Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Senja (72): Secarik Hidupku

23 April 2021   04:04 Diperbarui: 23 April 2021   04:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. www.dreamstime.com

Perpisahan dan perjumpaan bagaikan sekeping uang kehidupan yang ada dalam putaran waktu. Keduanya tak dapat dihindari dalam hidup karena keduanya adalah hukum sebab-akibat yang memberi ruang dan waktu untuk menuliskan kisah hidup. Tak ada yang lebih sedih ataupun lebih gembira, hanya ada kepastian di antara keduanya.

Di hari yang indah ini, kukayuh sepeda baruku ini dengan penuh semangat. Mungkin terlalu semangat hingga mataku tak melihat ada pengendara sepeda lain yang menuju ke arahku. Bruk!! Aku terjatuh dengan keras ketika sepeda kami saling bertubrukan. Dengan pandanganku yang buram dan penuh bintang-bintang, kutatap langit di atasku. Aku sangat terkejut ketika melihat sosok yang ada di depanku. 

Seumur hidupku, baru kali ini kutemui orang yang berwajah mirip sekali denganku. Yang membedakan kami hanyalah aku memiliki tahi lalat di pipi kiriku. Dengan penuh keheranan, aku bertanya-tanya dalam hati, siapakah dia? Namun belum sempat aku mengeluarkan sepatah katapun, ia sudah pergi dengan kecepatan tinggi menggunakan sepedanya. Meninggalkanku seorang diri dengan penuh tanda tanya, namun ternyata ia menjatuhkan sebuah buku!

Kuambil buku yang terlihat sangat tua itu dan segera kukayuh sepedaku ke rumah. Sesampainya di rumah, aku segera masuk ke kamarku dan membuka buku itu dengan hati-hati. Kubaca buku itu yang ternyata merupakan buku harian anak tersebut dari awal hingga akhir. 

Rupanya, ia bernama Jenni dan merupakan anak yatim piatu yang tinggal seorang diri di desa. Untuk pergi ke sekolah setiap harinya, ia harus melewati padang ilalang, menyeberangi sungai, dan menuruni lembah. Sekolahnya terletak di sebelah menara tua bekas revolusi Belanda. Aku merasa terharu atas perjuangannya untuk pergi ke sekolah setiap harinya. Akhirnya kututup buku itu dan pergi tidur dengan dihantui rasa penasaran yang sangat besar.

Ilustrasi. medievaljourney.comsi.  
Ilustrasi. medievaljourney.comsi.  
Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan lelah karena semalaman tidak bisa tidur. Ada hal yang mengganggu pikiranku, "Siapakah anak itu? Mengapa ia berwajah mirip sekali denganku?" Setelah membaca sedikit koran di pagi ini, kuputuskan untuk pergi mencari Desa Senja yang merupakan tempat tinggal Jenni. 

Kukayuh sepedaku menuju jalan raya, melewati jalan yang dipenuhi daun kering, hingga sampai di Desa Senja. Kulihat ada satu rumah yang bertuliskan "Jenni" dengan tinta merah semerah darah di pintunya. Segera kuketuk pintunya dan ketika dibuka, aku langsung bertanya panjang lebar tanpa koma tentang rasa penasaranku.  Dengan tenang dan tanpa banyak bicara, ia hanya mengajakku masuk ke dalam rumahnya.

Dengan bingung, kuikuti dia masuk dan ternyata isi rumahnya berbeda sekali dengan halaman luarnya yang suram. Dindingnya dicat warna-warni dan dihias dengan foto-foto yang mirip sekali dengan diriku. Ia lalu bercerita bahwa ia sebenarnya adalah saudara kembarku yang terpisah. Ia mengatakan bahwa orangtua kami lebih memilihku dan memilih untuk meninggalkan Jenni seorang diri. Saat masih kecil, aku diberi botol ramuan dari dukun untuk menghapus lingkaran memoriku tentang Jenni. Jika akhirnya kami bertemu, salah satu dari kami akan menemui titik di rantai kehidupan kami.

Mendengar perkataannya, hatiku pedih seakan tertusuk panah dan aku terduduk lemas di kursi. Jenni tetap tenang dan memberiku gelas berisi air untuk meredakan kegelisahanku. Segera aku mengambil kertas dan pena lalu kutuliskan surat untuk orang-orang terdekatku. Setelah selesai, perasaanku campur aduk antara senang dan sedih. 

Senang karena bisa bertemu saudara kembarku yang telah terpisah selama 17 tahun ini tanpa memori sedikitpun. Namun juga sedih karena berarti salah satu dari kami hidupnya akan berakhir hari ini. Kupeluk saudara kembarku dengan erat dan kami menangis bersama-sama. Tak lama kemudian, kurasakan badan Jenni menipis dan tiba-tiba menghilang dari pelukanku. Ternyata, Jennilah yang harus menyudahi kisahnya di peradaban ini sebagai manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun