Tersisa sedikit warna senja di halaman Padepokan RumahKayu.
Nyai Daun Ilalang tiba-tiba mengangkat wajahnya. Perhatiannya pada caping lebar yang tengah ditambalnya dengan ilalang kering teralihkan.
"Ada apa?" Tanya suaminya. Ia sudah hafal gerak istrinya terutama saat istrinya tiba-tiba merasakan ada hal lain disekitar mereka. Nyai Daun Ilalang hanya diam, ia menelengkan kepalanya. Suaminya menutup kitab yang sedang dibacanya, ia ikut mendengarkan tetapi senja sudah hilang hanya gelap dan suara angin berdesir di antara dedaunan. "Ada orang mendekat", sahut Nyai Daun Ilalang. "Musuh?" Tanya suaminya. Ia belum bisa merasakan kehadiran orang-orang yang disebutkan istrinya, itu berarti mereka masih agak jauh dan jika perhatian istrinya sampai teralihkan berarti ada sesuatu yang perlu diwaspadai.
Istrinya menguasai Grenengan Alang-alang yaitu ilmu kebatinan dimana si pemilik ilmu dapat merasakan kehadiran orang-orang yang mendekat walau jarak mereka masih jauh. Jika orang yang mendekat memiliki niatan tertentu terutama niat jahat seperti ada deru angin yang dirasakan si pemilik ilmu. Ilmu ini ditemukan dan dikembangkan sendiri oleh Nyai Daun Ilalang dan baru diturunkan kepada Kiran, seorang gadis yang sedari kecil sudah memiliki bakat sebagai penyembuh.
"Sepertinya bukan .. tapi aku kurang yakin," Nyai Daun Ilalang menepikan caping yang dipegangnya dan membetulkan sikap duduknya. Ia menutup matanya dan menempatkan kedua tangannya dipangkuan. Sambil memusatkan konsentrasi, ia menarik nafas. Tarikan lembut yang bertenaga. Suaminya memperhatikan Nyai Daun Ilalang bersemedi melepas jurus pamungkas Sukmo Ngangkasa. Jurus yang lebih tinggi dari jurus Seribu Aura ini mempertajam semua panca indera termasuk indera ke 6 dan ke 7. Tidak lama, Nyai Daun Ilalang membuka matanya perlahan. Ia melepaskan hembusan nafasnya dengan lembut. "Tiga orang,' katanya memandang suaminya. "Orang ketiga diam-diam membuntuti yang lain". "Apa mereka dalam bahaya?" "Tidak," Nyai Daun Ilalang menggeleng, "Salah satu dari mereka adalah pendekar berilmu tinggi. Orang yang membuntuti itu sama sekali bukan tandingannya. Tapi .. hmmm, aku merasakan ada hal lain yang direncanakan oleh orang ini. Sesuatu yang jahat. Tapi aku tidak bisa mengetahuinya dan entah kenapa rasanya aku khawatir sekali". "Mungkin sebaiknya aku ikuti mereka", sahut suaminya. Ia bangkit lalu mengambil capingnya yang belum selesai ditambal istrinya. "Hati-hati, Kangmas!" suaminya berhenti di depan pintu dan menoleh. Walau wajahnya tertutup caping, Nyai Daun Ilalang tahu suaminya sedang tersenyum padanya. Sang suami, Pendekar Misterius yang selalu menutup wajah dengan caping lebarnya keluar dari halaman Padepokan RumahKayu lalu meloncat ke sebuah pohon tinggi. Ia duduk bersila diantara dua batang yang berdekatan, menyelimuti dirinya dengan ajian Angin-angin yaitu sebuah ilmu pelindung diri yang membuat orang tidak dapat membaca kehadiran dirinya. Dedaunan bergerak perlahan disentuh angin malam di Alas Kajeng. Pendekar misterius duduk diam menunggu ketiga orang yang mendekati Padepokannya. * Dua ekor kuda berderap sejajar masuk ke dalam Alas Kajeng. Pengendaranya tampak santai duduk di pelana. Sementara senja hampir menghilang. "Kita diikuti, Paman Guru!" Bisik salah satu dari pengendara itu. Ia terlihat masih sangat muda. Walau mengenakan pakaian sederhana yang kotor, wajahnya tampan dibawah caping bambu yang sederhana. "Ya. Sudah sejak beberapa waktu lalu?" Lelaki yang lebih tua menjawab santai lalu mengeliat. Lelaki ini terlihat sangat kumal dan tampak seperti pemalas. Tetapi sorot matanya yang terlihat tajam selalu awas menandakan ia selalu dalam keadaan siaga. "Musuhkah atau hanya bandit?" Tanya pemuda itu. "Tampaknya bukan bandit. Hmm, hawanya terlalu besar untuk seorang bandit. Aku khawatir ia prajurit yang diutus. Yah, atau bandit yang berilmu silat cukup tinggi. Hahaha!" Lelaki itu menertawai leluconnya sendiri yang kurang lucu sebenarnya. Pemuda di sampingnya ikut tertawa canggung. "Apa kita perlu berlindung? Aku lihat ada cahaya terang di depan sana. Tampaknya sebuah rumah". "Tidak. Kita harus tiba di Kediri sebelum pagi. Orang yang membuntuti kita tidak berbahaya. Walau begitu kita sebaiknya waspada. Ia tidak boleh tahu tujuan kita". Lelaki itu menguap dan menghentakkan tali kudanya dengan malas-malas. Alas Kejang sunyi hanya desir angin dan sesekali suara binatang malam yang terdengar. Tapi Pendekar Misterius yang sedari tadi menunggu, mendengarkan percakapan dua pendekar yang mendekat ke arahnya. Ia tidak bergerak, menyatu dengan batang yang didudukinya. Hanya orang berilmu sangat tinggi yang dapat merasakan kehadirannya. Lelaki pengendara kuda mendongak ke atas sekilas sambil sekali lagi menguap. Lalu kembali bercakap-cakap dengan pemuda yang bersamanya. Yang tidak disadari pemuda itu adalah bahwa lelaki itu dengan gerak secepat angin melemparkan sebuah mata panah ke atas dan menancap tepat di samping Pendekar Misterius. Pendekar Misterius tetap duduk tak bergerak walau ia sedikit terkejut. Ia menyadari bahwa lelaki yang baru saja melintas itu bukan orang biasa dan apapun yang dilemparkan lelaki itu padanya bukan bertujuan untuk membunuhnya, karena jika iya maka ia mungkin dapat merasakan hawa itu dan mungkin sudah terbunuh atau paling tidak terluka. Pendekar misterius mengangkat wajahnya perlahan. Dilihatnya orang yang membuntuti kedua pengendara itu mengendap-endap di antara batang pohon. Pendekar misterius tahu bahwa kehadirannya tidak bisa dirasakan oleh orang ketiga ini. Ia menunggu selama beberapa saat. Setelah orang-orang yang lewat di bawahnya berlalu, ia menengok ke samping, dilihatnya sebuah mata panah tertancap. Ia mencabut mata panah itu. Diperhatikannya mata panah itu. Sebuah mata panah dari batu dengan sebuah simbol yang terukir. Tiba-tiba Pendekar Misterius bergerak meloncat dari batang pohon ke batang lain. Gerakannya gesit tanpa suara. Hanya caping lebarnya yang berdesir seperti daun tertiup angin. Diingatnya sebuah pesan tentang mata panah itu.
Wahai pendekar pengelana yang mengukir rembulan di antara belulang hujan mana yang kau tadah hendak kemana kaki kau langkah
Pesan itu adalah salah satu sandi dari Para pelindung Yang Tersumpah dan mata panah batu berukir rembulan adalah salah satu alat komunikasi di antara mereka. Pendekar Misterius masih meloncat-loncat di antara pepohonan dengan cepat. Menelisik setiap jengkal Alas Kajeng. Mencari musuh yang bersembunyi. Kehadiran mata panah itu hanya satu, pengendara kuda yang melemparkan anak panah itu sedang diintai musuhnya. Pendekar Misterius berdiri di pohon tertinggi di Alas Kajeng dan memandang ke segala penjuru arah. Penglihatanya lebih tajam daripada manusia biasa. Setiap Pelindung Yang Tersumpah terkadang memiliki misi masing-masing. Sebuah misi rahasia yang melibatkan pihak kerajaan atau orang-orang yang memang harus dilindungi karena sesuatu hal. Pendekar Misterius membatin, "Siapakah gerangan hujan yang sedang dilindungi oleh Pendekar itu?" Lalu diingatnya percakapan tentang Kediri. Ah, dan bagaimana ia tahu aku adalah salah satu Pelindung Yang Tersumpah? Ia semakin penasaran. Kemudian dilihatnya serpihan debu di kejauhan. Ia menjejakan kakinya ke batang kayu tempat ia berdiri lalu meloncat tinggi. Jika ada orang awam yang melihatnya, ia akan tampak seperti terbang. Sebelum mendarat ia bersalto dan kembali berloncatan dengan lincahnya dari pohon ke pohon dengan gerakan yang sangat cepat. Ia berhenti di sebuah pohon tinggi tepat di tepi Alas Kajeng dan melihat puluhan orang bergerak ke arahnya dan beberapa meter di belakangnya tampak pengendara kuda itu mendekat ke arah yang sama. * "Nah!" Lelaki pengendara kuda berseru. pemuda di sampingnya terhentak kaget. "Tampaknya memang ada yang membocorkan rencana perjalanan kita, Rangga!" Pemuda yang disapa Rangga itu menoleh pada lelaki itu, "Maksud, Paman, orang yang sedang membuntuti kita itu?" "Bukan. Lihatlah di depan sana. Tegakkan tubuhmu lalu berkonsentrasilah. Sudah saatnya kau mulai mempraktekan ajian Panca Terawang yang aku ajarkan padamu." "Baik, Paman Guru," Pemuda itu duduk tegak di atas pelana kudanya, diaturnya nafasnya dan ia bersemedi. Lelaki disampingnya masih duduk santai memegang tali kekang kudanya. Memerlukan waktu beberapa menit hingga pemuda itu berucap perlahan, "Aku melihat puluhan orang mendekat". Ia menoleh pada paman gurunya, "Apakah mereka utusan Pamanda Gajah Mada, Paman Guru?" Lelaki yang disapanya hanya diam. Nafasnya terdengar teratur, Rangga hampir mengira paman gurunya tertidur. Mereka hampir mencapai tepi Alas Kajeng. Kemudian didengarnya derap puluhan langkah kaki. Ia menarik tali kekang kudanya, melambatkan langkah kaki kudanya. "Majulah, Rangga. Kita tak perlu gentar". Pemuda itu menoleh, dilihatnya lelaki di sampingnya duduk tegak, wajahnya tenang dengan sorot mata yang tajam. Lelaki pemalas yang sejak awal perjalanan menemaninya seperti hilang digantikan seorang pendekar yang walau dengan pakaian lusuh memancarkan hawa energi besar dan wajah tampan dibawah brewok lebatnya. Rangga sering kali menyaksikan perubahan ini tetapi setiap kali melihatnya, ia selalu terpesona. Lelaki pemalas yang diutus ibundanya, Tribhuwana Wijayatunggadewi, untuk menjadi gurunya selalu dianggapnya remeh pada awal pertemuan. Tetapi saat ia diselamatkan dari serbuan para prajurit Majapahit di kediamannya di kaki gunung Hutan Legi, ia melihat bahwa guru yang diutus ibundanya memang benar-benar seorang pendekar berilmu tinggi. Mereka sudah mencapai tepi Alas Kajeng lalu berhenti beberapa meter di depan puluhan orang dengan lembing di tangan. Sementara Pendekar Misterius waspada di atas pohon di tepi hutan. "Serahkan anak haram itu, Wolu Likur!" Seru seorang yang duduk diatas kuda. Tampaknya orang itu adalah pimpinan rombongan. "Tak perlu kasarlah, ki sanak. Anak tetap anak tanpa embel-embel haram dan Prajurit Majapahit tak pantas berpakaian ala kadarnya seperti itu. Mungkin kalian salah kostum, malam ini?" "Tak perlu lelucon basi, Wolu Likur. Patih Gajah Mada yang memerintahkan ini. Hayam Wuruk akan menjadi raja dan anak itu hanya akan menjadi penghalang!" "Katakan pada patihmu itu, ki sanak, dalam diri anak ini ada darah yang sama dengan Hayam Wuruk jangan seenaknya membunuh saudara tua calon raja". "Anak yang tak diinginkan kelahirannya! Sri Ratu bahkan membuangnya ke Hutan Legi!" "Ah, kau bolehlah berucap setahumu, ki sanak. Tapi aku akan mengantar anak ini ke ayahnya di Kerajaan Sunda sana! Ia takkan menghalangi calon rajamu untuk menjadi raja! Ia adalah warga bebas, ki sanak!" "Tak perlu banyak bicara, Wolu Likur. Kau hanya seorang diri takkan mampu melawan kami!" Tiba-tiba lembing berterbangan. Dua lelaki pengendara kuda itu loncat tinggi menghindari lemparan lembing dan mendarat di tanah berumput. Seketika malam sepi dihentak oleh suara gaduh teriakan para prajurit yang menyamar. Dua pengendara kuda itu dikepung dari segala penjuru. Lembing dan panah melesat dari berbagai arah. Berdesing memekakkan telinga. Wolu Likur dan Rangga berkelit gesit menghindari berbagai senjata itu. Wolu Likur mengeluarkan ajian Penangkal Api, ajian untuk melindungi diri dan orang didekatnya. Cahaya putih tampak mengitari mereka. Tak lama para prajurit menyerang dengan pedang dan golok. Adu senjata tak terelakan. Denting besi, derap kaki, dan teriakan membahana di tepi Alas Kajeng. Pendekar Misterius masih waspada mengamati dari pohon tempat ia berdiri. Matanya yang awas memperhatikan setiap gerak langkah prajurit dan dua orang pendekar yang sedang bertarung. Ia tersenyum dan berdecak, "Dua puluh delapan langkah. Dua puluh delapan orang. Sungguh sesuai namanya pendekar Wolu Likur". Tiba-tiba dilihatnya seorang prajurit mengayunkan pedangnya ke arah Rangga. Secepat kilat dilemparkan capingnya. Lemparan caping itu menghantam jatuh prajurit itu. Seperti bumerang, caping lebar itu kembali lagi ke pemiliknya. Rangga terhentak dan menoleh ke arah pohon tempat pendekar Misterius itu mengawasi. Di tengah pertempuran sengit, ia berteriak pada Wolu Likur. "Siapa itu, Paman Guru?" "Pendekar Misterius turunlah. Bergabunglah. Ayolah berolah raga sedikit. Lelah ki sanak berdiri mengawasi saja! Bantulah kami" Teriak Wolu Likur sembari menepis pedang-pedang yang dihujami para prajurit ke arahnya dengan membabi buta. Pendekar Misterius tersenyum lalu melesat menuju ke tengah pertempuran. Ia memasang kuda-kuda, seberkas cahaya hijau muncul dari tangannya. Digerakannya tangannya untuk menghentakkan tanah. Seketika beberapa musuh yang tersisa melayang terlempar, berjatuhan seperti daun kering. Para prajurit berlarian mundur. Pendekar Misterius membersihkan tangannya dari debu tanah dan rerumputan. "Wah wah, seharusnya ki sanak turun sedari tadi. Supaya tidak lelah kami bermain senjata tajam", sapa Pendekar Wolu Likur yang memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung di belakang punggungnya. Ia melangkahi mayat demi mayat mendekat pada Pendekar Misterius. "Terima kasih, Pendekar. Terima pesan saya rupanya?" Pendekar Misterius mengembalikan mata panah rembulan, "Bagaimana pendekar tahu bahwa saya adalah Pelindung Yang Tersumpah?" tanyanya. "Ah, mudah itu. Tidak banyak yang menguasai ajian angin-angin dan hanya mereka yang tersumpah yang mewarisi ajian itu. Saya dapat merasakannya saat melewati tempat tuan pendekar duduk di depan rumah yang kami lewati di Alas Kajeng". Pendekar Misterius tertawa, "Yah yah, saya tak terpikirkan itu! Hahahaha!" "Wah, berarti rumahkayu itu Padepokan sampean? Aha, rupanya kehadiran kami sudah dapat dipantau oleh istri sampean ya?" Pendekar Wolu Likur tertawa. "Ya, ia mengetahui bahwa ada dua pengendara kuda yang diikuti salah satunya adalah pendekar berilmu tinggi. Ternyata pendekar itu Pendekar Wolu Likur yang terkenal!" "Ah, saya cuma paman guru, ki sanak. Sampean yang namanya tenar seantero Majapahit tapi orang-orang bahkan belum pernah bertemu sampean! Sampean dan istri sampean, Nyai Daun Ilalang!" Kedua pendekar itu bercakap layaknya dua teman lama. Rangga hanya diam memandangi keduanya. "Oh ya ini Rangga, Pendekar. Putra dari masa lalu Sri Ratu dan salah satu pembesar Kerajaan Sunda. Ia dibesarkan di bawah pengawasan Guru Adityajaya tetapi ia mangkat beberapa tahun silam dan saya yang diminta menggantikannya." Pendekar Misterius mengangguk dan berjabatan dengan Rangga. Ia mengerti pemilihan kata 'masa lalu' yang diucapkan Pendekar Wolu Likur. Ia juga paham bahwa Wolu Likur tak bisa membeberkan cerita lebih panjang lagi. "Kami harus pergi, Pendekar. Tetapi sebelumnya saya harus minta tolong pada Pendekar dan mungkin Nyai," Pendekar Wolu Likur mengeluarkan seekor merpati dari dalam bajunya, "Ini Halimun. Ia terluka terkena sabetan pedang tadi. Ia harus mengantarkan pesan saya pada istri saya di Pawon ManteraKata di Trowulan. Apakah pendekar sedia merawat dan memastikan ia sampai di tujuan? Tetapi saya tidak tahu apakah orang-orang ini sudah mengetahu tentang penyamaran saya dan Pawon ManteraKata. Pendekar harus memastikan dahulu bahwa istri saya yang membukakan pintu dan bukan pihak lawan yang menyamar. Saya rasa Nyai Daun Ilalang pasti bisa memastikan itu, bukan?" "Baik, Pendekar. Serahkan pada saya dan istri saya. Saya akan pastikan merpati ini sampai ditujuan dan istri sampean terima pesannya!" "Terima kasih, Pendekar. Kami berhutang pada tuan", Pendekar Wolu likur dan Rangga menaiki kudanya lalu melanjutkan perjalanan.
Untuk diikutkan dalam Kontes Cersil PadepokanRumahkayu.
Sumber gambar: http://img.ehowcdn.com/article-new/ds-photo/getty/article/178/84/87637860_XS.jpg
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI