Mohon tunggu...
Ruang Peradaban dan Informasi
Ruang Peradaban dan Informasi Mohon Tunggu... Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Pertiba Pangkalpinang, Bangka Belitung

suhardi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Welfare Economics sebuah langkah Membangun Keadilan Sosial

14 Oktober 2025   12:35 Diperbarui: 14 Oktober 2025   12:37 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Suhardi – Dosen FEB Universitas Pertiba

Di tengah kemajuan ekonomi digital dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus digaungkan sebagai tanda keberhasilan pembangunan, ada pertanyaan mendasar yang jarang dijawab secara jujur, apakah pertumbuhan itu benar-benar membuat masyarakat lebih sejahtera? Ataukah hanya memperkaya segelintir orang yang sudah mapan, sementara kelompok rentan terus bergulat dengan biaya hidup yang melonjak dan akses layanan publik yang timpang?

Di sinilah welfare economics — atau ekonomi kesejahteraan — menjadi penting. Cabang ilmu ekonomi ini tidak sekadar menghitung efisiensi pasar atau optimalisasi produksi, tetapi berfokus pada bagaimana kebijakan ekonomi berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial. Welfare economics adalah upaya untuk menjembatani logika angka dengan nurani manusia.

Dari Efisiensi ke Keadilan

Dalam teori klasik, kesejahteraan ekonomi sering dikaitkan dengan konsep efisiensi Pareto — suatu kondisi di mana tidak ada individu yang dapat dibuat lebih baik tanpa membuat orang lain menjadi lebih buruk. Secara matematis, ini indah. Namun dalam realitas sosial, Pareto Efficiency sering berujung pada legitimasi ketimpangan. Negara bisa tumbuh secara efisien, namun tetap menyisakan banyak orang yang hidup dalam kemiskinan relatif.

Karenanya, teori ekonomi modern menekankan bahwa efisiensi harus berjalan beriringan dengan keadilan distribusi. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, menegaskan bahwa kesejahteraan tidak boleh diukur hanya dari pendapatan, tetapi dari capabilities — yakni kemampuan seseorang untuk hidup secara bermartabat, bebas dari kelaparan, buta huruf, dan ketakutan sosial. Dengan kata lain, kesejahteraan bukan soal “berapa banyak uang yang dimiliki,” tetapi “apa yang bisa dilakukan dengan uang itu.”

Sayangnya, banyak kebijakan publik di Indonesia masih terjebak dalam logika “pertumbuhan dulu, pemerataan belakangan.” Padahal, tanpa pemerataan, pertumbuhan akan rapuh. Ketika 1% populasi menguasai hampir separuh kekayaan nasional, maka kebijakan ekonomi tanpa visi kesejahteraan sosial hanya memperlebar jurang ketimpangan.

Negara dan Tanggung Jawab Sosial

Ekonomi kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari peran negara sebagai social guardian. Dalam teori ekonomi publik, negara hadir bukan untuk menggantikan pasar, melainkan untuk memperbaiki kegagalan pasar (market failure). Pasar gagal menyediakan barang publik seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial karena sifatnya yang tidak eksklusif dan tidak kompetitif. Di sinilah negara wajib hadir, bukan sebagai pelaku ekonomi tunggal, melainkan sebagai penjamin akses dan pemerataan manfaat.

Namun dalam praktiknya, kebijakan fiskal sering lebih fokus pada sisi makro — menjaga defisit, mengontrol inflasi, dan menjaga stabilitas rupiah — ketimbang memperhatikan dimensi mikro, bagaimana kebijakan itu memengaruhi kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pemotongan subsidi energi memang baik untuk efisiensi anggaran, tetapi tanpa mekanisme kompensasi sosial yang memadai, kebijakan itu justru memperburuk ketimpangan dan menekan daya beli rakyat kecil.

Negara yang berpihak pada kesejahteraan harus mampu menyeimbangkan efisiensi fiskal dengan empati sosial. Anggaran tidak boleh hanya dipandang sebagai tabel angka, melainkan cermin dari prioritas moral sebuah pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun