Sosok waria bernama Mirelle sontak menjadi terkenal setelah dia muncul di sekian banyak unggahan di facebook. Termasuk facebook beberapa teman saya. Dia yang dinilai nracak (=tak menghormati, kurang ajar) karena berkomentar mengenai para dai dan al-Quran sontak menimbulkan nyinyiran dari para netizen.Â
Tak menunggu waktu lama, video dan foto-foto yang menunjukkan kewariaannya disebarluaskan oleh warga dunia maya. Kegusaran itu kemudian berlanjut pada dikaitkannya fenomena itu dengan hal lain yang sejatinya tak berhubungan. Diantaranya dengan Islam Nusantara.
Diberi Kesempatan Berbicara di Maiyah-an Cak NunÂ
Mirelle memang diberi waktu untuk berbicara di depan para Arema (arek Malang) yang hadir di pengajian Cak Nun, Maiyah. Di situ dia berbicara mengenai banyak hal termasuk masalah yang saya sebut di atas meski dalam porsi yang sedikit.Â
Mengenai kehadiran sosok yang merepresentasikan sebuah identitas kontroversial, Cak Nun menegaskan bahwa hal itu bukanlah wujud dari dukungan terhadap keberadaan LGBT.Â
Di akhir penuturannya, Mirelle menyinggung masalah sensitip yakni mengenai apa yang disebutnya sebagai ulama-ulama anyaran yang memiliki kebencian dalam hati. Entah kebencian kepada siapa yang dimaksudkannya, mungkin kebencian pada orang lain yang berbeda dengan pemikiran dan tindakan mereka. Lalu dia pun mengungkapkan tentang perlunya tafsir terhadap ayat agar al-Quran tetap sesuai dengan kondisi kekinian.Â
Di situlah banyak orang yang tak terima. Perkataan itu diartikan sebagai penghakiman terhadap para pendakwah. Mengenai al-Quran, dia amat mungkin divonis ragu bahwa kitab suci itu senantiasa relevan dalam membaca dan memberi jawaban atas segala permasalahan kontemporer. Padahal al-Quran dinisbatkan sebagai al-huda, petunjuk bagi umat Islam hingga akhir zaman.Â
Sebut Apapun Yang Menyimpang sebagai Islam NusantaraÂ
Memasuki tahun ke lima kehadiran istilah itu, publik masih saja gemar menjadikannya pesakitan. Seolah berlaku kaidah "apapun yang menyimpang dari syariat pasti terkait Islam Nusantara". Sebuah istilah yang mereka sebut sebagai aliran baru yang dimotori oleh orang-orang liberal di tubuh Nahdlatul Ulama (NU).
Sebenarnya, Islam Nusantara bukan hal yang baru. Istilah itu hanyalah memberi nama bagi banyak hal yang menjadi ciri Islam di Indonesia. Cara berislamnya orang-orang Indonesia yang mampu melekatkan tradisi dan nilai-nilai keislaman. Atau sejarah islamisasi Jawa pada khususnya yang merupakan hasil dari jerih payah para pendakwah yang kita kenal sebagai Wali Sanga.Â
Namun justru dari perlakuannya yang moderat terhadap tradisi itulah, NU mendapat tantangan dari sebagian muslim lain yang mengibarkan bendera perang terhadap sesuatu amalan baru atau bid'ah yang dianggap sebagai sebuah penyimpangan dalam syariat. Jadi tanpa melihat unsur lainnya, Islam Nusantara telah memiliki penentang dari kalangan muslim yang secara "natural" berseberangan dengan fikrah NU. Ambil contohnya tradisi tahlilan dan yasinan. Tanpa ba-bi-bu, tradisi islami di Nusantara itu akan tetap di dipersalahkan apapun pembelaan terhadapnya.
Tak hanya itu, Islam Nusantara menjadi lebih buruk imejnya saat diseduh dengan unsur politik. Yup, saat semua hal yang terkait dengan petahana dinilai sebagai hal buruk, Islam Nusantara pun dianggap sebagai sebuah proyek yang berbahaya karena dikaitkan dengan asumsi bahwa gerakan itu bermaksud untuk menolak esensi Islam yang sesungguhnya dengan mengorbitkan nama "Nusantara". Sebuah primordialisasi Islam yang sejatinya adalah rahmatan lil alamin yang tak mengenal batas bangsa dan wilayah. Begitu mereka menuduhnya.
Segala macam tuduhan itu sontak memunculkan sikap defensip dari kalangan NU. Difitnah kanan kiri, mereka pun menengarai adanya upaya beberapa kalangan untuk menjelekkan citra NU di mata khalayak. Bahkan Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siroj terang-terangan mengatakan bahwa ada upaya untuk menghancurkan NU sebelum 2024.Â
Baca juga tulisan lain :
Tema Muktamar Jombang 2015 yang dipromosikan ke tingkat dunia melalui International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) 2016 lalu itu dibelokkan penafsirannya oleh orang-orang yang memandang NU sebagai aral dalam memonopoli Islam sesuai dengan penafsiran mereka sendiri.Â
Dan friksi pun makin tajam saat golongan yang sebenarnya memiliki platform akidah bahkan fiqiyah yang sama dengan NU, berbaris bersama golongan luar dalam melawan NU.Â
Cak Nun yang Tak Anti Apapun
Tak diragukan lagi, Cak Nun adalah sosok kharismatik yang dekat dengan semua kalangan. Majelisnya pun memiliki banyak jamaah. Dia tak mengambil jarak kepada siapapun. Dan sikapnya itu kadang justru dijadikan sebagai justifikasi atas berbagai hal.Â
Seperti kasus Mirelle ini. Banyak orang menganggapnya sebagai sesuatu yang tak pantas mengingat majelis Cak Nun lekat dengan sentuhan keislaman yang kental. Membiarkannya berbicara di depan jamaahnya dianggap sebagai sebuah penghargaan terhadap kaum minoricong itu (meminjam istilah Mirelle).
Kejadian lain adalah hadirnya Felix Siauw di antara jamaah Maiyah beberapa waktu lalu. Bagi khalayak, syabab HTI yang kerap ditentang GP Ansor itu dianggap mendapatkan tempat di antara jamaah Cak Nun. Lalu dihadap-hadapkanlah Cak Nun dan NU yang sejatinya tak bermasalah.Â
Tapi begitulah Cak Nun yang tak anti terhadap siapapun. Cak Nun yang perkataannya terkesan begitu mengalirnya. Termasuk saat mengatakan bahwa sosok waria di hadapannya memiliki kesempatan lebih besar dalam mengenal Tuhan karena Tuhan pun yang bukan lelaki dan bukan juga perempuan.Â
Dan dalam potongan lain kalimatnya, Cak Nun mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat feminisme tercermin dari kalimat basmalah,"Yang Maha Pengasih dan Penyayang" yang lekat dengan nuansa keperempuanan.
Bagi yang berminat melihat videonya, monggo disimak di sini.