Mohon tunggu...
Gusty Masan Raya
Gusty Masan Raya Mohon Tunggu... wiraswasta -

SCRIBO ERGO SUM, 'Saya Menulis Maka Saya Ada.'

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kasih Ibu Sepanjang Zaman

22 Desember 2012   06:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:12 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13561573452125576757

Kasihibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia...

Johan Jacob Bachofen tak pernah mendengat lagu itu. Tapi buku Mother Right karyanya yang terbit tahun 1881 sungguh mengulas kedalaman hati sepertinya syair dalam nyanyian itu. Ketika itu Origin of Species karya Darwin dan Critique of Political Economy tulisan Karl Marx tengah menggemparkan Eropa. Hanya butuh waktu satu tahun, Bachofen meraih peringkat best seller atas gagasan cemerlang yang dituangkannya dalam Mother Right. Ini terjadi ketika arus berpikir masyarakat Eropa kala itu berada di puncak kejenuhan menghadapi roh kekuasaan patrialistik yang menguasai birokrasi pemerintahan di kerajaan. Raja disembah bak dewa. Dilayani puluhan selir. Sementara jutaan rakyat di luar istana tengah menderita kelaparan dan penyakit akibat kemiskinan dan pajak yang tinggi.

Gagasan Bachofen menentang sama sekali Compelx Oedipus Sigmund Freud yang secara vulgar mereduksi kekuasaan manusia hanya pada laki-laki, bahkan sejak seorang anak laki-laki lahir dan menetek di buah dada ibunya. Patrialisme ini dilawan Bachofen dengan kajian historisnya atas mitos dan simbol Yunani, Romawi dan Mesir yang menempatkan seorang ibu secara sentral sebagai yang paling berkuasa.

Tesis Bachofen sederhana. Ia melihat fakta bahwa sesungguhnya kehidupan seorang anak dalam dunia, pertama-tama dikuasai oleh ibu. Kekuasaan itu melekat dengan kebutuhan akan cinta dan kasih sayang yang tak bisa dihindari. Ibu mengandung, melahirkan dan membesarkan manusia dari generasi ke generasi. Ia adalah persona berbudi luhur yang rela menanggalkan sikap egoistiknya dan mengarahkan seluruh cintanya kepada subyek di luar dirinya: anak. Ketika sejarah kekuasaan kerajaan, bangsa, hingga ke dalam rumah tangga selaku pemerintahan terkecil dikuasai dengan roh kelamin laki-laki yang serba mekanik dan rasional, kita mungkin hanya mampu mengurut dada, setidak-tidaknya untuk menangisi lonceng kematian peran seorang ibu yang digagas Bachofen.

Namun Bachofen barangkali keliru jika dalam seluruh tesisnya, ia selalu memenjarakan konsep ibu=cinta dalam hubungan biologis melahirkan dan dilahirkan. Banyak kisah anomalia yang menjelaskan betapa tanpa hubungan arkais itu pun, seorang perempuan bisa tampil dan membawa diri sebagai seorang ibu yang penuh cinta. Berkacalah pada sosok Ibu Teresa, perempuan biarawati kelahiran Skoplje-Yugoslavia itu, 27 Agustus 1910 yang memiliki karya agung di mata dunia. Sejak masa muda, Ibu Teresa meninggalkan keluarganya dan pergi ke tempat yang jauh, Calcutta, India pada awal tahun1929. Pada umur 12, ia membulatkan tekad dan memutuskan untuk pergi ke Dublin, Irlandia menjadi biarawati di Biara Loretto.

Tahun 1946 merupakan tahun yang mengubah hidup Ibu Teresa. Saat turun dari kereta api di kota pegunungan Darjeeling, ia menemukan seorang lelaki yang terkubur onggokan sampah tepat di depan stasius kereta. Lelaki itu hampir mati kelaparan. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia tengah berusaha mencari sesuatu untuk dimakan di tumpukan sampah yang sudah membusuk. Ibu Teresa iba. Ia lalu membawa lelaki itu ke rumah biara Loretto, memandikannya dan merawatntya. Mengembalikan martabat luhurnya sebagai ciptaan tertinggi, bukan ‘binatang yang terkapar di onggokan sampah menjijikkan.’

Kota Calcutta di masa itu bagai terkena kutukan. Ribuan gelandangan dan orang kusta berkeliaran di jalan-jalan. Menadahkan tangan di setiap gang kota untuk mengemis makanan, dan tidur di emperan toko dan di tanah lapang beratap langit. Tergerak oleh kemanusiaan, Ibu Teresa memohon izin kepada pemimpin biaranya untuk membangun sebuah rumah bagi orang-orang terbuang ini yang diberi nama Nirmal Hriday (Hati Suci) bagi orang-orang sakit dan gelandangan dan Shanti Nagar (Kota kedamaian) bagi orang-orang kusta. “Jangan hanya memberikan tanganmu untuk menolong mereka, berikanlah juga hatimu. Love all serve all.” Hingga ia menghembuskan nafasnya sepuluh tahun lalu, prinsip itu tetap bersenyawa dalam kehidupan orang-orang kecil di Calcutta.

Seperti Calcuta, rakyat Indonesia sesunguhnya telah berpuluh-puluh tahun hidup tanpa cinta. Konflik dan pertikaian terus berkecamuk, penyakit dan kelaparan menyerang, bencana alam melanda. Di sana sini, darah dan air mata terus mengalir tanpa henti dari waktu ke waktu. Ratusan anak putus sekolah menjadi gelandangan. Banyak pekerja seks jalanan berkeliaran malam hari di sudut kota mencari langganan demi sesuap nasi. Ribuan pedagang kecil berpeluh mencari nafkah dari trotoar ke trotoar. Ini justru terjadi ketika penguasa bangsa ini berpesta pora di atas korupsi.

Sedikitlah merendah dan memandang Bumi Nusantara ini dalam kosmogeni. Bahwa tanah air yang kita pijak adalah sesungguhnya ibu kandung kita yang telah melahirkan dan memberi kita cuma-cuma air yang melimpah, hutan yang luas, sawah ladang nan hijau dan intan emas potensial. Lalu mengapa kita tidak merawat ibu kita dan mencintai anak cucunya dengan penuh cinta? Mengapa senjata selalu jadi solusi dan keangkuhan rasio terus dikedepankan dalam penyelesaian masalah? New deal with a heart! Sudah saatnya kita berpaling menuju Bachofen untuk merawat dan membangun Indonesia dengan hati dan cinta. Tanah Indonesia, ibu kita semua. Mari kita cinta dan rawat dia. Selamat Merayakan Hari Ibu 22 Desember. (Gusty Masan Raya)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun