Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi finansial (fintech) di Indonesia berkembang sangat pesat. Salah satu produk fintech yang cukup mencuri perhatian adalah layanan Pay Later, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai "Bayar Nanti". Layanan ini menawarkan kemudahan bagi siapa pun untuk membeli barang atau jasa sekarang dan membayarnya di kemudian hari, baik secara cicilan maupun pembayaran penuh setelah periode tertentu. Dari marketplace seperti Shopee dan Tokopedia hingga aplikasi transportasi online dan layanan keuangan digital, fitur ini kian marak ditawarkan dengan berbagai iming-iming seperti proses cepat, tanpa kartu kredit, cicilan ringan, bahkan bunga 0%.Â
Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul pertanyaan penting: apakah Pay Later benar-benar membantu masyarakat, atau justru menciptakan budaya konsumtif baru yang membahayakan?
Secara konsep, Pay Later hadir sebagai solusi inklusi keuangan, terutama bagi mereka yang belum memiliki akses ke layanan keuangan formal seperti kartu kredit atau pinjaman bank. Ia memberikan alternatif pembiayaan yang lebih fleksibel dan cepat. Namun kenyataannya, banyak pengguna justru terjebak dalam pola konsumsi impulsif. Kemudahan transaksi digital membuat seseorang lebih mudah tergoda untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Dengan fitur "Bayar Nanti", konsumen merasa tidak langsung kehilangan uang, sehingga pengeluaran pun terasa lebih ringan padahal tanggungan utang justru mulai terbentuk. Tanpa kontrol yang baik, ini berpotensi menimbulkan masalah keuangan jangka panjang, apalagi jika digunakan tanpa perencanaan. Â
Yang paling rentan terhadap dampak negatif dari penggunaan Pay Later adalah generasi muda, terutama mahasiswa dan pekerja pemula. Mereka hidup di era digital, memiliki gaya hidup aktif, namun belum memiliki kestabilan finansial yang kuat. Banyak di antara mereka yang menggunakan Pay Later untuk hal-hal non-prioritas, mulai dari kosmetik, pakaian, hingga makanan dan hiburan. Tak sedikit pula yang akhirnya terjebak dalam praktik "gali lubang tutup lubang", di mana satu tagihan Pay Later dibayar dengan meminjam dari layanan lain. Fenomena ini mengindikasikan bahwa masih banyak pengguna yang belum memiliki literasi keuangan yang memadai. Mereka tidak memahami secara penuh bagaimana sistem bunga bekerja, tidak membaca syarat dan ketentuan layanan, dan tidak menyadari bahwa keterlambatan pembayaran bisa mempengaruhi skor kredit mereka di masa depan.
Pay Later memang bisa membantu dalam kondisi tertentu, misalnya saat ada kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda. Namun sayangnya, sebagian besar pengguna tidak menggunakannya dengan prinsip kehati-hatian. Dampaknya pun tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga psikologis. Banyak orang mengalami stres dan tekanan mental karena harus menghadapi penagihan, denda, dan ketidakmampuan membayar cicilan. Ini menjadi ironi tersendiri: layanan yang seharusnya memudahkan, justru memperumit kehidupan finansial banyak orang. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang telah mulai mengatur layanan Pay Later, termasuk menetapkan bunga maksimal dan aturan transparansi. Namun regulasi saja tidak cukup. Yang lebih dibutuhkan adalah edukasi dan kesadaran dari para pengguna. Â
Agar tidak terjebak dalam jerat Pay Later, masyarakat perlu membangun kebiasaan finansial yang sehat. Gunakan layanan ini hanya jika benar-benar dibutuhkan, jangan mengaktifkan terlalu banyak akun Pay Later dalam waktu bersamaan, dan selalu bayar tepat waktu. Selain itu, penting untuk mencatat setiap transaksi agar tahu berapa total utang yang dimiliki. Pay Later seharusnya menjadi alat bantu keuangan yang bijak, bukan menjadi penyebab utama masalah finansial. Kemudahan yang ditawarkan harus diimbangi dengan tanggung jawab dalam menggunakannya. Kita tidak bisa menolak perkembangan teknologi, namun kita bisa belajar untuk mengelolanya dengan lebih bijaksana.
Fenomena Pay Later adalah cerminan dari bagaimana teknologi bisa menjadi pedang bermata dua. Ia bisa membantu kehidupan, tapi juga bisa menyulitkan, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Bukan teknologinya yang salah, tetapi perilaku manusia yang harus dikendalikan. Edukasi literasi keuangan harus menjadi bagian dari budaya sejak usia dini. Karena pada akhirnya, masa depan keuangan kita tidak hanya ditentukan oleh apa yang kita beli hari ini, tapi juga oleh bagaimana kita membayarnya nanti. Jika kita ingin tetap bebas secara finansial di masa depan, maka bijaklah sejak sekarang dalam menggunakan fitur "Bayar Nanti". Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI