Membaca Buku sebagai Kebutuhan Primer

Buku belum mendapat tempat istimewa di ruang publik. Membaca buku saat ini masih dianggap kebutuhan tersier. Tidak heran, kegiatan membaca masih terhalang dinding atau tembok besar. 

Membaca di ruang pustaka adalah hal biasa. Toh, pustaka identik dengan buku. Sedangkan ruang publik seperti pemberhentian kereta api, ruang tunggu bandara, atau kafe punya identitas tersendiri.

Literasi kaum muda Indonesia tergolong rendah. Data hasil PISA menempatkan Indonesia pada urutan bawah. Negara maju seperti Jepang, Inggris, dan sebagian negara Eropa selalu menempati rangking teratas. 

Baca juga: Membaca Buku dan Prioritas Waktu yang Terabaikan

Buku bagi warga Indonesia bukan kebutuhan primer yang harus dimiliki. Hal ini tergambarkan dari kondisi pustaka daerah yang menyedihkan. Koleksi buku usang menghiasi rak-rak tua.

Rata-rata sekolah di berbagai provinsi belum menempatkan pustaka sebagai ruang penting. Tidak perlu membahas koleksi buku di pustaka sekolah. Kita masih memikirkan makanan ketimbang kebutuhan nutrisi otak. 

Di Jepang, akses pada buku relatif mudah. Orang tua menempatkan bacaan sebagai kebutuhan primer. Tidak mengherankan jika budaya membaca di ruang publik sudah menjadi kebutuhan primer setiap orang. 

Membaca di Jepang juga dianggap sebagai sebuah identitas sosial. Masyarakat memandang penting kegiatan membaca di ruang publik. Orang tua, sekolah, dan masyarakat memahami peran masing-masing. 

Baca juga: Mengajak Siswa Merenungi Pola Hidup sambil Belajar

Contoh yang sama bisa kita lihat di negara Eropa seperti Luksemburg, Denmark, dan Estonia. Walaupun tergolong negara kecil, namun minat baca ketiga warga negara ini selalu menempati urutan paling tinggi. 

Baca juga: Surga Literasi di Koridor Gramedia

Terdapat korelasi kuat antara minat baca sebuah negara dan level kemiskinan. Negara dengan budaya membaca yang kuat memiliki tingkat pendapatan jauh lebih tinggi.

Sebaliknya, ketika kebutuhan membaca masih di bawah kebutuhan makanan, maka level kemiskinan relatif terjaga. Imbasnya adalah mudahnya tindakan korupsi, lemahnya sistem keamanan, dan buruknya ketersediaan lapangan kerja.

Seberapa banyak lulusan sarjana di Indonesia? seberapa banyak buku yang telah dibaca selama menempuh masa studi sarjana?