Mohon tunggu...
Ahmad Muhammad
Ahmad Muhammad Mohon Tunggu... -

Pengais sisa-sisa kearifan orang2 terdahulu yang hampir punah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mbah Kyai Zaed

18 Maret 2017   12:35 Diperbarui: 19 Maret 2017   06:00 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sehabis salat Isya’, Kang Hasyim sengaja tak segera pulang. Seperti biasa,  setiap isyak mereka berjamaah hanya bertiga dengan Mbah Karto dan anaknya, Lek Darmi. Mereka bertiga masih duduk-duduk di serambi langgar, menyaksikan suasana gayeng dan suara riuh rendah warga desa malam itu. Maklum,  sebagian besar warga desa malam ini hendak menghadiri  Haul pertama meninggalnya kyai kharismatik, Mbah Kyai Zaed. Kegaduhan suara orang berebut naik truk membuat salat isyak mereka bertiga tidak sekhusuk biasanya. 

Suara riuh rendah itu sudah mulai terdengar sejak lepas maghrib. Kang mail, koordinator rombongan, melalui speaker di tangannya mengabsen satu persatu dengan seksama. Yu Karti, si janda kembang, tak mau ketinggalan. Ia bawa serta ketiga anaknya yang masih balita. Juga mbok Sugi, nggak mau kalah. Cucunya yang selusin jumlahnya ikut berdesakan antri agar bisa terangkut rombongan. Pendek kata, tak seorangpun warga desa itu yang ketinggalan. Semua ikut. Termasuk Yu Shalihah, istri Kang Hasyim. Hanya mereka bertiga yang tak tertarik terbawa arus hiruk pikuk massa yang tak dipahami oleh orang seperti  Mbah Karto. Kang Hasyim dan Lek Darmi  juga lebih memilih menunggu rumah.

Setelah dipastikan tak ada yang ketinggalan, truk yang membawa rombongan pengajian itu perlahan meninggalkan  halaman langgar, diiringi deru motor anak-anak muda yang mengawal dari belakang. Sesaat kemudian suasana berubah lengang, hanya debu pekat dari knalpot truk dan motor yang mereka tinggalkan . Sementara mereka bertiga kembali masuk langgar setelah melepas rombongan pengajian itu.

Sebenarnya malam jumat ini tak ada kegiatan ngaji di langgar, kecuali yasinan ba’da maghrib. Tapi Kang Hasyim sengaja mengajak Mbah Karto dan Lek Darmi ngaji pasolatan dan turutan, mengisi waktu luang sambil menunggu mereka yang pergi haul pulang. Dua orang itu memang paling rajin mengikuti kegiatan ngaji kasepuhan di desa itu. Yang lain kumat-kumatan. Ada saja alasannya. Sibuk inilah, sibuk itulah. Pendek kata, mereka sudah tidak tertarik dengan model pengajiannya Kang Hasyim yang nggak pernah ada kemajuan. Mereka juga jarang datang ke langgar untuk salat jamaah. Katanya, salat di rumah lebih khusuk. Mereka khawatir, kalau-kalau saat salat di langgar yang sudah reot itu, tiba-tiba ambruk. Kang Hasyim hanya bisa ngelus dada kalau mendengar kicauan mereka mengkritik dirinya, termasuk istrinya sendiri.

“ Mbok ya niru Mbah Zaed, biar terkenal dan dihormati banyak orang.” Demikian istri Kang Hasyim mengkritik dirinya. Kang Hasyim Cuma diam. Ia merasa tak perlu menanggapi omongan itu.

***

Mbah Kyai Zaed memang fenomenal. Kekyaiannya tak diragukan lagi. Ngalim kitab,dongane mandi, waskita. Pokoknya komplit. Dan satu lagi, kharismanya yang luar biasa menambah kesempurnaan sang kyai. Kelebihan-kelebihan itulah yang kemudian masyarakat menyebutnya sebagai Wali, Kekasih Allah.

Sebenarnya masyarakat tak tahu persis, dari mana asal muasal sang kyai. Dua tahun yang lalu, ia singgah di Desa Mulyorejo dalam perjalanan spiritualnya, dan kemudian menetap di desa itu. Setelah sebulan riyadhah, ia membangun pondok yang terbuat dari alang-alang di atas petak tanah pemberian pak kadus. Sejak itu pula, tepatnya tiap minggu legi ia mengadakan pengajian selapanan buat masyarakat sekitar. Pengajian yang pada mulanya hanya diikuti oleh warga desa Mulyorejo, lambat laun berkembang dengan pesat hingga ke desa-desa tetangga. 

Bahkan banyak dari luar kabupaten  yang berdatangan mengikuti pengajian tiap minggu legi itu. Di luar kegiatan selapanan, kesibukan Mbah kyai ternyata luar biasa padat. Hampir tiap seminggu sekali ia juga ngaji di luar daerah  yang juga banyak dihadiri umat. Anehnya, ia tidak mau ngaji dengan pengeras suara. Kata para jamaah, mereka tetap bisa mendengar dengan jelas wejangan sang kyai asal benar-benar niat ngaji. Sementara dalam kesehariannya, ia sibuk melayani tamu dari berbagai daerah, bergantian sowan, seakan tanpa putus dari pagi hingga larut malam. Macam-macam tujuan mereka. Ada yang sekedar silaturrahim atau konsultasi agama. Banyak juga yang minta didoakan, agar panen melimpah, rezeki lancar, enteng jodoh, atau minta air doa buat obat dan lain sebagainya. Mereka yang tak jelas tujuannya, bila ditanya, jawabannya seragam : Ngalap berkah.

Malam itu tak seperti biasa , suasana teramat sepi. Kyai Zaed memang tidak menerima tamu setiap malam jumat kliwon. Walau tidak pernah dipublikasikan, orang-orang maklum. Itu malamnya orang-orang khos, termasuk Mbah kyai Zaed, demikian kata mereka.

Tapi malam jumat kliwon kala itu dirasa lain oleh Kang Salim, abdi dalem Mbah Kyai Zaed. Tidak seperti biasanya, ada seseorang masuk, sowan kepadanya. Mbah Kyai sendiri yang mempersilahkan tamu asing itu masuk. Lelaki dengan perawakan tegap, santun dan berwibawa. Pakaiannya serba putih, seakan menggambarkan kebersihan hati sang tamu. Sampai larut malam tamu itu belum juga pulang. Kang Salim, yang biasanya sudah lelap setelah pukul sepuluh malam, terpaksa harus meronda, menunggu tamu itu pulang. Walau berada di balik jendela, ia tak berani menguping, apa yang sedang dibicarakan tamu itu dengan Mbah Kyai Zaed. Dengan terkantuk kantuk, ia setia menunggu. Secangkir kopi yang menemaninya tinggal sak sruput, hingga ia biarkan dingin membeku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun