BERSIAPLAH terbunuh! Bukan dalam arti harfiah, tapi terbunuh dalam jiwa. Dan percaya atau tidak, itu lebih tersiksa ketimbang Anda tertusuk belati. Dengan lathi, Anda bisa menyemburkan kebenaran. Dan kebenaran sentris itu, ternyata memang milik lathi. Dia bisa bertebaran tanpa jeda, mungkin hingga matinya. Kebenaran adalah milik mulut. Ya,lathi adalah mulut.
+++
MENJADI manusia yang sejati, syaratnya mudah. Berkawan dengan kemanusiaan, bersahabat dengan ketuhanan dan selalu berseteru dengan keinginan-keinginan diri. Apa itu? Hedonis, iri hati, dan comel mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya “membunuh” manusia lain. Mereka merasa kebenaran adalah mutlak milik diri sendiri, milik pikiran mereka sendiri dan milik lathi mereka sendiri.
Pada dasarnya, kita adalah satu bentuk evolusi kesempurnaan jiwa. Berjalan perlahan dengan semua pengaruh apapun di sekitar kita. Benar-benar perlahan, karena kerapkali kita berhenti sejenak untuk menikmati apa yang menurut kita nyaman dan nikmat. Jiwa kita adalah ‘kawah candaradimuka’ dari sebuah proses bernama kehidupan. Dan salah satu yang paling berperan dalam pembentukan itu adalah lathi. Naik turun kehidupan dan sekolah kemanusiaan itu, ada disana.
Lathi, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lathi itu seperti api. Semua jenis binatang liar, telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lathi. Dengan lathi kita memuji Tuhan, sahabat, keluarga, atau musuh sekalipun. Tapi dengan lathi pula kita mengutuk manusia, yang notabene adalah makhluk setara dengan kita. Ketika kutukan itu akhirnya keluar, sadarkah bahwa kita juga mengutuk diri kita sendiri?
Apakah yang dikutuk kemudian jadi lunglai? Secara kasat mata mungkin betul, ada hati dan jiwa yang tersakiti. Tapi sebenar-benarnya, yang perlu kita doakan adalah penghujat dan pembaiat amarah. Sekolah kehidupannya tersendat, malah mungkin terlambat untuk naik kelas.
Dan benar sekali pepatah Jawa –dan maknanya lebih luas ketimbang dari suku mana pepatah ini berasal—yang mengatakan ajining diri dumunung soko kedhaling lathi. Makna harfiahnya, jati diri manusia itu terlihat dari apa yang keluar dari lidahnya. Kebenaran personal memang bisa dari lathi, tapi dimana jati dirinya?