Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Senja (84): Sisi Lain di Penghujung Kopi

21 Mei 2021   04:04 Diperbarui: 21 Mei 2021   04:02 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. thinkway.id

Di suatu waktu, apapun dapat terjadi tanpa direncanakan oleh manusia ataupun tanpa pengingat yang membuatnya siap menerima. Inilah dinamika kehidupan dengan segala misteri dan hukum alamnya yang hanya bisa manusia jalani dengan keimanan pada-Nya dan kebijaksanaan dari-Nya.

Walau hidup di pusat kota Jakarta, terkadang kumerasa hidup terasa sangat sepi. Banyak yang mau dicapai tapi tak tahu yang harus dilakukan. Berangkat pagi pulang sore, sebelum langit menampakkan bintangnya aku sedang duduk di pojokan jendela sebuah warung kopi. Melepas penat sembari menikmati senja, kubaca novel karangan Pramoedya berjudul Bumi Manusia yang kubawa di sepeda. Saat ini aku sedang tidak mengantuk efek kopi berkafein tinggi dan suasana kedai yang sedang ramai. Hal ini membuatku berhasrat untuk pulang lebih malam lagi.

Sejenak aku harus lepas keseharianku buat ngopi di kota. Sementara hatiku meminta sebuah revolusi kecil. Selama sebulan aku akan pergi mencicipi kopi tubruk di khas desaku, Sragen. Tidak hanya melepas rindu dengan kopi desaku, tapi aku ada keperluan lain yaitu skripsi. Padang ilalang yang membentang akan jadi pemandanganku seminggu ini. Barisan macetnya Jakarta diganti dengan aliran sungai yang mengalir deras tenangkan kalbu. Aku tinggal di gubug kecil sebelah menara milik Bu Sur yang akan kutempati sementara. Perlu diketahui, Bu Sur juga penikmat kopi sama sepertiku.

Ilustrasi. www.jawapos.com
Ilustrasi. www.jawapos.com
Dua minggu di desa bagaikan hari-hari koma di hidupku. Tidak ada sinyal, bising, semuanya tenang bak memakai skincare daun lidah buaya waktu malam. Hanya surat dan kentongan yang bisa diandalkan saat ini. Di sini kuhabiskan waktu kebanyakan untuk survey dan ngobrol basa-basi sama Bu Sur. Tiba-tiba sepaket surat datang untukku dari kota berisi koran dan garpu sawah. Paket itu tertulis, "Selamat ya, udah bisa tinggal di desa!" dengan tinta merah menyala. Tanpa harus aku buka, aku sudah tahu siapa pengirimnya. 

Hatiku berdegup kencang karena gembira sebelum terhalang oleh suara dari jalan raya. Segera kumenuju ke sumber suara tak mengenakkan tersebut dan mendapati hal tak terduga. Aku panik mendapati Bu Sur muntah darah. Langsung kubawa ke ruangan kecil di gubug tersebut agar beliau istirahat. Tidak ada telepon, rumah berjauhan, yang kuharap hanya datang keajaiban dari Tuhan.

Keadaan diperparah dengan titik-titik hujan yang mulai menyerang menara. Warna langit yang tadinya terang, berubah menjadi abu-abu petang. Bagai film, sangat sesuai keadaanku dengan efeknya sekarang melihat Bu Sur terbaring di kasur. Tanpa tahu berbuat apa lagi aku merebus air dan masukkan dalam botol dan kuberikan pada dada Bu Sur. Berharap rantai kehidupan Bu Sur masih panjang, tapi apa daya hanya berharap. Yang bisa kulakukan adalah membuatkan kopi dan menemaninya menuju alam sana. Sambil menahan rasa tak tega, kudegarkan semua cerita tentang diri dan anak-anaknya.

Sembari bercerita, beliau minta supaya ia dimakamkan seperti manusia umumnya. Dia minta supaya panah mendiang suaminya dikubur juga bersamanya di gunung pinggir desa. Ia percaya bahwa istri yang baik akan memberikan barang kesukaan suaminya. Waktu berlalu, kurasa sudah waktunya yang berasal dari bumi akan kembali ke bumi. 

Dengan tenang dan menangis aku doakan supaya diterima di sisi-Nya. Kutarik sebuah kursi dan kutulis di selembar kertas pesan-pesan Bu Sur buat anak-anaknya. Di abad yang serba instan ini aku belajar tidak ada manusia yang konstan. Setenar apapun, setua apapun kita pasti akan bertemu dengan Sang Pencipta. Selain skripsi kita juga diingatkan supaya berjaga-jaga dengan apa yang terjadi. Sekian kisahku di desa dari aku yang kembali minum kopi di Jakarta.

*WHy-liN

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun