Kosakata "anjir" kian meluas di kalangan usia remaja. Di warung kopi, fenomena anjir meluap di sela-sela bermain gim. Kosakata yang tidak pantas ini seperti virus Covid yang cepat merebak di ruang publik.Â
Tren berbahasa di kalangan remaja memang unik untuk diperhatikan. Virus anjir merebak luas bukan karena sebab udara atau air liur. Buruknya tontonan dan peran media sosial menjadi dalang perluasan virus anjir.Â
Di sisi lain, lemahnya peran orang tua menyebabkan rusaknya filter berbahasa anak-anak usia remaja. Rumah tidak lagi berhasil memperbaiki ucapan anak-anak.
Orang tua jarang memperdulikan kosakata anak dan terkesan membiarkan virus anjir menjangkiti ranah sosial.
Tatanan sosial masyarakat tidak sekuat dulu. Lajur kosakata negatif semakin tajam. Remaja merasa biasa saja mengeluarkan kata, frasa dan kalimat tidak etis di ruang publik.Â
Fungsi masyarakat sebagai pembentuk norma sopan santun hilang diterpa teknologi. Masyarakat terlihat enggan menegur dan mulai abai terhadap pergeseran frasa dalam ucapan dan komunikasi para remaja di ruang terbuka.
Meninjau Makna LinguistikÂ
Kata anjir sering digunakan oleh remaja sebagai sebuah identitas. Mereka menegur, mengumpat, memuji dan menunjukkan rasa kesal dengan kosakata ini.Â
Bagi mereka, sebutan anjir terdengar keren dan sering dijadikan simbol keakraban antar sesama. Tidak mengherankan jika pertukaran kosakata anjir menghiasi ruang-ruang publik yang dijadikan tempat ngumpul anak usia remaja.
Ketika sebuah kata atau frasa menjadi sebuah simbol identitas, maka kata tersebut lebih cepat melekat pada berbagai kelompok. Anak usia remaja condong menggunakan kata gaul berbentuk slang untuk menyampaikan pesan atau makna lebih personal.Â
Penggunaan anjir oleh influencer, Youtuber, TikToker atau mereka yang mempopulerkan lewat media sosial membawa virus anjir lebih masif. Mereka menjadi agen pembawa perubahan ke arah negatif.Â