Mohon tunggu...
Rifki Sanahdi
Rifki Sanahdi Mohon Tunggu... Freelancer - Nama lengkap

Saya suka menulis puisi dan juga essay-essay pendek

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan Seorang Awardee LPDP

5 September 2019   20:44 Diperbarui: 5 September 2019   21:32 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Rifki Sanahdi

            Dua tahun yang lalu, saya adalah seorang mahasiswa yang dilanda kegalauan setelah berhasil mendapatkan gelar sarjana. Pertanyaan mengenai langkah apa yang dilakukan selanjutnya kerap kali menghantui, dan akhirnya waktu itu saya memutuskan untuk mengambil studi magister. Karena faktor teman-teman di lingkungan yang memiliki mimpi untuk menempuh jalur beasiswa di luar negeri, saya malah jadi ikut-ikutan mereka. Beberapa langkah pun saya tempuh, salah satunya belajar bahasa Inggris. Di sela belajar, saya cenderung pesimis dikarenakan skor yang hampir menyentuh angka terendah di kelas saat sesi scoring  (latihan jawab soal) diadakan. 

Terlepas dari curhatan singkat ini, dengan penuh drama akhirnya saya bisa menggapai mimpi yang pernah  tertanam dulu. Waktu membawa saya pada perubahan hidup yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi, yaitu menjadi penerima beasiswa dan juga mahasiswa di salah satu 50 kampus terbaik dunia, the University of Queensland. Tulisan ini menjadi representasi dari refleksi singkat saya tentang perjalanan yang mengubah hidup ini. Secara lebih spesifik, saya akan menjawab pertanyaan bagaimana perasaan menjadi seorang awardee melalui beasiswa LPDP dan kuliah di luar negeri dan perubahan hidup apa yang saya rasakan saat ini?. Saya tidak akan membahas tentang tips-tips mendapatkan beasiswa atau kuliah di luar negeri, karena kurangnya kapasitas akan pemahaman terhadap seluk beluk beasiswa. Saya merasa hanya kenekatan dan juga usaha yang mungkin lebih keras serta faktor keberuntungan yang menghantarkan saya pada posisi sekarang ini.

       Di bulan Desember 2018, saat sedang menikmati indahnya senja dan lalu lalang muda mudi yang sedang olahraga, seorang teman mengabarkan bahwa pengumuman beasiswa sudah keluar. Waktu itu saya gelisah bukan kepalang, dan rasa pasrah muncul seketika. Saya merasa hari itu adalah momen di mana diri ini begitu religius karena segala doa saya coba panjatkan di lapangan sore itu. Membuka pengumuman terkadang menjadi hal yang sakral bagi setiap orang begitu pun dengan saya, sehingga saya memutuskan untuk salat magrib terlebih dahulu sambil berdoa kepada Tuhan. Sialnya, alih-alih salat khusuk, saya malah deg-degan. Konsentrasi saya buyar karena kepikiran hasil dari pengumuman itu.  Walhasil, Sehabis salat, saya langsung sujud syukur saat melihat hasil pengumuman kelulusan, lalu mengabarkan berita baik tersebut kepada kedua orang tua di kampung. Apa yang saya rasakan saat itu tentunya perasaan tidak percaya, semua terasa seakan-akan mimpi. Apa benar itu saya? Jangan-jangan ini mimpi? dengan sedikit dramatis, saya coba cubit dan tampar pipi dan ternyata terasa sakit. Lalu saya bicara dengan diri sendiri, "itu bukan mimpi Rifki, kamu berhasil menggapainya".

         Jujur, saat itu saya menitikkan air mata karena beberapa alasan. Pertama, semenjak menginjak bangku SMP hingga kuliah, saya cenderung masuk ke dalam golongan murid tidak berprestasi. Di SMP dan SMA di antara 20-an siswa di kelas, saya sering menempati peringkat ke 17 atau 18. Begitu pun juga saat masa-masa kuliah strata 1, saya sering mendapatkan nilai C dan juga cemoohan lantaran susahnya otak saya beradaptasi dengan iklim akademik dan teman-teman kuliah. 

Kedua, melihat bagaimana susahnya mendapatkan akses Pendidikan di kampung, saya jadi mengapresiasi diri saya sendiri. Saya coba buktikan pada teman-teman saya di kampung bahwa segala keterbatasan akses bukan penghalang mutlak untuk kita terus belajar. Namun di sisi lain, mungkin pernyataan saya sedikit bias, karena sejak bangku SMP saya sudah merantau mencari ilmu dan pengalaman ke tempat lain. 

Sehingga pengalaman-pengalaman saya dapatkan mungkin berbeda dengan teman yang lebih memilih untuk belajar di kampung halaman. Akan tetapi terlepas dari itu semua, saya ingin mengatakan bahwa mimpi kita tidak boleh dibuat kecewa, biarkan ia terbang ke mana pun dia mau. Ketiga, saya mengingat jasa orang-orang yang ada di belakang layar. Mereka begitu tulus membantu dan memberi support padahal kami tidak punya hubungan darah sedikit pun, namun semangat berbagi lah yang menyatukan. 

Adalah cak David, dosen yang tidak mungkin saya bisa lupakan jasanya sampai kapan pun. Dialah aktor penting dalam transformasi hidup saya beberapa tahun belakangan ini, dia adalah teman, guru dan juga mentor beasiswa sekaligus. Selain itu, bang Fauzan juga memberi warna penting dalam hidup saya, dengan mengenalkan pada beberapa bahan bacaan juga Bersama cak David sebagai editor essay beasiswa saya. 

Teman karib saya Hendra Nur Cahyo yang sekarang menempuh studi magister di Jerman melalui beasiswa DAAD selalu saya perhitungkan perannya. Saya belajar banyak dari dia sejak tahun 2017. Kami selalu saling dukung dan bertukar pikiran dalam banyak hal, salah satunya mimpi-mimpi apa yang ingin kami gapai ke depannya, lalu kami menulisnya dan berjanji akan mengabadikannya dalam sebuah buku. Tentunya banyak orang lain yang berperan penting namun saya tidak bisa menyebutnya satu persatu.

      Apa yang bisa saya refleksikan dari pengalaman di atas adalah pentingnya lingkungan. Saya jadi berpikir, bagaimana jika saya tidak bertemu dengan mereka? mungkin saya akan tetap nongkrong sampai larut malam atau menghabiskan hari-hari di kamar menonton beberapa film asyik di Youtube. Atau barangkali saya akan frustrasi akibat nilai kuliah yang hancur dan skripsi yang bahkan saya sendiri cukup malu membacanya. 

Namun lingkungan baru membuat saya sadar akan kekurangan, ketertinggalan dan potensi yang ada dalam diri saya, yang tidak boleh saya abaikan. Lingkungan baru juga yang membuat saya merasa dihargai baik pendapatnya maupun karyanya walau sejelek apa pun itu. Mungkin ada orang yang berpikir bahwa bukan lingkungan yang terpenting dalam hidup melainkan sejauh mana kita bisa mengendalikan diri sendiri, akan tetapi tipe manusia seperti saya ini memang butuh lingkungan yang bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun