Mohon tunggu...
Stefanus Joko
Stefanus Joko Mohon Tunggu... -

Kawulo alit pencela bangsa sendiri tanpa memberi solusi. Pengagum Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Limasan Mbok Pijet

8 Desember 2010   20:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suara tangis bayi selalu menggulung suasana sepinya pagi. Hampir setiap hari tak kurang dua sampai tiga bayi merengek, menangis dalam siksaan tangan coklat kehitaman wanita tua itu. Tukang pijat bayi tradisional ini selalu saja memaksa penghuni rumah bangun pagi-pagi untuk segera berbenah. Keluarga nasrani ini tidak terbiasa bangun pagi untuk menunaikan sholat subuh seperti tetangga-tetangganya. Sekali-kali dilakukan asal tidak di dahului terbitnya matahari itupun hanya untuk berdoa pagi. Hidup bersama suaminya yang jelas lebih renta membuat hari-hari yang di lalui selalu monoton yang sepi.

Selepas menerima dua tiga pasien bayi untuk di pijat biasanya sekitar jam sembilan dia akan segera menyampirkan jarik gendong dan sabit atau gathul lalu pergi ke ladang. Ladang yang selalu saja mengering di saat hujan lama tidak bertandang mengelus bumi. Setelah adzan luhur baru akan berada di rumah untuk sekedar melarikan diri sementara dari sengatan matahari di ladangnya. Makan siang hanya di lakukan layaknya sambilan. Di lakukan sebagai pelengkap bahwa hidup masih butuh makan. Padahal dari hasil memijat bayi di pagi-pagi buta saja, makanan apa yang tidak bisa di beli olehnya untuk ukuran orang kampung di desa miskin.

***

Ada beberapa album foto menumpuk di bawah meja usang dengan kayu jati menghitam. Menandakan meja dan kursi itu pasti peninggalan jaman dulu. Minimalis tanpa ukiran. Dari foto-foto dalam album itu bisa di pastikan anak-anaknya ada yang bekerja di luar negri. Tampak dari foto seorang anak muda berlatar belakang Jembatan Golden Gate dan Patung Liberty di Amerika, pantai Copacabana dan patung Cristo Redemtem di Brasil, dan banyak negara lagi. Dan dapat di pastikan si pemuda itu bekerja di sebuah kapal pesiar yang keliling dunia.

“Itu foto-foto anak saya yang bekerja di kapal pesiar” jelas wanita tua ini tanpa di tanya. Sambil menggelung rambut panjangnya yang kalau tidak di minyaki dengan minyak pandan akan nampak putih bercampur hitam. Memang rata-rata wanita seusianya di kampung itu berambut panjang seperti wanita-wanita Jawa pada umumnya.

Nampak butiran-butiran keringat berkumpul di tengkuknya. Menandakan betapa tenaganya terkuras dalam pertarungannya memijat bayi laki-laki pasien ke tiganya pagi itu.

“Yang ini foto siapa mbok?” pertanyaan Sujiah pagi itu, sesaat setelah bayi yang dalam gendonganya reda menangis setelah di pijit wanita tua yang di panggilnya Simbok.

“Itu anak saya yang pertama, dulu tinggal di Banten” suaranya lirih sambil menghembuskan nafasnya panjang seolah beban berat terlepas dari tubuhnya yang renta. Kakinya di selonjorkan dengan kedua tangan di lepas ke depan menangkap dengkulnya yang semakin mengering.

“Jadi apa mbok di sana?” Sujiah melanjutkan pertanyaan pada wanita yang di panggilnya Simbok Pijet.

“Jadi pengawai bengkel. Bahkan dulu sempat punya bengkel sendiri dan beberapa usaha lainya” jawab si Simbok masih dengan suara haru yang tidak juga di pahami Sujiah. Bayi yang di gendong Sujiahpun terlihat letih setelah pemberontakan sia-sia dari pijatan si Simbok.

“Wah pengusaha dong mbok. Itu tandanya simbok berhasil mendidik anak. Anak simbok ada yang jadi pengusaha ada yang keliling dunia. Hebat, mbok! Lalu kapan rumah ini di bangun agar lebih bagus, mbok?” Sujiah terus saja mengomentari sesuatu yang tidak Simbok minta dan juga tidak mempedulikan reaksi Simbok yang semakin tidak tertarik membicarakan anak pertamanya.

Akhirnya Simbok terselamatkan datangnya mobil sedan mewah majikan Sujiah menjemput. Memang kadang bayi-bayi pasien Simbok di tinggal orang tuanya dan di percayakan pada pembantu atau baby sister keluarga. Namun sebagian besar si bayi di tunggui orang tuanya untuk sekedar mendampingi si bayi yang meronta begitu di pegang Simbok. Setelah bersalaman ucap terimakasih sambil memaksa simbok menerima amplop putih yang pasti berisi uang jasa untuk simbok yang telah memijat anaknya. Majikan Sujiah berlalu. Dan dapat di pastikan dalam beberapa hari kedepan akan membawa anaknya kembali untuk di pijat Simbok Pijet. Bahkan ada beberapa anak di atas tiga tahun yang selalu meminta sendiri di antar kerumah Simbok Pijet jika merasa sakit badanya karena capek bermain. Langganan anak-anak, bahkan dari desa seberang.

Setelah kepergian sedan mewah itu Simbok berdiri lunglai di depan pintu rumah limasan kuno tempat tinggalnya. Sang suami yang dari tadi memasakan air untuk menyeduh teh keluar dengan dua cangkir dan satu poci di atas sebuah nampan lingkar dari tanah liat.

***

Tiga tahun lalu,

“Mbok empat bulan lagi aku pulang. Setelah panen padi beres semua rumah ini akan aku pugar, akan aku bangun menjadi lebih bagus sebagai tetenger anak cucu bahwa dari sini leluhur mereka berasal” kata anak pertama Simbok yang pulang menengok . Anak pertamanya telah di kenal orang sekampung bahwa dia sangat berhasil dalam hidupnya. Bisnis yang dimiliki tidak membuatnya menjadi anak durhaka yang melupakan orang tuanya. Dari bisnis bengkel mobil, perikanan, perumahan dan burung wallet membuat bangga kedua orang tuanya.

“Tidak usah, le. Ramak dan Simbok sudah cukup senang dengan rumah ini. Yang penting tidak bocor kalau hujan” jawab Simbok yang juga di iyakan suaminya.

“Tidak mbok, pokoknya aku akan tetap membangun rumah ini. Tetap limasan seperti ini tapi dengan soko wolu yang lebih kokoh dan gagah, mbok” mencoba meyakinkan kedua orang tuanya.

“Terserah kamu, le. Tapi ingat anak-anakmu juga sedang butuh banyak biaya untuk sekolah”

Sore itu percakapan tentang cita-cita anak pertama Simbok Pijet untuk membangun rumah yang lebih layak tersimpul bahwa empat bulan lagi akan di mulai. Bahkan sebelum kembali ke kota dimana anak pertama Simbok Pijet ini bekerja menjalankan bisnisnya, semua kebutuhan bangunan telah di belinya. Semuanya tertumpuk di halaman rumah yang memang cukup luas.

Bulan telah berganti empat kali. Simbok dengan harapan baru, rumahnya akan di pugar dan akan di bangun rumah yang lebih bagus oleh anaknya yang paling sukses.

***

Sore itu empat bulan kurang dua hari dari janji si anak pertama Simbok pulang dan memulai cita-cita luhur untuk kedua orang tuanya. Bunga euforbia hanya berbunga putih pucat, pohon talok di samping rumah berbuah tak lebat dan tak banyak anak-anak yang berebutan memetiknya seperti tahun-tahun sebelumnya. Bunga melati yang biasanya semerbak harumpun tak menampilkan aroma terhebatnya di halaman rumah. Sore itu seolah-olah semuanya tidak ada yang menarik untuk di nikmati. Walau hanya dari emperan rumah limasan yang siap di pugar.

Datang bergegas terburu-buru Pak Kirjo tetangga Simbok berlari dengan nafas terengah-engah mencari suami simbok yang ternyata sedang merumput untuk ternaknya.

“Ada apa pak kog nyari Ramak. Tumben, sepertinya penting banget!” simbok yang sedang menyapu halaman rumah kaget heran bercampur curiga akan kedatangan Pak Kirjo yang tidak biasa.

“Ada kabar dari Banten tapi Ramak harus ada. Kalo belum pulang nanti saja saya ngomongnya” jelas Pak Kirjo dengan tergagap-gagap sambil menata nafas yang memburu tubuh tambunnya.

Sejenak kemudian Ramak yang di tunggu datang membawa sekeranjang rumput penuh di kepala.

Ramak, aku mau sampaikan kabar dari Banten” sesaat setelah Ramak menurunkan bebannya dan duduk melepas lelah.

Ramak dan Simbok yang tabah ….” belum selesai menyampaikan berita Simbok sudah menampakan perasaan sedihnya dengan mata berkaca-kaca dan menahan tangis di ujung pinggir bibirnya. Seolah-olah satu anak panah terlepas dari busurnya dan menusuk ulu hati Simbok. Masih dengan menebak-nebak berita yang akan di sampaikan Pak Kirjo.

“Aku dapat telpon dari Banten bahwa si Barep kecelakaan dan meninggal” dengan jelas agak sedikit berteriak untuk menghalau kegugupannya berita itu di sampaikan Pak Kirjo sambil tetap waspada dengan kemungkinan yang bisa terjadi pada kedua orang tua ini.

Seketika itu luluh lantak perasaan Simbok Pijet yang telah menyiapkan segala perasaan gembira akan datangnya anak pertama untuk membangun rumah reot itu. Sore itu atap rumah limasan itu seolah runtuh tanpa gempa atau angin. Seakan-akan ada kekuatan halus merobohkan pohon mahoni, pohon jati, pohon melinjo, pohon kelapa, pohon bambu di sekeliling rumahnya. Seolah-olah ada kekuatan maya yang menghancurkan piring, gelas, kursi, meja, lemari bahkan gerobok tempat menyimpan padi di dalam rumahnya. Sore itu tepat sebelum adzan maghrib terdengar dari Masjid dekat rumahnya bintang-bintang telah lebih awal bersinar lalu berjatuhan menghajar apapun yang ada di sekitar rumahnya. Rembulan tiba-tiba berwarna hitam kecoklatan nampak mengerikan mengirimkan kekuatan magis meleburkan apapun yang ada di sekitar rumahnya.

Letih lemas dan

“ Gusti kenapa aku!” dan lelap dalam dekapan sang pingsan tanpa ampunan.

Dan orang-orang berdatangan ikut berduka cita setelah dengan tanpa komando kabar itu menyebar ke seluruh sudut kampung miskin itu. Dan dalam sekejap halaman rumah Simbok Pijet berdiri tenda untuk para pelayat esoknya oleh para tetangga yang bergotong-royong, bukan rumah limasan yang kokoh dan gagah oleh anak pertamanya.

Gunungkidul, Januari 2010

Catatan:

Jarik Gendong: Kain panjang yang biasa di gunakan untuk mengendong.

Gathul: Salah satu alat pertanian traditional untuk menyiangi rumput.

Soko Wolu: Tiang rumah pokok yang berjumlah 8.

Limasan: Salah satu model rumah tradisional Jawa selain joglo dan lintring.

Ramak: Perubahan kata dari Romo menjadi Ramak dalam bahasa Jawayang berarti Bapak

Minyak Pandan: Minyak yang keluar dari irisan kecil-kecil daun pandan yang dicampur dengan minyak      sayur/kelapa.

Tetenger: Semacam monument/petilasan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun