Mohon tunggu...
ABDUL HALIM FATHANI
ABDUL HALIM FATHANI Mohon Tunggu... Pemerhati Pendidikan

Pemerhati Pendidikan. Menempuh pendidikan program sarjana di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pada program studi Matematika (lulus 2006). Kemudian melanjutkan studi Program Magister Universitas Negeri Malang, pada program studi Pendidikan Matematika (lulus 2011). Aktivitas sehari-hari yang ditekuni -di samping mengajar- adalah membuat tulisan yang kemudian dikirimkan ke pelbagai media massa/media online maupun yang diterbitkan dalam bentuk buku. Saat ini juga aktif menjadi Editor Buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Matematikawan Ulul Albab

12 Oktober 2010   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:30 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau diterjemahkan secara bebas, ulul albab dapat artikan sebagai orang yang berakal atau cendekiawan yang selalu menghadirkan Allah swt di mana pun dan kapan pun. Allah swt menggambarkan sosok ulul albab dalam surat Ali Imran ayat 191: “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Allah, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Berpijak pada ayat ini, maka seseorang yang disebut ulul albab, apabila memenuhi dua syarat, yakni orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah swt dan selalu berfikir terhadap ciptaan-ciptaan Allah swt.

Dzikrullah artinya mengingat Allah. Perkataan “sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” dalam surat Ali ‘Imran ayat 191 menunjukkan bahwa ulul albab itu mengingat-ingat Allah swt dalam setiap waktu dan segala keadaan. Ketika mengamati matahari terbit, menyembul di arah Timur, memancarkan cahaya kuning kemerahan yang luar biasa indah, dia menyadari bahwa benda langit adalah ciptaan Allah swt. Tatkala sedang berbaring sakit, dia ingat bahwa Allah swt yang menetapkannya sakit; maka dia bersikap sabar, sikap yang mengangkat derajajatnya ke tingkat tinggi. Ketika sedang bekerja keras dia sadar bahwa hasil kerjanya tidak bergantung kepada dirinya, tetapi Allah swt yang menentukan. Oleh karena itu, dalam ikhtiarnya yang keras dia berserah diri (tawakkal) sepenuhnya kepada Allah swt. Ingatan yang terus menerus kepada Allah menjadikan seorang Ulul Albab tenang hatinya. Jiwa yang tenteram mengendurkan gejolak keresahan, maka dia mampu berpikir jernih sehingga mencapai sukses dalam banyak usahanya. (Harsolumakso, 2010)

Pada dasarnya, dzikrullah tentu tidak hanya dimonopoli oleh agamawan yang notabene ahli di bidang ilmu-ilmu agama saja, seperti ahli fiqih, tauhid, tasawuf, dan sebagainya. Tetapi, orang yang bergelut di bidang ilmu-ilmu umum yang bersumber dari ayat-ayat kauniyah, seperti Matematika juga memiliki kesempatan yang sama untuk senantiasa mengingat kepada Allah swt. Tentu, dzikrullah yang dimaksud menggunakan Matematika sebagai wasilahnya. Dengan kata lain, siapa pun orangnya yang belajar matematika maka ia harus mampu menjadikan matematika sebagai sarana untuk mengingat Allah swt. Salah satu media yang dapat digunakan untuk menjadikan matematika sebagai wasilah berdzikir kepada Allah swt adalah melalui al-Qur’an al-Karim.

Al-Qur’an selalu membuka diri untuk diinterograsi, ditanya, digali, dibantah, didebat, dan lainnya selama dalam perjalanan waktu sampai sekarang. Bagi yang memiliki kedalaman ilmu kedokteran, maka al-Qur’an membuka diri untuk diajak berdialog seputar kedokteran. Bagi mereka yang menguasai ilmu pertanian, kelautan, astronomi, psikologi, teknik, MIPA, ataupun cabang ilmu lainnya, maka al-Qur’an akan selalu membuka diri untuk dikaji, digali sesuai dengan disiplin keilmuannya masing-masing. Al-Qur’an merupakan kalam ilahi yang di dalamnya mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang tidak akan pernah habis untuk secara terus-menerus digali. (Hidayat dalam Basya, 2007:ix)

Dalam konteks Matematika, al-Qur’an sesungguhnya telah berbicara tentang bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, serta statistika. Dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 38 bilangan berbeda yang terdiri dari 30 bilangan asli dan 8 bilangan pecahan. Al-Qur’an berbicara aljabar, yakni operasi bilangan. Al-Qur’an berbicara mengenai geometri dan pengukuran, yakni mengenai panjang dan luas. Al-Qur’an juga berbicara mengenai statistika, yakni mengenai pengumpulan data, pengolahan data, dan penarikan kesimpulan. Amal semua manusia dikumpulkan, lalu diolah melalui neraca timbangan yang disebut mizan, dan kemudian disimpulkan apakah masuk surga atau neraka. (Abdussakir, 2007). Kalau kita menengok dalam sejarah peradaban Islam, bahwa Islam pernah berjaya dalam pengembangan matematika. Ulama-ulama matematika seperti Al-Khawarizmi, Umar Al-Khayyam, Al-Tusi, dan Ibnu Haytham telah memberikan sumbangan yang gemilang dalam perkembangan matematika. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa keemasan Islam dulu, banyak ilmuwan muslim yang selalu dzikrullah, mereka menjadikan Tauhid sebagai landasan pengembangan keilmuan.

Aspek kedua yang terkandung dalam firman Allah swt, surat Ali Imran ayat 109 adalah Tafakkur. Tafakkur bermakna mengamati dengan saksama, menganalisis dengan cermat, dan menyimpulkan analisisnya itu secara matang. Yang diamati, dianalisis dan disimpulkan adalah proses penciptaan langit dan bumi beserta segala isinya. Tafakkur yang berjalin erat dengan dzikrullah tidak akan menimbulkan stres di dalam jiwa. Tafakkur yang demikian itu akan menghasilkan dua hal penting. Pertama, pengertian baru mengenai berbagai proses dan kejadian yang berlangsung di alam; pemahaman itu bermanfaat bagi orang itu dan bagi masyarakatnya. Kedua, kesadaran yang mendalam mengenai “Tangan-tangan Allah” yang mengatur dengan sempurna segala sesuatu di alam raya ini sehingga setiap unsur alam beriteraksi dengan unsur-unsur lain, membentuk harmoni yang bermanfaat bagi sistem alam. (Harsolumakso, 2010).

Orang yang belajar Matematika, baik ketika masih di bangku SD, SMP, SMA, maupun tingkat perguruan tinggi, berarti ia sudah melaksanakan ciri ulul albab yang kedua, yakni tergolong orang-orang yang berfikir. Namun, berfikir yang dimaksud bukan berfikir keilmuan matematika saja, tetapi harus mampu menghadirkan prinsip-prinsip ilahiyah dalam matematika.(Kartanegara, 2005:10). Selama ini yang sering terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, para guru jarang untuk mencoba menginternalisasikan nilai-nilai ilahiyah dalam pelajaran matematika. Mereka berargumen, bahwa nilai-nilai ilahiyah bukanlah tugas guru matematika, tetapi hal tersebut dibebankan kepada tugas guru agama saja. Hal inilah salah satu faktor yang menyebabkan ada anggapan dikotomi keilmuan, antara Matematika dan Agama. Al-Qur’an, seyogianya menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan keilmuan matematika. Jika demikian, maka seorang ahli matematika pun dapat menggunakan matematika sebagai wasilah untuk memikirkan alam semesta sebagai bukti atas kebesaran dan kemahakuasaan Allah swt.

Allah swt berfirman dalam surat Shaad ayat 29 tentang tujuan diturunkannya al-Qur’an untuk manusia: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. Banyak orang membaca al-Qur’an, namun yang penting adalah sebagaimana yang Allah swt nyatakan dalam ayat-Nya yakni merenungkan setiap ayat al-Qur’an, mengambil pelajaran yang terkandung di dalamnya. (Yahya, 2003:124). Ayat Ayat-ayat al-Qur’an banyak sekali menggunakan formula kalimat bertanya dan perintah untuk mencari sendiri, seperti: Apakah tidak kau pikirkan? Apakah tidak kau perhatikan? Apakah tidak kau lihat? dan sebagainya. Formula kalimat bertanya semacam itu melahirkan inspirasi dan pemahaman bahwa memikirkan, memperhatikan dan melihat sendiri, seharusnya dijadikan  kata kunci dalam pilihan pendekatan belajar untuk memperluas ilmu pengetahuan. (Tim Perumus, 2009:21).

Aspek yang ketiga adalah amal shaleh. Amal shaleh merupakan turunan dari dzikirullah dan tafakkur. Artinya, jika seorang manusia telah melaksanakan dzikir dan fikir secara sempurna, maka ia harus berlanjut untuk melakukan amal shaleh. Hal ini sebagai wujud hubungan sesama manusia (habl min al-naas) yang merupakan  implemantasi dari hubungan dengan sang Khalik (habl min Allah). Seseorang tidak akan mungkin dapat mencapai derajat ulul albab, jika ia hanya mengandalkan aspek dzikir dan fikir saja.

Terkait hal ini, tuntutan dari seorang matematikawan yang ingin mencapai derajat ulul albab adalah tidak hanya menjadikan matematika sebagai wasilah untuk berdzikir dan bertafakkur saja, melainkan harus mampu menjadikan matematika untuk membangun kemaslahatan umat manusia. Keberadaan matematika harus banyak memberi manfaat bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam hal ini, seseorang dituntut tidak hanya mahir di bidang matematika spiritual dan teoretis saja, tetapi juga harus menguasai bidang matematika terapan. Matematika terapan bisa mengandung dua makna. Pertama, penerapan matematika untuk pengembangan keilmuan dirinya sendiri dan disiplin keilmuan yang lain, seperti matematika fisika, matematika ekonomi, statistika, dan sebagainya (manfaat teoretis). Bidang ini biasanya digeluti oleh orang yang menekuni bidang matematika murni, seperti analisis dan aljabar. Kedua, penerapan matematika di bidang pengembangan teknologi. Hal ini biasanya digeluti oleh orang-orang yang berada dalam bidang ilmu terapan, yang menghasilkan produk, seperti komputer, satelit, jaringan telekomunikasi, dan sebagainya.

Berpijak pada uraian di atas maka, untuk membangun generasi matematikawan ulul albab adalah diperlukan pelbagai ikhtiar yang dapat mengintegrasikan aspek dzikir, fikir, dan amal shaleh dalam satu kepribadian utuh dalam setiap matematikawan. Matematikawan ulul albab merupakan sosok matematikawan ideal yang harus segera mendapatkan perhatian prioritas bagi semua kalangan. Matematikawan ulul albab merupakan jawaban dari pelbagai kegelisahan yang menjangkiti sebagaian kaum muslim selama ini. Secara umum gambaran profil ideal matematikawan ulul albab adalah seorang matematikawan yang menjadikan Allah swt sebagai landasan untuk mengembangkan ilmu matematika yang mengakibatkan lahirlah nilai-nilai ilahiah (spiritual) dalam matematika sebagai wujud habl min Allah, kemudian selalu melakukan tafakkur demi pengembangan keilmuan matematika, dan mengedepankan aspek kemaslahatan manusia, yakni mengembangkan matematika terapan, sebagai wujud habl min al-Naas.[ahf]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun