Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Pemerhati literasi | peneliti bahasa | penulis buku bahasa Inggris

Menulis untuk berbagi ilmu | Pengajar TOEFL dan IELTS | Penulis materi belajar bahasa Inggris| Menguasai kurikulum Cambridge Interchange dan Cambridge Think | Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nikmat yang Jarang Kita Syukuri

20 September 2015   21:11 Diperbarui: 20 September 2015   21:45 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak orang berasumsi bahwa kemudahan dan kenikmatan hidup ada disaat mudahnya rejeki. Rejeki seringkali dipahami dengan adanya uang dan harta yang berkecukupan. Tak heran jika tidak sedikit dari kita mengaitkan rasa syukur pada saat hidup berkecukupan atau dengan kata lain tidak dalam kesusahan. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa ada nikkmat yang sebenarnya jarang sekali kita syukuri dalam hidup kita.

Nikmat sehat

Hidup berkecukupan tentu membuat kita mudah untuk melakukan apapun. Tapi bayangkan jika nikmat sehat diambil walau sesaat saja pasti kita akan kesusahan. Ketika sehat apapun bisa kita lakukan dengan mudah tanpa bersandar pada orang lain. Ketika sakit dan terkulai lemah di tempat tidur banyak hal yang tidak lagi bisa lakukan. Sayangnya ketika sehat orang jarang menghargainya dan bahkan hampir tidak mensyukurinya. Bayangkan berapa biaya yang harus keluar jika di rawat inap di rumah sakit dengan resep obat yang tentu tidak murah, belum lagi kalau sakit parah yang mengharuskan operasi dan pemeriksaan rutin. Ada yang sampai menghabiskan ratusan juta bahkan milyaran karena gagal ginjal, jantung, dan tumor. Bukankan kesehatan sebenarnya tidak pernah dapat diuangkan? Tapi kenapa sedikit yang mau beryukur disaat diberi badan yang sehat walaupun rejeki pas-pasan. 

Nikmat terhindar dari maksiat

Uang dan harta yang berlimpah selalu membuka pintu maksiat. Keinginan yang berlebihan menjadi awal dari terbukanya gerbang kemaksiatan. Lalu kenapa banyak orang berharap uang yang banyak dan harta yang berlimpah ruah? Bukankah manusia tak pernah puas walau gunung menjadi emas. Ada orang yang uangnya sedikit tapi tidak terjerumus dalam maksiat, hari-harinya terhiasi dengan amalan yang baik dan perkara yang tidak sia-sia. Jika uang menjadi penghalang untuk berbuat amal baik, adakah yang lebih baik selain terhindar dari maksiat dan mudah dalam beramal. Tapi kenapa seringkali nikmat yang kasat mata ini terlupakan oleh kita. Seharusnya kita bersyukur disaat kaki kita jauh dari tempat yang haram, tangan kita tidak memanggil yang bukan hak kita, dan mulut kita tidak berucap yang tidak penting dan makan makanan haram. Alangkah kita lebih mulia dengan sedikitnya harta tapi dihindari dari maksiat. Karena orang-orang yang Allah cintai tentu ia hindari dari kemaksiatan dalam dunia.

Nikmat iman

Kita terlahir dalam keadaan beriman adalah sebuah nikmat yang paling besar. Bayangkan betapa banyak orang terlahir tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka berusaha mencari kebenaran sepanjang hidupnya sampai pada akhirnya ada yang Allah beri hidayah. Bukankah kita lebih patut bersyukur dengan keistimewaan lahir dalam keadaan beriman? Bukankah iman kita yang nantinya membedakan kita dengan yang lainnya ketika di hari akhir? Banyak yang justru rela menggadaikan keimanan dengan uang karena alasan ekonomi. Siapakah yang memastikan rejeki kita? Kenapa harus risau disaat semua telah Allah jamin. Kenapa tidak bersyukur dengan nikmat iman yang kita peroleh sementara banyak diluar sana yang berjuang untuk mencari jalan kebenaran namun susah payah mendapatkan hidayah. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun