Mohon tunggu...
Masrul Purba Dasuha
Masrul Purba Dasuha Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Saya Masrul Purba Dasuha, SPd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nagur, Kerajaan Kuno Di Pulau Sumatera

29 Januari 2016   04:59 Diperbarui: 11 Oktober 2020   06:34 7308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk menstabilkan kedudukannya, wilayah kekuasaan Nagur di sebelah hilir hingga Asahan diserahkan kepada panglimanya marga Saragih yang kemudian mendirikan Kerajaan Batangiou, peristiwa ini terjadi sekitar abad 12. Raja Batangiou ini menikah dengan puteri Nagur dari keturunan Damanik Simargolang yang berkuasa di Tanjung Balai (Urung Balei) hingga Pulau Raja Asahan. Wilayah kekuasaan Batangiou ke barat berbatasan dengan Nagur, ke utara mulai dari Pamatang Tanoh Jawa sampai daerah Batu Bara dan ke timur berbatasan dengan Kerajaan Simargolang hingga ke Pantai, kerajaan ini memerintah selama sebelas generasi. (Tideman, 1922: 12). Wilayah Nagur kian menyusut hanya mencakup Dolog Silou, Raya, Panei, Purba, dan Silima Huta (Moolenburg, 1909: 555) terus ke tanah Karo, sebagian tanah Pakpak, dan pesisir timur dari Tebing Tinggi sampai Langkat. Brahma Putro dalam bukunya Karo Dari Jaman Ke Jaman mengemukakan, pada zaman dahulu di tanah Karo terdapat Kerajaan Nagur yang diperintah oleh marga Ginting Pase, yang berpusat di Kuta Pase dekat Sari Nembah Kecamatan Munte sekarang. Kerajaan ini tunduk dibawah kekuasaan Nagur yang berpusat di Tiga Runggu, wilayah kekuasaannya meliputi sebelah selatan Lau Biang, dari Tongging sampai Kuta Bangun dan pegunungan Sampe Raya. Di daerah pusatnya di Simalungun, muncul penguasa baru yang melepaskan diri dari Nagur seperti Kerajaan Manik Hasian yang berpusat di Simanjoloi, Kerajaan Jumorlang di Jorlang Huluan, dan Kerajaan Riou (Amin Damanik & Jaramen Damanik, 1976 : 11).

Gambar 13: Situs Nagur berupa nisan, tampak pada foto Hendry Damanik dan Franswell Fabo Sumbayak sebagai tim penjelajah. Situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan oleh pihak perkebunan pada zaman Belanda.

Pada tahun 1275-1295, ekspansi politik Kerajaan Singosari melalui gerakan ekspedisi Pamalayu juga turut meluas ke kerajaan Nagur, namun tidak diketahui dengan pasti apakah pada masa itu sempat terjadi konflik antara bala tentara Singosari dengan rakyat Nagur. Para pasukan Jawa berkoalisi dengan pasukan Dharmasraya Jambi yang dikomandoi Panglima Kebo Anabrang dan pembantunya Panglima Indrawarman seorang keturunan Melayu-Minangkabau, mereka memusatkan kedudukan di sekitar muara Sungai Asahan (Wibawa, 2001:14-15). Sebelum bergerak ke Nagur, pasukan Indrawarman awalnya menaklukkan daerah Siak, Rokan, dan Kandis di Riau. Kemudian pada tahun 1289 baru perhatian mereka mengarah ke wilayah Andalas (Sumatera Barat), terus Mandailing, Panai, hingga sampai ke Asahan. Pasukan mereka dibagi ke dalam beberapa divisi atau batalyon, sebagian tetap bertahan di Asahan, selebihnya menuju Haru, Kampai, Tamiang, Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri. Jejak-jejak daerah yang dilintasi oleh ekspedisi Pamalayu ini dicatat dengan lengkap pada kitab Negarakertagama (Desawarnana). Di tengah mengemban tugas, di luar dugaan mereka di Singosari terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh Jayaktawang Raja Kediri dibantu puteranya Ardharaja yang menjadi menantu Kertanegara. Peluang ini dimanfaatkan Jayakatwang untuk menggulingkan kedudukan Kertanegara karena pada saat itu sebagian besar senopati (panglima) dan pasukan-pasukan Singosari terlibat dalam ekspedisi Pamalayu, sehingga benteng pertahanan di lingkungan istana Singosari sangat lemah. Mendengar pemberontakan yang terjadi, Kebo Anabrang lalu mengimbau sebagian besar pasukannya agar kembali ke pulau Jawa, Panglima Indrawarman diperintahkan agar tetap bertahan di Sumatera Timur guna menjaga stabilitas daerah-daerah koloni yang berhasil mereka taklukkan.

Kerajaan Pasai turut mengembangkan pengaruhnya ke Sumatera Timur, kelemahan Nagur dijadikan peluang untuk menyerang Nagur, menghadapi invasi Pasai ini Nagur benar-benar kewalahan, sejumlah wilayah kekuasaan Nagur di bagian pesisir berhasil direbut. Pada pertempuran ini panglima Nagur dengan keberaniannya terlebih dahulu memasuki wilayah Pasai, pasukannya tertinggal di belakang, akibatnya pasukan Pasai dengan mudah mengalahkan panglima Nagur, dia kemudian terdesak sampai ke jurang di tepi laut dan terjerumus ke dalamnya. Pasukan Pasai mengira dia sudah mati, namun ternyata dia masih hidup, mereka lalu pergi meninggalkannya. Untuk menyelamatkan dirinya panglima ini kemudian meniup Salohap untuk mengundang sekelompok hewan agar datang membantunya, tidak lama kemudian datanglah seekor penyu yang membawanya ke tepi pantai, kambing hutan membawanya dengan mendekapkan tubuh sang panglima pada perutnya, dan ular sawa melilitnya lalu membawanya ke atas bukit. Sesampainya di bukit, seekor biawak juga datang membantu untuk menunjukkan jalan, kemudian disusul seekor harimau membawanya melewati para musuh, dan terakhir seekor burung tuldik yang bertugas mengacaukan perhatian para musuh agar jejak panglima tersebut tidak diketahui. Berkat jasa besar yang diberikan sekelompok hewan ini sehingga mendasari keturunan Nagur dari golongan Damanik Malayu dipantangkan memakan penyu, kambing hutan, ular sawa, biawak, harimau, dan burung tuldik.

Gambar 14-15: Penulis bersama Kepala Museum Simalungun Bapak Drs. Jomen Purba berdiri dekat batu catur peninggalan Raja Nagur di Museum Simalungun, Kota Pamatang Siantar

Setelah berhasil selamat, perang kembali meletus namun tidak berselang lama, pihak Nagur dan Pasai memutuskan berdamai, pada masa inilah salah seorang keturunan Nagur ikut serta ke Pasai mendampingi perjalanan mereka. Panglima Nagur ini kemudian menikah dengan puteri Pasai dan membentuk pemerintahan baru di sekitar Bireuen meluas hingga ke Pidie yang tunduk pada Pasai. Panglima Nagur yang berangkat ke Aceh ini adalah keturunan dari panglima Nagur yang berperang melawan pasukan Raja Chola tahun 1025 di Pulau Batu Beranak. Keluarganya menitipkannya di Sokkur dan lahir di sana, akhirnya dia juga tumbuh menjadi seorang panglima menghadapi pasukan Pasai. Berbeda dengan penjelasan Nurdin Damanik dan Kadim Morgan Damanik, keduanya mengatakan di tengah pergolakan antara Nagur dan Pasai, salah seorang keturunan Nagur yang dikenal dengan Marah Silou pergi mengundurkan diri ke arah selatan Nagur yaitu Tapanuli Selatan menunggu keadaan aman. Dia berencana ingin mendirikan Kerajaan Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka tidak stabil, di mana terjadi perebutan kekuasaan antara Sriwijaya dan Haru sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan Sang Pang To di Perdagangan. Dia lalu pergi melanglangbuana ke Aceh, di hulu sungai Pasai daerah Pidie dia membentuk pemerintahan baru yang tetap berinduk pada Kerajaan Nagur yang ada di Simalungun (1200-1285). Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara karangan HM Zainuddin (1961) disebutkan pada tahun 1394 M Laksama Pasai yaitu Rabath Abdul Kadir Syah dari Nagur di Pedir (Pidie) melakukan kudeta dan menyerang Pasai, dia berhasil membunuh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir. Laksamana Nagur ini kemudian menggantikan kedudukan sebagai penguasa Samudera Pasai bergelar Maharaja Nagur Rabath Abdul Kadir Syah, dia memerintah selama enam tahun (1394-1400). Raja inilah yang berjasa mempertahankan Samudera Pasai ketika diserang oleh Majapahit tahun 1377-1378. Akibat gejolak ini, sejumlah keturunan bangsawan Pasai yang enggan tunduk dibawah kekuasaannya kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju pesisir barat Aceh, di tempat ini mereka mendirikan sebuah pemukiman bernama Kuala Daya. Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul "Wanita Aceh" selanjutnya mengisahkan, sang laksamana Nagur ini kemudian dibunuh oleh perwira bawahannya, Syahbandar Pasai bernama Arya Bakoy. Setelah membunuh Laksamana Nagur, dia lalu meminang janda Sultan Zainal Abidin Malik-Az-Zahir dan menjadi ayah tiri Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Keberadaan Nagur di Aceh ini pertama kali diteliti oleh Gerrit Pieter Rouffaer (1860-1920), menurutnya Nagur di Aceh termasuk bagian dari Nagur di Simalungun.

Pasca runtuhnya Pasai tahun 1521 Masehi oleh serangan Portugis, Kesultanan Aceh bangkit dan berniat menguasai wilayah Sumatera Timur. Bangsa Portugis datang pertama kalinya ke nusantara dan berhasil menaklukkan Malaka tahun 1511, kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan nusantara. Pada masa inilah, Kerajaan Nagur melakukan kontak perdagangan dengan Portugis. Pada tahun 1539 untuk pertama kalinya Aceh melancarkan gerakan reunifikasi ke seluruh Sumatera Timur, sasaran ekspansinya di antaranya Nagur. Pada peperangan ini, Portugis turut mengerahkan bala tentaranya membantu Nagur dan juga menyediakan persenjataan dan amunisi. Sebagaimana hasil dokumentasi Ferdinand Mendez Pinto yang sudah diuraikan di atas, pihak Aceh sempat mengalami kekakalahan menghadapi kekuatan pasukan Nagur yang bersenjatakan panah beracun. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama, karena bala bantuan dari Turki dan Minangkabau datang membantu memperkuat pasukan  Aceh. Wilayah Nagur yang berada di Aceh berhasil diduduki, yaitu Jakur dan Lingua. Akibat mengalami kekalahan yang sangat berat, Nagur kemudian menyerah dan dengan resmi mengaku tunduk pada Aceh. Sejak itu Aceh sepenuhnya menguasai wilayah Sumatera Timur.

J. Tideman dalam bukunya "Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra" hal. 52-53, dia mengisahkan tentang salah seorang raja Nagur yang sangat gemar bermain catur. Di mana ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat, bahkan sudah diperingatkan akan ancaman musuh tetapi dia tetap memperhatikan permainan caturnya. Hanya ungkapan “syah...syah” yang keluar dari mulutnya. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia akan dibunuh apabila tidak menyerahkan batangan emas hasil judinya. Demi keselamatannya, hasil judi tersebut kemudian dia serahkan kepada pihak musuh sehingga mereka saling berebut untuk mendapatkannya, di tengah kondisi ini dia pergi meloloskan diri. Dari sini diketahui bahwa permainan catur sudah lama dikenal orang Simalungun, pada zaman dahulu untuk memindahkan potongan-potongan buah catur diserahkan kepada para budak. Di seberang Bah Sawa menjulang Gunung Datas, sekelompok bukit dengan puncak daratan, gunung ini menjadi saksi bisu kisah permainan catur antara Tuan Batangio dan Tuan Silo Malaha dari Nagur. Keduanya sepakat bermain catur di Buntu Parsaturan dekat Gunung Datas. Pada hari yang disepakati mereka bertemu, masing-masing disertai anak buah yang berjumlah cukup banyak. Dalam permainan ini, keduanya mempertaruhkan 12 orang budak, dalam sehari hanya tiga atau empat kali mereka melakukan permainan bahkan pernah juga hanya dua atau tiga kali. Tanpa disadari, permainan ini berlangsung satu tahun lamanya dan Tuan Silou Malaha akhirnya kalah dibuat Tuan Batangiou. Tetapi Tuan Silou Malaha tidak terima atas kekalahan itu, dia tidak mau membayar taruhan kepada Tuan Batangiou justru dia kembali ke Silou Malaha di dusun Bahal Gajah dekat Siantar.

Tuan Batangiou kemudian berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malaha dan membawa mereka ke Batangiou. Karena tidak menemukan penyelesaian, akibatnya meletuslah perang. Tuan Batangiou memiliki Bodil Pamuras (sejenis senjata api dengan Tunam, bahan pembuat mesiu yang banyak ditemukan di makam kaum bangsawan Simalungun). Peperangan ini berlangsung selama setahun, kuda Tuan Batangiou terluka parah dan menjadi pincang. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur, ketika musuh mendekati benteng Tuan Batangiou, Huda Sitajur sudah tidak bisa lagi berfungsi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, seorang budak bernama Si Jalak Lenteng membawa kuda buruan bernama “Huda Bunga-Bunga”. Bersama kuda ini dia membawa lari Tuan Batangiou ke Siantar, namun keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka berhasil tertangkap dan terbunuh. Sebelum kematiannya, Si Jalak Lenteng terus berusaha menembaki musuh dengan Bodil Pamuras, meskipun senjata itu tidak berisi peluru maupun mesiu, namun dengan penuh keberanian dia berteriak “Dengar kami, kami masih memiliki sedikit mesiu dan juga peluru. Apabila ada yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”. Di tengah kericuhan itu, warga Batangiou lantas memilih meninggalkan kampung mereka termasuk penduduk yang mendiami Gunung Datas menuju Onggo Sipoldas Panei.

Bukti Arkeologis Tentang Nagur

Pada saat penggalian dan penjelajahan yang dilakukan Tim Komunitas Jejak Simalungun yang diketuai Sultan Saragih bersama Hendry Damanik dan Franswell Fabo Sumbayak terhadap situs Nagur di desa Sokkur Raya Kahean, Simalungun. Didampingi Tuan Subirman Damanik, mereka berhasil mendokumentasikan sejumlah situs Nagur seperti Liang Bokkou yang pada zaman dahulu menjadi tempat hunian penduduk Nagur sebelum mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa. Ada juga Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar 90 x 90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter, setelah itu ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4 x 3 meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, tidak jauh dari situ mereka kembali menemukan lorong sebesar 1 x 90 centimeter sepanjang 6 meter. Di kebun Parbatu (dekat Tebing Tinggi) terdapat dua gua peninggalan Nagur yang bernama Liang Tanggiripan Tunggal dan Liang Tanggiripan Boruboru. Selain itu ada juga situs batu nisan peninggalan Nagur, situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan oleh pendirian perkebunan dan pabrik-pabrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun