Sustainable Development Goals (SDGs) alias Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) menjadi isu penting jika ditinjau dari potret Indonesia. Agenda global yang terdiri atas 17 tujuan ini kemudian dilokalisasi menjadi SDGs Desa dengan penyesuaian: berkembang menjadi 18 tujuan satu lebih banyak dari versi aslinya. Tujuan tambahan tersebut adalah Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif, yang dianggap krusial agar pembangunan desa tidak hanya menyentuh aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan tata kelola.
SDGs Desa pada dasarnya diharapkan menjadi faktor pendukung capaian SDGs nasional. Ia dirancang sebagai kerangka pembangunan berkelanjutan di tingkat desa, bahkan ditetapkan sebagai program prioritas penggunaan Dana Desa. Dengan kata lain, desa menjadi ujung tombak untuk memastikan pembangunan berkelanjutan benar-benar menyentuh akar rumput.
Ting! Di sinilah mulai tampak missing link.
Secara desain, SDGs Desa memang ambisius: ia menggabungkan agenda global dengan kebutuhan lokal. Namun, dalam praktiknya masih muncul jurang yang perlu dijembatani. Pertama, tidak semua desa memiliki kapasitas teknis untuk memahami, merencanakan, dan mengintegrasikan SDGs ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Kedua, Dana Desa yang diarahkan untuk mendukung SDGs seringkali terserap pada kebutuhan infrastruktur jangka pendek, bukan program berkelanjutan yang berdampak lintas generasi. Ketiga, data desa yang menjadi dasar perencanaan kadang belum mutakhir atau tidak seragam kualitasnya, sehingga capaian sulit diukur secara objektif.
Menariknya, persoalan missing link ini tidak hanya terjadi di desa. Ia juga muncul di level yang lebih luas yakni dalam tata kelola kontribusi multistakeholder terhadap SDGs nasional. Dunia usaha, industri, akademisi, NGO, hingga media telah bergerak menuju arah keberlanjutan. Namun, belum ada saluran resmi yang mudah diakses untuk melaporkan kontribusi mereka agar terhimpun dalam capaian SDGs negara.
Memang, beberapa pemerintah daerah telah menggunakan Matriks 3 dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) SDGs untuk mencatat praktik baik dari berbagai pihak. Akan tetapi, mekanisme tersebut sering dinilai berbelit, lambat, dan tidak ramah pengguna. Padahal, dalam era digital, seharusnya laporan kontribusi pembangunan berkelanjutan bisa dilakukan semudah membuat unggahan di media sosial.
Karena itu, perlu adanya platform pelaporan khusus yang dikembangkan oleh Bappenas RI atau lembaga terkait. Platform ini harus sederhana, inklusif, dan transparan, sehingga semua pihak dapat melaporkan kontribusinya secara cepat. Dengan begitu, kontribusi desa dan multistakeholder dapat terkonsolidasi menjadi data nasional yang valid, sekaligus mempercepat capaian SDGs.
Akhirnya, pertanyaan pada judul tulisan ini kembali menemukan relevansinya: pintu masuk mana yang paling tepat menuju SDGs Desa? Jawabannya mungkin tidak tunggal, tetapi jelas bahwa tanpa saluran yang mudah, jelas, dan inklusif, SDGs Desa berisiko berhenti sebagai jargon kebijakan. Sebaliknya, dengan mengatasi missing link baik di level desa maupun nasional, SDGs bisa benar-benar menjadi jalan nyata menuju pembangunan berkelanjutan di akar rumput tempat segala perubahan bermula.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI