menyebutkan,  dari ketiga isu tersebut perempuan memiliki peran, baik peran positif produktif juga peran-peran destruktif (merusak). 

Maka program-program yang dikembangkan sepanjang 5 tahun sejak Kongres Nasional terakhir adalah mengacu pada isu-isu tersebut. Aspek-aspeknya diturunkan dalam berbagai bentuk pelatihan dan pendampingan kepada Dewan Pengurus Daerah (DPD), seminar/webinar serta kerjasama dengan berbagai Lembaga. 

Hal ini diperkuat oleh narasumber lainnya yaitu Lucy Willar, Anggota Presidium 1 yang dengan pengalamannya sebagai perempuan pengusaha secara piawai mengorganisir kegiatan-kegiatan untuk memperoleh dana bagi kelangsungan hidup organisasi. "Kita adalah organisasi mandiri dan perlu secara kreatif mengembangkan kegiatan-kegiatan menggalang dana tanpa mengabaikan kegiatan-kegiatan probono lainnya yang menjadi tujuan dasar organisasi,"jelasnya.  

Pergerakan organisasi-organisasi perempuan terutama berbasis agama di Indonesia menyadari penuh bahwa pembangunan sebuah negara yang utuh dan menyeluruh menuntut peran perempuan dalam segala bidang kehidupan. Baik sebagai warga negara maupun sebagai insan pembangunan. Keterlibatan perempuan menjadi syarat mutlak dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.

Nasyiatul Aisyiyah untuk Difabel - Ariati Dina Puspitasari dari Nasyiatul Aisyiyah menyadari kondisi perempuan dan anak difabel yang seringkali mengalami berbagai bentuk diskriminasi. Hal ini didukung beberapa data diantaranya 80% remaja difabel belum memahami pubertas dengan baik (Jogjatribunnews.com); baru ada 0,6%  guru di SLB yang dapat menjelaskan kesehatan reproduksi secara baik kepada anak didiknya (unisayogya.ac.id), sebagian besar perempuan difabel dipaksa saat menentukan alat kontrasepsi (republika.co.id), masih minim pendampingan kesehatan reproduksi kepada perempuan difabel. Difabel masih mengalami diskriminasi (sapdajogja.com).  Berdasarkan hal ini mereka melakukan program-program pelatihan, pendampingan dan pendidikan agar kaum difabel menyadari hak mereka serta bagaimana mereka dapat mengatasi keterbatasan fisik yang dialami.

Disamping itu, Aisyiyah juga mengembangkan program untuk Peningkatan Perempuan Wirausaha. Saat ini tidak semua wanita wirausaha memiliki kapasitas wirausaha yang memadai, ini terbukti dari kinerja bisnis mereka yang belum maksimal, dikarenakan keterbatasan dalam hal akses informasi, akses pendidikan, dan akses permodalan. Untuk itu proyek yang dikembangkan oleh Laras Wiendyawati dari Aisyiyah, Yogya bertujuan memberikan bekal yang memadai bagi perempuan wirausaha berupa peningkatan kemampuan komunikasi yang efektif, peningkatan keterampilan dan kemampuan penjualan. Sebelumnya terlebih dulu dilakukan penggalian terhadap kebutuhan perempuan wirausaha dan pelatihan yang seperti apa  mereka harapkan.

Kitong Bisa Learning Center menekankan kegiatan mereka untuk pendidikan Perempuan. NAWOP WOMAN Fitted To Life adalah proyek yang dilakukan di Merauke Papua. Proyek ini dikembangkan mengingat kehidupan perempuan Papua sangat kompleks. Tekanan budaya dan kebutuhan hidup membawa mereka pada kehidupan yang keras. Mereka bahkan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk anak juga diri mereka sendiri. 

Sonnya Marice Uniplaita dari Kitong Bisa Learning Center dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Merauke penggagas proyek ini berpikir, jika ingin membangun pendidikan di Papua, maka harus dimulai dari perempuan, karena perempuan adalah guru pertama bagi anak-anak mereka. Dengan membantu mereka meningkatkan perekonomian, maka hal ini akan menolong mereka untuk mempersiapkan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak. Tujuan dari proyek  ini adalah membuat perempuan Papua sadar akan kekuatannya, sadar akan ketrampilan yang dimilikinya dan bisa memakai kekuatan itu untuk peningkatan ekonomi keluarga.

Untuk mengimplementasikan proyek ini, Sonnya membentuk kelompok yang terdiri dari perempuan papua sebanyak 6 orang dan melakukan sharing tentang apa yang menjadi kendala dan kebutuhan mereka. Dari hasil sharing ini diketahui kebutuhan mereka adalah Pendidikan, Keterampilan, Modal dan Pemasaran.  Dari sini dibentuklah 3 program yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu Education Program, Training Program dan Entrepreneurship Program. 

Di samping itu ada juga Design Department yang membantu merancang produk yang akan dibuat serta Marketing Department yang  membimbing mereka dalam memasarkan produk. Program yang telah berjalan adalah Bidang Pendidikan yaitu 2 orang telah disekolahkan di PKBM program Paket C, dan semua anggota dilatih membuat produk dari anyaman benang dan kulit kayu melinjo (Noken: Tas tradisional Papua) dengan disain  modern dan telah menghasilkan produk tas dan sepatu anyaman yang siap dipasarkan.

          

Bersambung -- sebagai bagian ke-lima atau pamungkas dari rangkaian tulisan ini, kita akan meninjau Lembaga Independen dan komunitas lintas Feminis.

Materi acuan:

Terbitan Gramedia Widiasarana Indonesia/doc. pri
Terbitan Gramedia Widiasarana Indonesia/doc. pri

Bagir, Zainal Abidin; Asfinawati; Suhadi; Renata Arianingtyas (2019). Membatasi Tanpa Melanggar Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Yogya: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS).

Birowo, Mathilda A.M.W. (2016).  Mengembangkan Kompetensi Etis di Lingkungan Kita. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

__________ dan Indah Soekotjo (2015) Brand Yourself . Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Carnegie, Dale & Associates, Inc. 1996.  Pemimpin Dalam Diri Anda. Terjemahan: Spektrum.

DeVito, Joseph. A. 2016. Interpersonal Communication Book, th 14th edition. NY: Hunter College of the City University of New York.

Dirk Van Dierendnock , Kathleen Patterson, 2010. Servant Leadership Developments in Theory and Research. Palgrave Macmillan.

Latif, Yudi (2014).  Mata Air Keteladanan (Pancasila Dalam Perbuatan). Jakarta : Mizan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun