Informasi berbasis digital sangat mudah berputar melalui media sosial. 66% penduduk Indonesia saat ini sudah memiliki akses internet. Sayangnya, pemahaman literasi digital di kalangan anak usia remaja masih sangat rendah.
Anak-anak dan remaja di Indonesia rentan terhadap kejahatan digital. Dengan populasi pengguna internet mewakili hampir 50% populasi penduduk, penyebaran informasi negatif sulit terbendung.
Sirkulasi informasi di dunia maya jauh lebih berdampak pada golongan remaja. Sebagai contoh, fenomena tagar #kaburajadulu dapat menimbulkan keresahan pada mayoritas penduduk, khususnya pada golongan usia dewasa.
Dengan tingkat literasi rendah, masyarakat Indonesia lebih mudah percaya pada satu sumber informasi. Kemampuan otak memilah dan memilih informasi berdasarkan fakta dan data tersamarkan oleh permainan emosi negatif.
Permainan kata-kata dan data memancing emosi lebih cepat. Akibatnya, manfaat teknologi tidak berdampak positif ketika tingkat literasi masih rendah.
Baca Aja Dulu
UNESCO memaparkan data tentang kebiasaan membaca anak-anak Indonesia. Persentase pembaca sangatlah kecil, 0.1% anak-anak Indonesia terbiasa membaca.
Dalam 1.000 Â populasi, hanya ada beberapa orang yang benar-benar aktif membaca. Terbatasnya akses buku dengan kualitas baik dan lemahnya budaya membaca menjadi penghambat utama.
Rendahnya populasi pembaca berimplikasi pada kebiasaan anak dalam rumah. Apakah orang tua enggan mengenalkan buku pada anak?
Bagi sebagian besar orang tua, pendidikan dimulai dari sekolah. Sekolah masih dianggap sebagai tempat belajar pertama. Pola pikir ini menghalangi anak untuk lebih dulu mengenal buku dari dalam rumah.
Padahal, perkembangan otak anak di umur 1-7 tahun membutuhkan berbagai macam stimulasi. Mengenalkan buku pada anak sejak umur 0-12 bulan berimplikasi pada level literasi di kemudian hari.
Proses terbentuknya daya pikir dengan media buku menciptakan ruang imajinasi di otak anak. Dari sebuah gambar dan kata, anak belajar memahami makna.Â