Mohon tunggu...
Marwah Naila Azzahra
Marwah Naila Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa S-1 Ilmu Gizi Universitas Hasanuddin

Saya mahasiswa Universitas Hasanuddin semester 3, dengan jurusan Ilmu Gizi. Saya memiliki minat di bidang desain grafis, penulisan konten, dan ingin mencari pengalaman di industri kesehatan dan nutrisi untuk mempromosikan gaya hidup sehat dan memberikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Balita

27 September 2025   19:48 Diperbarui: 27 September 2025   19:49 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Status gizi pada balita menjadi indikator utama yang menunjukkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan suatu bangsa. Masalah gizi pada anak bawah lima tahun tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik, namun juga perkembangan kognitif, daya tahan tubuh, serta produktivitas di masa depan. Salah satu faktor penting yang memengaruhi status gizi balita adalah kondisi sosial ekonomi keluarga. Berdasarkan kajian berbagai penelitian terbaru, terlihat adanya hubungan yang kuat antara tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, pekerjaan ibu, serta tempat tinggal dengan kondisi gizi balita.

Pendidikan ibu menjadi faktor utama dalam menentukan status gizi balita. Studi di Desa Lesabe, Sulawesi Utara oleh Mandiangan dkk. (2023) mengungkapkan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita berdasarkan indeks berat badan menurut umur. Ibu yang berpendidikan tinggi cenderung mampu menyediakan makanan bergizi seimbang dan menerapkan pola asuh yang baik. Temuan ini sesuai dengan penelitian Toby dkk. (2021) di Kupang yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi berperan besar dalam memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Ibu berpendidikan biasanya lebih mudah mengakses dan menerapkan informasi kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendapatan keluarga juga berperan langsung dalam kemampuan memenuhi kebutuhan pangan. Keluarga dengan pendapatan rendah sering menghadapi kesulitan mendapatkan makanan bergizi, sehingga risiko kekurangan gizi meningkat. Penelitian Sebataraja dkk. (2014) di Padang menunjukkan anak dari keluarga berpenghasilan rendah di pinggiran kota memiliki status gizi yang lebih buruk dibanding anak di pusat kota. Kendati dalam penelitian Mandiangan dkk. (2023) tidak ditemukan hubungan langsung antara pendapatan dengan status gizi berbasis tinggi badan terhadap umur dan berat badan terhadap tinggi badan, hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor lain seperti program bantuan gizi dan dukungan komunitas yang memperbaiki akses pangan.

Lokasi geografis dan ketersediaan fasilitas juga turut memengaruhi status gizi balita. Anak yang tinggal di kota biasanya memiliki akses lebih baik ke layanan kesehatan, pasar, dan informasi gizi, sementara anak di daerah pedesaan atau pinggiran kota sering mengalami keterbatasan sarana dan prasarana. Penelitian Husna & Izzah (2021) menunjukkan perbedaan prevalensi balita kurus yang jauh lebih tinggi di Nigeria dibanding Indonesia, dikarenakan kondisi ekonomi dan sistem pangan yang tidak stabil.

Lebih dari itu, peranan ibu sebagai pengasuh utama sangat menentukan. Toby dkk. (2021) menekankan meskipun pekerjaan ibu tidak selalu berhubungan signifikan dengan status gizi, tingkat pengetahuan dan kesadaran ibu terhadap gizi adalah faktor penentu utama. Ibu yang memahami gizi cenderung dapat mengelola sumber daya terbatas dengan lebih baik untuk memenuhi kebutuhan anak.

Secara keseluruhan, status sosial ekonomi keluarga, khususnya tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lokasi tempat tinggal memiliki kaitan erat dengan status gizi balita. Oleh karena itu, upaya meningkatkan status gizi harus dilakukan tidak hanya melalui intervensi gizi langsung, melainkan juga peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga, edukasi kesehatan bagi ibu, dan pemerataan akses layanan kesehatan serta pangan bergizi, terutama di daerah pinggiran dan pedesaan. Pendekatan holistik dan multisektoral diharapkan dapat menurunkan prevalensi gizi buruk pada balita agar generasi masa depan dapat tumbuh optimal dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun