[caption caption="https://www.ut.ee/klassik/sht/"][/caption]
Yang pasti terlintas dalam benak kita mengapa judulnya terkait ilmu sosial dan Humaniora ? ada apa dengan keberlangsungan ilmu sosial dan humaniora ? terus apa kaitan negara dengan ilmu sosial dan Humaniora ? mungkin pertanyaan itu yang terlintas dibenak kita saat ini. Bahkan dengan ekstremnya mungkin ada yang membayangkan bahwa serta mengartikan ilmu sosial dan Humaniora itu sendiri.Â
Jawaban dari negara tanpa ilmu sosial dan humaniora adalah Matinya atau Hilangnya Rasa kemanusiaan dinegara tersebut. Yang paling mengejutkan bahwa ada sebuah negara yang sudah kearah sana, walaupun negara-negara lain masih malu-malu mengatakan bahwa Ia adalah Negara yang tidak lagi berfikir tentang kehidupan sosial manusia yang ada didalam negaranya. Mengapa demikian ? lihat saja perbandingannya dunia pendidikan disetiap negara kita akan pasti mendapatkan perbedaannya dan hal apa yang ia tonjolkan serta doktrinisasi dalam dunia pendidikannya.
Sama halnya ketika kita banyak-banyak berbicara Tentang Pendidikan Nasional ? bahwa pendidikan di negara (baca : Indonesia) ini tidak seimbang. Sejak dahulu dalam pendidikan di negara ini jurusan-jurusan ilmu sosial dan  humaniora serta mengenai hal itu dianggap sebagai jurusan kelas dua, silahkan kita lihat contoh yang paling mendasar adalah ketika kita jalan di wadah pendidikan seperti sekolah Menegah dan Sekolah atas bahkan efeknya sampai diperguruan tinggi. Siswa-siswi yang masuk dikelas-kelas kebayakan pelajaran ilmu sosial dan Humanioranya dianggap adalah siswa-siswi pembuangan atau sumber kenakalan dalam sekolah-sekolah bahkan sampai dalam lingkungannya. Lalu dari manakah pikiran seperti ini ? mengapa ilmu terkait sosial dan kemanusian diitimidasi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi ?
Kalau kita melacak kematian ilmu sosial dan humaniora, pemikiran kita akan sampai kepada saat terjadinya Revolusi industri di inggris serta naik tahtanya ideologi Kapitalisme dibelahan dunia. Mengapa demikian ? dikarenakan mulai dari itulah munculnya pemikiran bahwa ilmu sosial dan kemanusiaan harus memiliki kegunaan praktis dalam kebutuhan dunia Industri. Di indonesia sendiri bisa kita lacak awal masuknya paham kapitalisme di negara ini yaitu saat Orde Baru naik Tahta, Orde Baru menjadi pupuk yang menyuburkan pola pikir seperti ini. Setelah Orde Baru naik tahta pemerintah memfokuskan serta bergiat-giatnya melakukan pembangunan di semua lini, pendidikan yang diatur sesuai dengan kebutuhan industri dan pembangunan pada saat itu. Maka jangan heran ketika banyaknya berjamurnya pengangguran yang merupakan lulusan dari ilmu-ilmu sosial, bahasa-sastra serta Humaniora, kalaupun ada yang diterima di perusahaan-perusahaan serta pemerintahan kebanyakan alumni yang lulus dengan gelar Teknik serta Ekonomi.
Ilmu sosial dan ilmu-ilmu terkait dengan itu memanglah dikerdilkan pada rezim ordebaru, agar mengurangi daya kritis masyarakat pada umumnya. Dalam indoprogress.com Peter McLaren, seorang professor pedagogi asal Amerika Serikat, sebenarnya telah mewanti-wanti akan bahaya masuknya kapitalisme di dalam pendidikan. Menurutnya, persilangan antara kultur positivis dengan kapitalisme akan mematikan aspek kritis-subjektif dalam pendidikan. Sebagai hasilnya, ilmu yang diberikan kepada peserta didik hanyalah ilmu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan ilmu yang mengembangkan kemampuan memandang fenomena hidup secara kritis. Ternyata kondisi ini yang kita rasakan betul, munculnya paradigma ditengah masyarakat bahwa ilmu alam, teknik serta ilmu-ilmu IPA lainnya merupakan ilmu yang mempresentasikan anak-anak yang cerdas dan anak-anak ilmu sosial, Sastra-bahasa serta ilmu-ilmu IPS lainnya adalah Representasi dari anak-anak yang kurang cerdas dan gagal bersaing dengan anak-anak yang terjun di bidang ilmu pengetahuan Alam tersebut. Maka Profesi Ustad, Kiayi, Penulis, dll bukanlah hal yang paling menarik perhatian masyarakat. Yah bisa dikatakan bahwa profesi-profesi itu katanya jauh dari kekayaan. Selain itu muncul pula paradigmatik bahwa yang hanya sekolah ataupun berkuliah adalah anak-anak yang berpendidikan sementara yang tidak sekolah adalah anak-anak yang tidak berpendidikan.
Pola pikir dan paradigmatik ini menafikan akan semangat emansipatoris yang manfaatnya bukan sekedar kebutuhan industri dan pesanan para pemilik modal atau kapitalis penguasa pasar saja, tetapi ilmu sosial dan humaniora ini bertujuan untuk kemanusian sepanjang peradaban. Perubahan yang dihasilkan dari ilmu-ilmu ini akan bersifat awet karena sifatnya intelegensia. Karl marx mungkin tidak memerdekan para buruh disemua negara namun Karl Marx memperlihatkan kita tentang kekejaman Sistem Kapitalisme, Max Webber mungkin bukanlah seorang pelayanan publik yang handal namun teori birokrasinyalah yang dipakai hingga hari ini sehingga pelayanan publik pun semakin teratur, Asghar ali Engineer mungkin bukanlah seorang ulama namun teori Islam dan Pembebasannya banyak membesaskan umat muslim dari belenggu-belenggu dari ilmu kalam itu sendiri, Paulo Freire mungkin tidak pernah menyusun kurikulum pendidikan namun akibat teorinya kita dapat melihat masalah-masalah dalam dunia pendidikan kita.
Coba banyangkan negara tanpa ilmu-ilmu sosial dan Humaniora ? apakah kita bisa bayangkan Bung Karno sebagai peletak Indonesia modern bisa menjadi Pemimpin Besar bangsa kita, tan malaka tanpa ilmu-ilmu itu apakah ia bisa menjadi seorang Revolusioner, KH. Wahid Hasyim tanpa ilmu-ilmu itu bisa menjadi salah satu Panitia Persiapan Kemerdekaan, KH. Wahab Chasbullah yang hanya lulusan pesantren bisa menjadi Politisi serta Kiayi, serta Hadratus Syaikh KH Hasyim As’yari yang pandai melihat Geopolitik yang sedang bermaian serta mendirikan Organisasi Nahdlatul Ulama dan mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad yang sekarang ini diperingati Hari Santri Nasional ? sekali lagi coba bayangkan Negara atau individu-individu tanpa atau tidak pernah mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora itu ? Sembari menulis tulisan ini saya pun mengingat kata-kata sahabat saya bahwa Menjadi Aktivis yang peka terhadap kehidupan sosial serta Kemanusiaan orang banyak merupakan Tugas yang mulia dengan sedikit menceritakan Sejarah Para Nabi-Nabi utusan Tuhan Yang Maha ESA.
Sampai disini bisa kita simpulkan bahwa kematian Ilmu-ilmu Sosial dan ilmu Humaniora merupakan Kematian Peradaban itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI