Mohon tunggu...
Deni Indracahya
Deni Indracahya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mantan penjaga toko, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya\r\nUniversitas Indonesia, Motivator Training

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Tegal, Masih Kasarkah?

31 Oktober 2014   06:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:05 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14146867161672679193

Banyak orang mengatakan bahwa orang Tegal itu bahasanya ngapak atau kasar. Sebagian dari mereka juga sering mengintimidasi dan menganggap bahasa Tegal adalah bahasa yang paling rendah dalam strata Jawa. Bahasa Tegal juga sering menjadi bahan ejekan yang berdampak pada rasa mindernya seorang perantau dari Tegal untuk berbicara Bahasa Tegal di tempat umum. Hal ini juga berdampak pada pandangan rendah masyarakat Jawa lainnya terhadap orang Tegal.

Di sekolah , guru Bahasa Jawa sendiri sering mengajarkan tiga tingkatan tutur bahasa Jawa yang terdiri atas Krama, Madya dan Ngoko. Dari ketiganya akan di bagi lagi berdasarkan tingkatan yang lain. Krama adalah tingkatan yang paling tinggi atau halus dan sopan sedangkan Ngoko biasanya identik dengan kata-kata yang kasar. Seperti kata siapa yang dalam bahasa Ngoko berarti sapa, dalam krama lebih dikenal dengan sebutan sinten.

Yang akan menjadi bahan pembicaraan saya bukanlah fonem, morfologi maupun sintaksis tiap tingkatan kata pada bahasa Jawa. Dalam hal ini yang patut kita pahami adalah bahwa setiap bahasa memiliki asal mula ia terbentuk. Bila melihat dari pengakuan dunia, Menurut terminologi UNESCO (United Nation Educational Scientitif and Cultural Organization/Organisasi PBB untuk Pendidikan,Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan) Bahasa Tegal adalah bahasa Ibu. Jadi bahasa Tegal sendiri adalah bahasa yang tercipta dan digunakan oleh kalangan masyarakat pesisir Utara jawa khususnya Tegal, Pemalang dan Brebes.

Terkait dengan penamaan Bahasa Tegal sebagai bahasa kasar atau Ngoko adalah karena wilayah Tegal pada zamannya berada jauh dari pusat pemerintahan Jawa (keraton) yang pada saat itu berada di Jogja dan Surakarta.  Hal Ini berkaitan dengan dialek yang nyatanya berbeda antara orang Jogja atau Surakarta dengan orang Tegal dan sekitarnya. Melihat dialek yang berbeda dan tidak sesuai dengan  tutur kata orang keraton, sejarah beranggapan bahwa bahasa Tegal yang lahir dari masyarakat Tegal sebagai bahasa kasar atau tidak sepadan dengan bahasa milik orang keraton.

Patut kita pahami bahwa sejarah adalah pemilik orang yang memenangkan sejarah. Politik dan kekuasaan dalam hal ini berbicara terkait budaya. Kekuasaan keraton Jogja maupun keraton Surakarta pada zamannya, telah mengikat pusat kebudayaan yang ada di pulau Jawa. Hal ini mengakibatkan bahwa orang akan berpandangan bahwa kebudayaan Jawa adalah Jogja dan Surakarta. Pandangan ini juga dapat dikaitkan dalam persepsi masyarakat terhadap bahasa. Jogja dan Surakarta yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Krama Inggil, beranggapan bahwa bahasa tersebut adalah tingkatan bahasa yang paling sopan dan halus dalam budaya Jawa. Sedangkan Tegal, wilayah yang sejak dari dulu menggunakan bahasa Ngoko sebagai bahasa Ibu, mendapat tingkatan terendah karena ia berada jauh dari kekuasaan keraton.

Bahasa Tegal sebagai local genius yang lahir dan digunakan oleh masyarakat kota dan kabupaten Tegal, tentunya menjadi kebanggaan sendiri bagi masyarakatnya. Sebagai wilayah yang berada jauh dari pengaruh Kerajaan Mataram (keraton) , bahasa Tegal lebih a-feodalistik dan mandiri. Feodalisme yang dihembuskan pada masanya, tidak mampu mengikat Tegal dan menggusur bahasa dan budaya yang hingga masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari di manapun orang Tegal itu merantau. Jika menggunakan metode logika terbalik dimana pusat kekuasaan dahulu berada di Tegal, bukan tidak mungkin bahasa Tegal hari ini-lah yang akan dianggap sebagai bahasa Jawa halus dan sopan.

Dialek yang digunakan dalam bahasa Tegal tentunya menjadi sebuah penambahan kosa kata baru bagi kebudayaan Jawa. Tentunya pembagian tingkatan berdasarkan pada halus atau kasar bahasa Jawa sangatlah tidak relevan untuk digunakan pada saat ini. Pembagian itu sama saja mendikotomikan Bahasa Tegal sebagai bahasa yang berkasta bawah. Padahal Bahasa Tegal telah dikenal dan diakui oleh dunia sebagai bahasa Ibu, yang berarti terlahir sendiri. Bahasa Tegal kini telah sejajar dengan dialek bahasa lain seperti Bahasa Sunda, Minang dan lainnya.

Bahasa Tegal yang mencakup Ngoko dan bebasa memang jarang ditemukan di sekolah-sekolah. Tetapi ia tetap hadir dan terlestarikan oleh masyarakat Tegal yang ada di daerahnya dan juga perantau yang sukses di ranah tempat ia merantau. Dalam bahasa Tegal juga terdapat padanan kata yang halus dan kasar seperti kata kowen yang kasar dan sampean yang lebih halus. Hal ini dikaitkan sesuai kesepakatan bersama masyarakat Tegal yang tumbuh dan berkembang berdasarkan perkembangan bahasanya itu sendiri.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun