Mohon tunggu...
Bramantyo Adi
Bramantyo Adi Mohon Tunggu... -

Keep Calm and Digit Span

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita Calon Psikolog - 1

17 April 2014   02:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:35 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuplikan kalimat yang ditebal-miring terjadi saat saya sedang di posisi interviewer

Cuplikan kalimat yang biasa aja ini terjadi saat saya sedang di posisi interviewee

Idealnya sih ada tombol garis miring, tapi sepertinya gak ada. Ok, hal tersebut akan menjadi kekhasan postingan saya selama mengetik entri postingan di Kompasiana.

Selanjutnya saya masuk ke cerita. oke..empat tahun lalu (empat tahun???-pen) (iya mas bram-admin) (oh..how fast-pen) itulah konflik yang gua hadapi saat mantap memilih berkuliah psikologi. Sepertinya cuma nyokap a.k.a MakNyak a.k.a Ibu Negara yang memiliki garis haluan sama (baca : nyokap ahli gizi) paling paham kenapa anak laki-laki kedua ini kuliah psikologi. Sesuai lampiran verbatim subjek skripsi, yang menyebutkan gua itu memiliki karakter ndablek dan cuek..ya terus kenapa sih laki-laki jadi psikolog? Kurang jantan? Ucapan tetua-tetua keluarga nyokap cuma masuk kuping kiri keluar lubang hidung dengan topping upil.

Setelah delapan semester kuliah (yah..angkatan toku ya?-admin) ('icik ah!-pen) (salah sendiri ngaku kuliah udah berapa semester-admin), pertanyaan itu bisa gua jawab sendiri. Psikologi yang saya tekuni dan menjadi jalan hidup (asik..) baik di awal hadirnya di dunia fana digawangi oleh sesosok laki-laki. Sejarah mencatat..pada tahun 18-sekian-terima kasih Wilhelm Wundt bikin laboratorium perilaku pertama di Leipzig, Jerman. Wilhelm Wundt secara ai keturunan Jawa jadi dipanggil Pakde Wundt dikenal sebagai bapake psikologi. Lanjut ke Indonesia, ilmu psikologi dibawa oleh Raden Mas Slamet Imam Santoso (berat gak?-admin) (duh..admin..majas woy!-pen) (okesip-admin)..lagi-lagi laki-laki. Memang hari ini lebih consideration pada profesi psikolog lebih ke jenis kelamin wanita.

Nah..ngana lupa sama Pak Sarlito, Kak Seto, psikolog juga tuh mereka..


Yops! Oke, empat tahun berlalu, gua baru sadar kalau hidup di Indonesia. Kalau pakai statistik uji beda (nama lainnya apa Tyo?-dosen statistik) (T-TEST BU!-pen) (Pantes skripsi kamu kualitatif..-dosen statistik), (kualitatif itu bushido saya bu :3-pen) maka akan terlihat perbedaan hasil rata-rata tingkat kepo orang Indonesia lebih tinggi daripada tingkat jelajahnya untuk menjelaskan fenomena apapun didepan mata mereka (sotoy-admin). Termasuk menjelaskan fenomena gua kuliah psikologi. Keponya kenceng, cuma males bener cari tahu apakah psikolog itu profesi yang bener feminim. Itulah Indonesia.. (ooo gitar jreng!-admin) (iya 'min-pen)

Beda orang, beda usia, beda pengetahuan, gak dikit juga kok yang mengungkapkan senangnya punya sepupu calon psikolog. Minimal mereka bisa konseling gratis (abis itu saya todong makan di Sushi Tei juga gak marah mereka :p), atau minimal : bacain anakku dong. Oke..tetep ya dianggepnya cenayang karena bisa 'meramal'. Terus saya sendiri penasaran, beneran nih kerjaannya psikolog cuma curhat sama bacain orang? Sementara almarhumah guru BK saya bilang dulu :

Bu, saya mantep jadi psikolog! Saya nerusin kuliah psikologi setelah lulus SMA.

Waahh bagus tuh mas!

Iya bu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun