Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Senja (89, Seri Terakhir): Bersepeda di Ujung Permenungan

27 Mei 2021   09:15 Diperbarui: 27 Mei 2021   09:23 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. mamikos.com

Hidup ini penuh dengan warna, tergantung kita akan mewarnai apa dalam setiap kisah hidup yang terus berjalan ini. Suka dan duka ataupun sedih dan bahagia dalam kehidupan bukanlah warna kehidupan tetapi hanyalah sejenis kanvas kehidupan. Warna kehidupan sesungguhnya adalah bagaimana kita mensikapi situasi itu. 

Bintang, seorang anak laki-laki yang hidup bersama kedua orang tuanya di kota. Ia memiliki hobi bersepeda dan sangat senang bermain bersama teman-temannya. Setiap sore Bintang mengeluarkan sepeda dari rumahnya dan mengajak temannya untuk berkeliling kompleks. Bintang, seorang anak laki-laki bermata rabun ini sangat senang pergi ke sekolah dengan sepedanya. Selain karena hobinya, ia melakukan ini demi menjaga kesehatan. Langit sore itu sangat cerah, ia merasa senang bisa bersepeda bersama temannya. Meskipun mereka memiliki hobi yang berbeda, mereka tetap dapat bermain bersama. Bahkan ada temannya yang membawa buku saat bersepeda karena sangat senang membaca.               

Bintang memiliki komitmen untuk menekuni hobi bersepedanya demi menjaga kesehatan. Sampai pada suatu saat liburan pun tiba dan ia berniat membawa sepedanya ke desa tempat tinggal sang nenek. Di sana ia menekuni hobinya setiap sore dengan bersepeda sendiri mengelilingi kampung. Ia melewati sungai dengan berhati-hati agar tidak terpeleset di jembatan yang licin. Sampailah Bintang di padang rumput yang luas di mana ia bisa melihat indahnya pemandangan. Padang rumput dengan ilalang yang tidak terlalu tinggi di depannya. Bintang termenung sambil membayangkan dirinya berada di atas menara itu sambil memikirkan cita-citanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mewujudkan mimpinya dan berevolusi menjadi orang yang lebih baik.                                                                                   

Tak lama setelah Bintang merenung, ia kembali melanjutkan perjalanannya. Ia melewati jalan becek, pinggiran sawah, sungai, dan juga jalan raya. Sembari bersepeda, Bintang banyak bertemu orang-orang yang baru dikenalinya. Perjalanan Bintang berlanjut di jalan raya yang tidak begitu ramai dilalui kendaraan dan juga banyak orang. Ketika ia sedang mengayuh sepedanya, ia melihat seorang bapak penjual koran terserempet mobil yang melaju dengan kencang. Ia melihat bapak itu terjatuh kesakitan dan darah merah mengucur bak tinta pekat dari hidungnya. Bintang mengayuh sepedanya dengan segera untuk membantu sang bapak. Ia mengambil daun sirih di sekitarnya dan menaruhnya di hidung sang bapak untuk menghentikan darah itu. Beruntung lukanya tidak terlalu parah, hanya mimisan dan sedikit luka di kakinya. Namun kisah Bintang bersepeda di desa masih menyisakan tanda koma, kisahnya belum berhenti di sini.                                                                                                

Ilustrasi. id.pinterest.com
Ilustrasi. id.pinterest.com
Ia kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah sang nenek. Ketika ia sudah masuk ke perkampungan, sepeda berwarna hitam yang dikayuhnya tiba-tiba terhenti dan tidak dapat dikayuh. Bintang turun dan melihat rantai sepedanya yang putus. Dengan perasaan sedih, ia menuntun sepedanya kembali menuju halaman rumah. Ia masuk dan mengambil botol dari dalam kulkas untuk menghilangkan rasa hausnya. Bintang duduk sambil memperhatikan lingkaran rantai sepedanya yang rusak. Ia merasa sedih namun ia dapat menghibur dirinya sendiri. Perjalanan bersepeda Bintang di kampung sang Nenek berhenti di titik ini.

Liburan Bintang di rumah sang nenek telah hampir usai. Sembari duduk di kursi goyang, ia mengambil selembar kertas dari bukunya. Ia berniat menulis surat untuk sang nenek sebagai wujud kasih sayangnya. Ditemani segelas teh hangat, ia memutar bola matanya, mencari inspirasi untuk menemukan kata-kata yang indah sambil melihat sekelilingnya. Ia melihat meja kayu yang lapuk, foto-foto yang berdebu, dan atap rumah yang sepertinya sudah tidak kokoh ditelan peradaban. Ia pun mengarahkan matanya ke sudut ruangan di mana foto-foto berada. Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa saja manusia yang terpampang di sana. Namun, hanya satu yang dapat dilihatnya dengan jelas. Foto sang nenek saat muda sembari memegang busur panah yang ternyata adalah hobinya.

*WHy-beA

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun