Mohon tunggu...
Rifki Sanahdi
Rifki Sanahdi Mohon Tunggu... Freelancer - Nama lengkap

Saya suka menulis puisi dan juga essay-essay pendek

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Habibie dan Cita-cita Anak Muda Indonesia

12 September 2019   10:59 Diperbarui: 12 September 2019   16:38 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat mendengar kabar tentang kepulangan eyang BJ Habibie ke pangkuan Allah SWT, saya kaget. Cita-cita saya untuk bertemu beliau sampai saat ini belum kesampaian. Jujur, ini untuk pertama kalinya saya merasa kehilangan seorang tokoh. 

Beliau bukan keluarga dan tak memiliki ikatan profesional apapun dengan saya, tetapi entah kenapa di antara beberapa mantan politisi yang ada, beliau begitu membekas di hati. Kemungkinan terbesar karena sejak kecil namanya seringkali disebut oleh orang tua.

Sejak kecil memang dalam memori kepala saya Habibie adalah salah satu symbol kecerdasan anak bangsa. 

Beliau memang tidak pernah memotivasi saya secara langsung, tetapi perjalanan hidupnya sudah cukup menjadi pembakar semangat untuk terus belajar dan mengabdi. 

Dalam empat tahun belakangan, video-video pidato beliau tidak pernah absen saya tonton. Saat semangat luntur, seakan-akan cerita perjuangan Habibie selalu terngiang-ngiang di telinga, dan itu membuat saya menjadi lebih semangat belajar; berusaha lebih keras dari biasanya.

Tadi malam suasana begitu mellow; saya melihat beranda facebook dan juga story di watsapp dipenuhi ucapan bela sungkawa atas kematiannya. 

Melalui tulisan singkat ini saya ingin mengenang almarhum melalui mimpi-mimpi yang dulu pernah, sedang dan akan saya perjuangkan. Hal pertama yang begitu berkesan dari sosok kepribadiannya yaitu etos belajar dan kerja yang tinggi. 

Sampai umur setua itu, 83 tahun, saya melihat ada energi positif dan juga pemikiran yang energik yang selalu beliau tunjukkan saat memberikan beberapa kuliah singkat. 

Tanpa hendak membanding-bandingkan dengan orang lain, beliau menjadi motivator langka yang tidak hanya mengedepankan indahnya kata-kata saat berpidato, melainkan disertai perbuatan. 

Hal itu yang mendorong saya untuk terus bergerak dan keluar dari zona nyaman yang kenikmatannya kerapkali menipu. Saya akui, otak saya tidak secerdas Habibie, dan juga aktivitas sehari-hari saya tak seproduktif beliau. Akan tetapi setidaknya sekitar 4 tahun terakhir, saya berikhtiar untuk menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya. 

Hari-hari saya lalui dengan melakukan minimal satu hal yang bisa meningkatkan kapabilitas diri saya walau hanya mempelajari resep masakan atau menyiram tanaman. Setidaknya ada nilai yang sedang saya perjuangkan yaitu semangat belajar dan juga mengabdi pada apapun yang melaluinya tuhan memberikan kita kehidupan.

Lebih jauh lagi, perjumpaan saya dengan cerita hidup Habibie membuat rasa penasaran saya akan iklim akademik di luar negeri semakin memuncak. Lebih tepatnya, bagaimana usaha keras mahasiswa international dalam beradaptasi di kampus, dan ilmu apa saja yang bisa dibawa pulang untuk ibu pertiwi. 

Semenjak saat itu, jiwa saya meronta ronta; menuntut agar kiranya impian tersebut tidak hanya menjadi khayalan belaka, melainkan sebuah kenyataan. 

Tuhan mengabulkannya, dan saya merasa Habibie berperan penting dalam imajinasi saya akan Pendidikan yang lebih menantang tersebut. Tentu perjalanannya sedikit berbeda, baik dari sumber funding yang ada maupun lingkungan yang saya hadapi. 

Jika Habibie dibiayai oleh ibu kandungnya dan harus berjalan selama beberapa kilometer dari tempat tinggalnya yang murah, maka saya dibiayai oleh uang rakyat dan hanya butuh beberapa menit untuk sampai kampus dengan bersepeda.

 Situasi yang berbeda itu lantas harusnya menjadi sebuah dorongan penting untuk saya pribadi agar kiranya lebih banyak mengeksplor segala sumber daya pengetahuan di kampus. Dengan kata lain, tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak belajar.

Tidak hanya itu,semangat pengabdian Habibie dalam membuat pesawat tentu menjadi bahan refleksi Panjang untuk saya. Bukan berarti saya harus membuat pesawat, melainkan pemikiran akan ide baru apa yang bisa dibawa pulang. Jangan sampai pulang ke Indonesia hanya untuk menikmati dan mengikuti system yang ada, dan membanggakan title dari kampus luar negeri. 

Kuliah di sini membuat saya sadar bahwa tanggung jawab keilmuan itu penting, spesifknya tanggung jawab akan pengamalan ilmu yang telah dipelajari demi kemajuan lingkungan sekitar, minimal dalam lingkup RT atau kampung.

Saya ingin mengatakan sekali lagi bahwa saya merasa kehilangan sosok motivator. Saya membayangkan hari-hari tanpa mendengar wejangannya lagi, dan itu tentunya membuat saya harus independent dalam memotivasi diri sendiri. 

Terima kasih Eyang Habibie atas segala jasamu untuk bangsa ini dan juga untuk diri saya pribadi. Dalam pandangan subjektifitas dan penuh keterbatasan ini, say yakin dirimu insyaallah akan ditempatkan di SurgaNYA., karena tuhan tidak pernah tidur dan absen mencatat amal-amal baikmu selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun