Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Alasan Kenapa Pola Kerja Kantor Tidak Produktif

2 Februari 2023   10:39 Diperbarui: 2 Februari 2023   10:42 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana kerja kantor | freepik.com

Jika dihadapkan dalam dua pilihan: [1].bekerja dengan durasi waktu lama atau [2].bekerja dengan waktu lebih sedikit, mana yang akan anda pilih?

Pola kerja di perkantoran mewajibkan pegawai untuk hadir pagi dan pulang sore. Waktu kerja mengikuti jam alam, pagi ke sore. Ada total 9-10 jam/hari dihabiskan untuk berada di kantor.

Pertanyaannya, seberapa produktifkah pola kerja seperti ini?

Ada banyak variabel yang bisa digunakan untuk mendapatkan jawaban akurat. Salah satunya adalah hasil kerja. Idealnya, dengan 9 jam bekerja bisa menghasilkan output yang baik.

Sayangnya, pola kerja kantoran menciptakan ritme yang boleh dikatakan tidak sehat. Terkadang banyak pegawai yang tidak fokus dan malah mengerjakan hal yang bukan tupoksi kerja. 

Memang, harus diakui produktifitas dalam sebuah organisasi, perkantoran, atau perusahaan tergantung pada ada tidaknya leader yang memandu.

Seringnya, peran leader tidak hadir sehingga output kerja sangat minim. Tidak heran, kita sering menyaksikan pegawai pemerintahan yang tidak berada di tempat dengan alasan rapat, kunjungan, dan syukuran.

Padahal, jika harus merujuk pada tupoksi kerja, mereka harus berada di tempat untuk menyelesaikan kewajiban. Lain lagi dengan pegawai bawahan yang sehari-hari mengurus administrasi, tidak sedikit yang malah nongkrong di luar kantor.

Akibatnya, banyak urusan spele yang memakan waktu berhari-hari untuk diselesaikan. Ambil saja contoh kecil, surat yang seharusnya bisa siap dalam satu hari malah baru bisa diambil tujuh hari.

Ketika ditanya kenapa lama sekali, alasannya klasik, yang tanda tangan tidak berada di tempat. Lucu sekali! ini bukan cerita drama korea atau cerita fiktif, tapi nyata terjadi dimana-mana.

Sistem administrasi yang bisa dikerjakan dengan mudah bisa terhenti hanya dengan sebab tidak adanya leader yang memahami produktifitas kerja. Banyak pekerjaan yang menumpuk berhari-hari karena bawahan tidak paham apa yang seharusnya dilakukan.

Fungsi Leader yang tidak Maksimal

Di banyak tempat, khususnya pada kantor pemerintahan, peran leader yang mengayomi bawahan dan mengarahkan cara kerja yang baik sangatlah sedikit.

Salah satu penyebabnya adalah sistem 'tunjuk' pejabat pemegang jabatan krusial yang tidak mengedepankan kemampuan leadership atau kepemimpinan.

Makanya, sangat lumrah melihat pemimpin kantor yang berkunjung kesana sini sementara para pegawai hilang kontrol. Pekerjaan administrasi juga berputar dari satu tangan ke tangan lain, hanya untuk memberikan paraf pada bagian tertentu.

Pola sepertinya bukan hanya memperlambat kerja, tapi juga berefek pada produktifitas kerja. Sehingga, banyak hal yang berulang denga metode lama dan inovasi kerja tidak muncul.

Inovasi sebenarnya bisa mudah diciptakan jika saja fungsi leader berjalan maksimal. Misalnya, ada indikator bagaimana sebuah pekerjaan harus selesai dalam 1-2 hari. Jika tidak selesai, ada analisa dan kalkulasi waktu yang diberikan untuk setiap tugas.

Nah, yang sering terlihat adalah mekanisme kerja mengikuti pola lama yang terus diulang-ulang. Pemimpin kantor jarang yang memberi inisiatif untuk memperbaiki pola kerja yang identik lambat.

Bukan tanpa alasan, pola 'tunjuk' pejabat pemimpin posisi sakral pada struktural kantor mengakibatkan tidak adanya standar kerja yang baik. 

Begitu satu pejabat berakhir masa jabatan, lalu digantikan pejabat lain yang bisa saja tidak sejalur dalam pemikiran. Apa yang terjadi? kebijakan berubah, pegawai pusing, output kerja menurun.

Ya, begitulah yang umumnya terjadi. Alhasil, pola pergi pagi pulang sore menjadi rutinitas yang jarang dievaluasi untuk menghasilkan performa kerja yang produktif.

Wajar saja, istilah Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah menjadi jargon yang dianggap lumrah terjadi di pemerintahan. Kebiasaan buruk yang terus diulang lama kelamaan menjadi hal yang dianggap biasa saja. 

Pada beberapa kantor, jika beruntung, peran leader bisa saja hadir dalam wujud pejabat yang memahami produktivitas kerja. Hal ini bisa dilihat dari kepribadian pejabat yang memang pantas secara keilmuan dan kemampuan.

Akan tetapi, posisi strategis jarang dipangku oleh mereka yang kemampuan leadership layak dan handal. Tentu saja, ada kemauan yang harus dituruti jika seorang penjabat menduduki 'kursi panas' pada posisi strategis.

Selain karena ada hukum berterima kasih kepada yang memberikan posisi, pejabat 'bangku panas' juga memiliki beban mental untuk bisa menfasilitasi kebijakan yang kerap menguntungkan mereka yang dipentingkan.

Jadinya, kehadiran pemimpin yang adil dan memiliki kemampuan memimpin pada bidangnya layaknya buah simalakama. Di satu sisi mereka yang terpilih harus melayani sesuai dengan yang diperintahkan, di sisi lain, mereka harus berani melawan kebijakan yang tidak wajar.

Idealnya, seorang pemimpin tidak harus tunduk pada bawahan, melainkan mampu menciptakan atmosfer positif di lingkungan kerja. Memandu dengan baik dan memberi tauladan pada bawahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun