Kita semua pernah muda. Â Mengenal pasangan dan menikmati masa bahagia saat belum menikah. Perasaan kangen, Â bahagia, Â takut kehilangan dan harapan untuk saling memiliki mendorong kita untuk meneruskan hubungan sampai ke lembaga perkawinan
Lalu kita menikah, Â perasaan bahagia membuncah. Pesta pernikahan sederhana menjadi gerbang bersatunya perasaan. Â Dan menumbuhkan tanggung jawab untuk memelihara cinta.
Tak lama  kemudian hadir seorang anak sebagai perekat hubungan.  Meskipun kita harus berkorban tak bisa bersentuhan dalam beberapa saat. Tapi melihat anak sehat sudah menjadi sumber kebahagiaan.
Aktifitas membangun cinta memang tak harus dibuat di ranjang. Â Bahkan merawat anak bisa dilakukan secara bersamaan di sela kesibukan. Membuatkan susu, Â mengganti popok, Â atau memandikan. Â Bahkan banyak anak suka bila mandi bareng ayahnya.
Atau sesekali ayah boleh terjun ke dapur. Â Bantu-bantu kupas bawang, Â memarut kelapa, atau malah memasak kesukaan keluarga.
Bahkan saat anak sudah tidur, Â kita pun bisa duduk santai di teras rumah berduaan. Â Sambil menikmati suara jengkerik atau menyapa tetangga yang lewat. Â Coba pegang tangan pasangan, Â apakah masih terasa halus seperti saat pacaran?
Atau malah sudah tumbuh risa karena sering memegang sapu dan menggunakan peralatan rumah tangga?
Saat anak usia sekolah,  ada lagi kesibukan. Mengantar dan menjemput.  Memang sesekali ayah boleh juga bertugas mengantar dan menjemput, atau ayah dan ibu bersama melakukannya.  Tentu bila ada jeda waktu,  apalagi yang  sering  tugas ke luar kota,  ini sangat bermanfaat untuk kedekatan anak dengan orang tua.
Usia 10-15 tahun perkawinan, Â ini adalah saat yang terkadang sangat sulit. Â Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Â Si ibu sibuk dengan pekerjaan rumah dan ayah sibuk mencari nafkah.
Terkadang sebuah pasangan lalai, Â tujuan menikah. Â Mereka melupakan waktu untuk saling berdekatan karena satu alasan, Â lelah.