Mohon tunggu...
Ahmad Sanusi
Ahmad Sanusi Mohon Tunggu... profesional -

Guru saya bilang : Jadilah guru, agar ilmumu terus mengalir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampanye: Kaos, Makan, Jalan-jalan, Hura-hura

14 Maret 2014   23:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:56 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun 1999 adalah tahun saat saya menjadi pemilih pemula. Berkat kegiatan ekstra sekolah yang saya geluti, tahun itu juga saya sudah langsung diminta ikut turun langsung aktif dalam partai yang baru dideklarasikan setahun sebelumnya, meskipun cuma jadi staff. Saya menerima keputusan partai, karena tujuan saya bergabung dipartai waktu itu untuk cari pengalaman organisasi.

Mungkin karena usia saya masih muda, karir politik pun sama sekali belum ada, sehingga lapanganlah tempat saya mengabdi untuk partai itu. Pengalaman saya kala itu hanyalah karena saya rajin dalam OSIS semasa sekolah. Alhasil, dikemudian hari, ditunjuklah saya sebagai Koordinator Lapangan (Korlap)

Musim kampanye adalah musim kerja keras saya selaku koordinator lapangan (korlap). Betapa setiap saya berangkat kuliah harus membawa serta APK (Alat Peraga Kampanye), mulai dari leaflet, brosur, stiker, CD profil partai dan cindera mata lain yang bernuansa.

Oh ya, APK itu bukan sepenuhnya pemberian partai secara cuma-cuma, tapi saya beli dari kantong pribadi, itu karena saya cinta betul dengan partai ini. Katakanlah itu sebagai cinta buta, cinta karena tokoh partai, pengaruh keluarga dan sahabat, sehingga saya mengidap syndrom fanatik partai, tidak sudi jika partai diolk-olok, dipojokkan, apalagi dijatuhkan.

Selama masa kampanye, jobdesc saya menggalang massa, agar kampanye di keesokan harinya banyak dihadiri massa. Sambil cari massa, saya menempel poster partai di tempat -yang menurut saya- strategis, dan itu saya lakukan sebelum subuh.

Anehnya, saat poster hasil tempelan saya dirusak, disobek dan hilang dipagi harinya, saya langsung bersungut dan berburuk sangka : Pasti partai anu yang nyopot, batin saya. Saya tidak pernah mendapat pendidikan politik tentang bagaimana marketing partai yang efektif selain door to door saat itu. Komunikasi politik dengan partai lain pun nyaris tidak ada selama masa kampanye. Jadi, berlakulah "Kawasan Bebas Atribut Partai Anu".

Kompetisi tidak sehat dan sering sakit hati itu membuat pikiran saya buntu, kadang jika tim saya sedang tersulut emosi, hanya gara-gara atribut berujung ribut. Bukan sekali dua kali itu terjadi. Tapi bukan saya  pelakunya, saya cukup sabar dan berpikir panjang jika salah menyikapi tantangan dari partai lain.

Yang paling tidak enak adalah mencari massa. Amunisi yang disediakan partai adalah : kaos, makan siang, kendaraan (bus) atau uang bensin. Namanya juga massa heterogen, yang saya tidak mampu membaca pikiran mereka saat itu : apakah mau ikut kampanye karena kenal partai atau karena ada kaos partai dan jalan-jalan keliling kota gratis.

Di kampanye putaran pertama, saya mendatangi kampung di ujung lingkungan RW saya. Kampung itu dikenal sebagai tempat kumuh. Tujuan saya membawa mereka kampanye agar mereka ikut meramaikan, karena sebagian besar mereka dari kalangan ekonomi kebawah, yang -bisa jadi- jarang keliling kota.

Syukurlah, 35 orang dari kampung itu berhasil ikut. Saya juga senang dengan respon mereka, merasa ujub dan berhasil mengajak mereka. Kampanye di mulai dari kantor Cabang partai (setingkat Kecamatan) dan mengambil rute keliling jalan utama menuju Kotamadya Jakarta Timur.

Setengah jalan rombongan kampungku dipulangkan atas perintah pimpinan partai. Penyebabnya cuma satu : mereka berkata kotor. Satu bus yang saya rekomendasikan itu memang dari kalangan rakyat jelata, yang tidak tahu-menahu tentang adab kampanye santun yang di usung partai itu. Kesal mendengar sikap dan ucap kotor, saya dititah pimpinan untuk memulangkan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun