Beberapa waktu lalu aku diskusi dengan beberapa teman soal cinta. Aku menyadari diskusi soal cinta memang terlihat agak lebai dan alay. Pasalnya tanpa harus didiskusikan pun cinta tetaplah menjadi bagian dari manusia.
Tapi berbeda dengan diskusi kami. Diskusi yang kami jalani benar-benar mengedepankan objektivitas, bukan sisi subjektifnya. Setiap argumen atau gagasan yang disampaikan haruslah berlandaskan teori tertentu. Ini kami terapkan juga sebagai pengukur dari tradisi membaca yang kami lakukan.
Tema cinta kami pilih karena di era modern cinta sudah dipahami sebagai sesuatu yang dekat dengan materialistik. Ada ketergantungan antara cinta dan materi. Alhasil, siapa yang bermateri, maka dialah yang bercinta. Mengerikan kan?
Dari latar belakang sederhana ini kami mencoba menyegarkan pemahaman tentang cinta kembali. Kami berupaya berjalan mundur ke era abad pencerahan dan menggali bersama tentang makna cinta menurut para filsuf.
Kami sangat berkeyakinan, apa yang disampaikan oleh para filsuf bukanlah cinta sebagaimana cinta kita. Tapi cinta yang berlandaskan kemaslahatan bersama, serat akan etika dan menomorsatukan manusia, bukan diri sendiri.
Aku mulai diskusi ini dengan suatu pengantar pendek.
Dari waktu ke waktu cinta tak henti-hentinya memproduksi pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilahirkan oleh cinta selalu berangkat dari pengalaman tertentu. Dari pengalaman itu kemudian muncullah pertanyaan baru.
Lantas, dimanakan posisi cinta? Cinta itu sebab atau akibat?
Melihat fenomena cinta dari waktu ke waktu, cerita ke cerita, cinta menempati posisi keduanya. Ada kalanya cinta dijadikan sebagai sebab, namun ada kalanya cinta penempati posisi akibat.
Tak menunggu waktu lama temanku memberi jawaban. 'Bila harus merujuk pada Rumi, jelas, Rumi menempatkan cinta sebagai sebab. Penciptaan semesta 'kosmologi' adalah sebab rasa cinta Tuhan.
Oleh karena cinta pula, Tuhan memberikan 'kado spesial' pada Muhammad. Ini semua karena cinta. Bagi Rumi, cinta itu sebab dari segala yang ada (yang baik-baik).
Temanku yang lain menanggapi, 'kalau demikian, jadi pertanyaan 'kenapa kamu cinta aku' itu salah?'