Tanggal 25 Juni diperingati sebagai Hari Pelaut Sedunia, sebuah momen global yang seharusnya menjadi kebanggaan besar bagi bangsa maritim seperti Indonesia.Â
Namun tiap tahun datang dan pergi, yang kita rayakan bukan prestasi, tapi ironi di negeri dengan laut lebih luas dari daratan, pelaut justru hidup dalam ketidakpastian.
Mereka adalah garda depan distribusi logistik nasional, penopang perdagangan internasional, dan penghubung ribuan pulau. Namun kehidupan mereka masih jauh dari kata layak.
Negara Maritim, Tapi Bukan Negara Pelaut
Indonesia menyumbang sekitar 1,2 juta pelaut untuk dunia (Kemenhub RI, 2023), menjadikannya salah satu negara pemasok tenaga kerja pelayaran terbesar secara global.Â
Sebagian besar pelaut lokal, terutama yang bekerja di pelayaran domestik, masih menerima upah jauh di bawah UMR nasional (Syafri et al., 2020).
Di sisi lain, pelaut asing yang bekerja di kapal internasional menerima upah hingga 3--5 kali lipat, dengan jaminan asuransi, kontrak kerja legal, dan sistem pengaduan terintegrasi.Â
Pelaut lokal kita, sebaliknya, sering tidak tahu harus mengadu ke mana jika terjadi kecelakaan atau pelanggaran kontrak. Tumpang tindih yurisdiksi antara Kemenhub dan Kemenaker memperparah ketidakpastian hukum ini (Fitriani, 2022).
Kapal Tua, Sistem Usang
Transportasi laut adalah urat nadi logistik nasional. Sayangnya, lebih dari 30% armada kapal nasional saat ini berusia di atas 20 tahun dan tidak semua memenuhi standar keselamatan internasional (BPS & Ditjen Hubla, 2022).Â