Mohon tunggu...
Matheus Giovanni CTNLP MBTLTA
Matheus Giovanni CTNLP MBTLTA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup adalah kesempatan jadi berkat

Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. Tuhan ingin kita kembali istimewa. Melayani : Psikoterapi berbasis Neuro-Linguistic Programming, Time Line Therapy, Past Life Regression Therapy, Clinical Hypnotherapy Konseling Anak/Remaja/Keluarga/Pasutri Training/Workshop Neuro-Linguistic Programming, Time Line Therapy, Past Life Regression Therapy, Clinical Hypnotherapy Resensi Buku Call : 085700745872 (WA/Line) Instagram (@matheusgiovanniputragana) Rumah & Kantor : Jalan Cindelaras Gang Randu No 1 RT 07 RW 05 Kepuhsari Krodan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, DIY

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yakin Waras?

3 Juni 2018   02:29 Diperbarui: 3 Juni 2018   03:05 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah yakin kita dapat dikatakan WARAS manakala kita mengutuk teror bom sedangkan di sisi lain kita masih saling bertengkar? (ILUSTRASI)

Saya ingat betul almarhum Prof. Dr. Sarlito W Sarwono, pernah mengatakan dalam Press Conference di Le Meridien Hotel, Jakarta Pusat, bulan Oktober 2006 bahwa peristiwa bom bunuh diri adalah suatu hal yang normal. 

Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia itu mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan sebuah kegiatan emosi yang normal dan menyangkal tuduhan bahwa pelaku bom bunuh diri mengalami gangguan jiwa. Menurutnya, pelaku bom bunuh diri memiliki skema emosi jihad yang mana akan berlanjut pada pembentukan tujuan dari aksi, lalu menentukan musuh bersama sehingga pada akhirnya memunculkan motivasi yang diperkuat dengan dukungan sosial. Dan akhirnya dilaksanakannya bom oleh mereka.

Apakah kita dapat dikatakan WARAS ketika kita tetap saling merangkul di tengah perbedaan? (ILUSTRASI)
Apakah kita dapat dikatakan WARAS ketika kita tetap saling merangkul di tengah perbedaan? (ILUSTRASI)
Manusia pembelajar ini, Mona, secara ekspilisit membahas perihal kematian pada bagian awal bukunya. Kematian dapat dipastikan selalu membawa sebuah pesan khusus untuk manusia lainnya yang masih hidup di dunia. Pesan khusus itu dapat saja menjadi sebuah temuan baru dalam pengembangan ilmu kedokteran dan sosial. 

Misalnya, orang yang mati dengan didapatkannya luka goresan pada lengannya. Setelah dilakukan autopsi dan dilakukan kajian thanatologi, ternyata kematian disebabkan over dosis narkoba yang dimasukkan melalui goresan tersebut. Itu apabila ditinjau dari dunia ilmu kedokteran. 

Namun apabila ditinjau dari dunia sosial, didapatkan bahwa acapkali orang cuek dengan goresan pada tangan temannya dan mengganggapnya luka kecil. Siapa yang akan menyangka, bahwa sikap cuek ini dapat melanjutkan usaha temannya itu menyiksa tubuhnya sendiri dengan narkoba? Mona mengingatkan bahwa siapa pun pribadinya dan bagaimana pribadi tersebut menjalani hidupnya, pada umumnya semua orang ingin agar hidupnya bermakna dan kepergiannya (baca: kematiannya) diingat dan dikenang selalu oleh sesamanya yang masih hidup di dunia ini.

Demikian juga orang yang bunuh diri. Orang yang bunuh diri pada umumnya pasti meninggalkan sebuah pesan, lepas pesan itu bersifat positif atau negatif, lepas berupa lisan maupun tulisan dalam sebuah surat wasiat.  Kita semua yakin bahwa orang yang bunuh diri, termasuk para teroris, khususnya yang menjadi pelaku teror di Surabaya Mei 2018, pun tidak menghendaki kematiannya dengan cara meledakan dirinya sendiri lewat begitu saja tanpa suatu makna. 

Namun, apakah pesan tersebut ditangkap secara pasti oleh masyarakat dunia? Saya belum yakin. Bahkan pesan tersebut ditangkap salah oleh kita semua yang masih ada di dunia. Saya malah memiliki keyakinan bahwa para teroris yang mati pada peristiwa peledakan di tiga gereja yang ada di Surabaya itu menghendaki kita agar lebih bersatu dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih adil, sejahtera, dan makmur, sesuai cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. 

Adapun yang terjadi sebaliknya. Sebagian dari kita meresponnya terbalik. Kita menjadi manusia yang melawan kejahatan dengan kejahatan, membalas kebencian dengan kebencian, dan saling menyalahkan serta mengutuk satu sama lain. Sadarkah kita akan hal itu?

Yesterday is about today's memory and tomorrow is today's dream. Kiranya kutipan Khalil Gibran dalam buku Yakin Waras? : Potret Ironi Hidup Manusia ini menjadikan kita lebih optimis dalam memperlakukan sesama kita sebagaimana mereka adalah manusia seperti kita. Kita semua berharap bahwa berbagai pengalaman buruk, negatif, dan merugikan kita di masa lalu tidak menjadi penghambat kita bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara lebih optimal. Selamat saling mencintai, selamat berkarya, dan selamat berjejaring kebaikan. Salam solidaritas salam antusias salam super dari Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yakin Waras? : Potret Ironi Hidup Manusia
Yakin Waras? : Potret Ironi Hidup Manusia
Judul Buku      : Yakin Waras? : Potret Ironi Hidup Manusia

Penulis             : Mona Sugianto

Penerbit           : Kanisius, 2018

Tebal               : 192 halaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun