Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dua Simpulan Dini dalam Kasus Penyerangan Syekh Ali Jaber

15 September 2020   23:37 Diperbarui: 16 September 2020   07:51 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkopolhukam, Mahfud MD mendatangi kediaman Syekh Ali Jaber pada Senin (14/9/2020) malam.(Dok. Kemenko Polhukam)

Radikalisme bermotif Agama
Oleh pihak lain, tudingan dialamatkan kepada pelaku radikalisme tepatnya radikalisme bermotif agama. Tindakan itu seolah menyelaraskan diri dengan kampanye pemerintah dalam memerangi ekstrimisme bermotif agama yang mengarah pada tindakan teror.

Baca juga : Good Looking nan Radikal? Mungkin Ada Benarnya

Perang melawan radikalisme itu hingga kini masih saja menjadi ajang adu argumentasi antara yang pro dan kontra. Terkadang tema itu pun menelurkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Yang masih segar dalam ingatan adalah pernyataan Menteri Agama tentang penampilan agen radikalisme yang good looking beberapa waktu lalu.

Kontraradikalisme sendiri dianggap telah memojokkan umat Islam dan menempatkannya pada posisi tertuduh. Meski dalam praktiknya, keberadaan golongan yang memiliki sikap keras dalam beragama tak dapat dinafikkan. Keras di sini tak selalu terwujud dalam perilaku yang melanggar hukum namun juga pada pola pikir yang hanya meyakini kebenaran berada di pihaknya semata. 

Golongan yang terakhir disebut itulah yang embrionya telah muncul sejak zaman nabi. Adalah seorang badui yang pernah menghardik Rasulullah karena menganggapnya tak adil dalam pembagian ghanimah (rampasan perang) yang biasa dijadikan contoh si kebenaran tunggal itu.

Lalu di penghujung masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, para ekstrimis itu semakin nyata dan mewujud sebagai gerakan pemberontakan.

Mereka inilah yang dinamakan golongan khawarij, yang menuduh Ali melenceng dari syariat Allah dan menghukumi halal darahnya. Walhasil, salah satu dari mereka --Abdurrahman bin Muljam -- berhasil melaksanakan misinya membunuh khalifah ke empat itu. 

Para ekstrimis itu bukannya dengan sengaja ingin merusak citra Islam. Mereka justru bermaksud agar syariat ditegakkan, tercermin dari semboyan "La Hukma Illa Lillah" yang meluncur dari lisan mereka. Meski pada kenyataannya justru merekalah yang lari dari Islam ibarat anak panah yang terlepas dari busurnya.

Baca juga : Jakarta PSBB Total? Nggak Apa, Sudah Biasa

Golongan yang mewarisi paham radikal itu hingga kini masih saja eksis. Neo khawarij telah mengambil peran yang dilakoni baik oleh Dzulkhuwaisirah maupun Ibnu Muljam dan menyusup di antara para pencari ilmu yang awam dan rentan dicekoki ajaran ekstrim.

Irisan Kontraradikalisme dan Anti Komunisme

Para pendukung kontraradikalisme dan anti PKI seolah menempatkan diri pada posisi yang berseberangan. Hal itu karena satu sama lain tak saling memberikan dukungan namun justru saling mengkritik.

Menurut saya, jika dicermati, mereka hanya mendefinisikan titik berat yang berbeda dalam dua kasus itu. Kontraradikalisme sejatinya pun menolak komunisme dan golongan yang anti PKI juga menolak radikalisme berbalut agama. 

Namun ada satu hal yang memperuncing perbedaan itu, apalagi kalau bukan politik. Yup, politik memang mampu dengan mudah menciptakan jurang pemisah ataupun sebaliknya, menyatukan yang semula terpisah. Beginilah suasana hidup di negara demokrasi, genks. Penuh intrik nan eksotik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun