Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak 90-an Hobi Menulis di "Buku Diary", Generasi Sekarang Gemar "Selfie"

23 September 2018   22:02 Diperbarui: 24 September 2018   04:51 2074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.selipan.com

Selain kisah di atas ada kisah yang menarik. Pada waktu ujian Bahasa Indonesia kami harus mengarang bebas. Terkadang juga tema telah di tentukan oleh Bu Guru. Seingat saya Guru Bahasa Indonesia saat itu adalah seorang wanita. Amat jarang Guru Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar adalah lelaki.

Bagi yang sekolah tahun 90-an pasti ingat, ujian pada waktu itu di sebut Test Hasil Belajar (THB). Pada saat THB itulah kami harus belajar untuk ujian. Termasuk ujian yang mengerikan adalah mengarang. Kenapa mengerikan? Sebab tulisan mengarang itu harus menggunakan huruf bersambung.

Jadilah, mengarang itu ujian yang mengerikan sekaligus menantang. Saat kelas 2 SD saya belum boleh menggunakan pulpen, maka mengarang menggunakan pensil.

Selain pensil maka harus ada pula membawa 'stip' atau kalau sekarang disebut penghapus pensil. Agar pensil tidak tumpul maka saya juga harus membawa 'runcingan'. Jika tidak membawa 'runcingan' biasanya menempel murid perempuan untuk meminjam.

Pada waktu itu jangan berharap kami bisa mencontek lewat googling. Contekan kami biasanya dituliskan pada selembar kertas kecil.

Lembaran kecil itu kami simpan di kantong celana. Beruntung jika guru tidak mengecek kantong celana, jadi contekan itu aman.

Bukan pada contekkan itu yang ingin saya tekankan. Akan tetapi, pada budaya menulis itulah yang menarik. Untuk membuat contekkan itu saja, kami harus membaca buku-buku.

Bayangkan, waktu itu ada buku IPS yang tebalnya hampir 400 halaman. Harus kami baca, kemudian diringkas menjadi beberapa lembaran contekkan. 

Bagi anak-anak yang tidak bandel, hasil membaca itulah yang harus diingat. Jika tidak membaca, jangan berharap bisa berhasil dalam THB. Budaya kami waktu itu adalah budaya membaca dan menulis. Adapun sebagian yang tidak senang menulis, mereka harus tetap membaca.

Buku merupakan harta yang mahal bagi kami. Dengan buku itulah kami mencari informasi mengenai dunia yang sangat luas.

Budaya Generasi Milenial Kuy Selfie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun