Kini Pancasila ibarat sebuah warisan yang dipersengketakan oleh anak-anak bangsa. Satu pihak mengeklaim "Saya pancasilais" dan pihak lainnya menuding si "Saya pancasilais" justru hanya sok pancasilais.
Mengapa bukan "Kami Pancasilais"?
"Saya Pancasila", kalimat sederhana ini hingga kini masih terasa janggal di telinga. Entah karena kealpaan saya dalam berbahasa atau kalimat itu memang janggal adanya. Tapi apa daya, slogan itu sudah kadung membahana secara luas di seantero negeri. Banyak yang menggemakannya namun tak sedikit yang mencibirnya.
Slogan itu bagi yang tak menyepakatinya bagai sebuah klaim sepihak dari si pengucap, baik pribadi atau golongan, dan secara bersamaan menempatkan pihak lain yang enggan membersamainya sebagai pihak yang tak atau setidaknya kurang pancasilais.
Pancasila bagi penguasa kerap dijadikan gada penggebug golongan yang tak mendukung kelangsungan rejim. Itu kata para oposan. Meski dalam kenyataannya, pihak yang tergebug nyata-nyata memang tak mengakui Pancasila sebagai sebuah asas dalam peri kehidupan berbangsa bahkan ingin merubah bentuk negara.Â
Pancasila tentu tidak dimaksudkan untuk diduduksejajarkan dengan agama meski di dalamnya terkandung nilai-nilai keagamaan yang kental. Walaupun begitu, ia sebagai asas tunggal pun sempat digugat dalam pergumulan para elit politik di rumah pada wakil rakyat. Dan pilunya, semangat Pancasila pun kabarnya mulai ditinggalkan oleh generasi masa kini. Jangankan nilainya, bunyi sila-silanya pun terancam dilupakan.Â
Lalu jika menginginkan Pancasila tertanam lebih dalam di setiap anak bangsa, bukan kata "Kami" yang digunakan melainkan "Saya"?
Slogan Bumerang
Hendak menunjukkan bernaungnya Pancasila dalam diri, orang-orang pun seolah berlomba mengucapkan "Saya Pancasila". Namun dasar lidah, ia tak selalu diamini oleh perilaku tuannya.Â
Ketidakmampuan negara dalam mewujudkan negeri impian, gemah ripah loh jinawi, titi tentrem kerta raharja menjadi aral bagi penguasa untuk mendapatkan legitimasi akan ucapannya. Alih-alih diiyakan, para oposan justru menuding slogan itu hanyalah sebagai alat untuk melancarkan stigmatisasi anti Pancasila kepada pihak lain.Â
Contoh tersegarnya tercermin dalam perkataan putri mahkota partai penguasa, Puan Maharani. Pernyataannya, tak diragukan lagi, adalah sebuah ungkapan kontraproduktif bagi diri dan kendaraan politiknya. Bukannya bersikap menawan, ia justru bersikap sinis terhadap komunitas yang alot dalam menempatkan partai besutan ibunya sebagai pilihan.