Mohon tunggu...
M. Syahrul Anwar
M. Syahrul Anwar Mohon Tunggu... mahasiswa

Saya suka menggambar, menulis, dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Hoaks ke Hikmah: Saatnya Bermedia dengan Nilai Profetik

13 Oktober 2025   23:20 Diperbarui: 13 Oktober 2025   23:20 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Muhammad Hasan Fahri

Di era digital saat ini, arus informasi mengalir begitu cepat dan deras. Media sosial telah menjadi ruang publik baru di mana jutaan orang berinteraksi, berdiskusi, bahkan membentuk opini bersama. Namun, derasnya arus informasi juga membawa tantangan serius, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial. Fenomena ini bukan hanya persoalan teknologi, melainkan juga krisis etika komunikasi. Dalam konteks masyarakat Muslim, situasi ini menuntut kehadiran nilai-nilai Islam yang mampu menjadi penuntun moral dalam bermedia. Salah satu tawaran penting adalah Komunikasi Profetik, yang mengedepankan prinsip humanisasi (amar ma'rf), liberasi (nahy munkar), dan transendensi (tu'minna billh) sebagai landasan etika komunikasi. Pertama, komunikasi profetik menekankan pentingnya humanisasi, yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia dalam setiap bentuk interaksi. Dalam konteks bermedia, humanisasi dapat diwujudkan dengan cara menghargai perbedaan, menghindari ujaran kebencian, dan memastikan informasi yang dibagikan tidak merugikan orang lain. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 6, "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun)..."1 . Ayat ini menjadi dasar penting bagi etika verifikasi informasi, yang sayangnya sering diabaikan dalam praktik bermedia saat ini. Kedua, aspek liberasi dalam komunikasi profetik mengandung makna pembebasan manusia dari ketertindasan, baik secara sosial, politik, maupun kognitif. Dalam konteks digital, liberasi dapat diwujudkan melalui literasi media dan algoritma, sehingga masyarakat tidak mudah terjebak dalam gelembung informasi (filter bubble) atau dikendalikan oleh narasi yang menyesatkan. Mengajarkan masyarakat untuk kritis terhadap sumber berita adalah bagian dari jihad intelektual yang relevan di era informasi2 . Ketiga, prinsip transendensi mengajak setiap Muslim untuk menempatkan aktivitas bermedia sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT. Ini berarti setiap postingan, komentar, dan konten yang dibagikan semestinya mencerminkan nilai kejujuran, kasih sayang, dan keadilan. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam."3 . Prinsip ini menegaskan pentingnya kesadaran spiritual dalam setiap tindakan komunikasi. Selain itu, penerapan nilai-nilai profetik juga dapat dikaitkan dengan teori Two-Way Symmetrical Model dari James E. Grunig dan Todd Hunt, yang menekankan dialog dua arah yang seimbang antara komunikator dan komunikan4 . Dalam konteks dakwah digital, pendekatan ini dapat mendorong terciptanya ruang dialogis yang sehat, bukan hanya ruang untuk menyebarkan informasi secara satu arah. Dakwah di ruang digital perlu membuka ruang partisipasi publik, bukan sekadar memberi "ceramah online". Lebih jauh, menurut gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik, komunikasi seharusnya tidak berhenti pada penyampaian pesan, tetapi juga harus menggerakkan perubahan sosial yang berkeadilan5 . Artinya, aktivitas bermedia bukan sekadar hiburan atau konsumsi informasi, melainkan bagian dari perjuangan menciptakan masyarakat yang lebih beradab. Arus informasi digital tidak akan berhenti, tetapi nilai-nilai profetik dapat menjadi kompas moral dalam mengarunginya. Etika tabayyun, semangat literasi, dan kesadaran transendental dapat menjadi benteng umat dari manipulasi dan fitnah digital. Umat Islam perlu menjadi pelaku aktif dalam transformasi ruang digital, bukan sekadar penonton atau penyebar ulang pesan. Saatnya berpindah dari budaya hoaks menuju budaya hikmah, dari ujaran kebencian menuju komunikasi yang memanusiakan. Dengan komunikasi profetik, media digital bukan lagi ladang fitnah, melainkan sarana dakwah dan peradaban.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2019. 

Grunig, James E., dan Todd Hunt. Managing Public Relations. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1984.

 Kholid, M. "Literasi Media dalam Perspektif Islam." Jurnal Komunikasi Islam Vol. 10, No. 2 (2021): 215--230. 

Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Muhammad al-Bukhari. Shahih Bukhari, Kitab Al-Adab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun