Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Manusia Pembelajar Berbasis Kearifan

26 Maret 2018   11:30 Diperbarui: 26 Maret 2018   11:42 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
franchiseindia.com/education

Robert Heller, seorang konsultan manajemen, menyarankan: "Jangan abaikan suara hati, tetapi suara hati saja tidak cukup." Kearifan memungkinkan kita menggunakan suara hati dan logika untuk menemukan opsi terbaik dalam hidup.

Heller rupanya sangat menyadari pentingnya menjadi manusia yang utuh secara menyeluruh, yakni berkembang secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan, semuanya itu membutuhkan yang namanya komitmen diri sehingga dapat selalu belajar untuk hidup.  Maka, dunia pendidikan pun sudah seharusnya bertindak secara arif dengan mengedepankan suara hati dan logika seiring sejalan dalam keharmonisan.

Pendidikan terkadang lupa dengan esensi menjadi manusia pembelajar secara menyeluruh. Sekolah-sekolah mudah sekali terjebak pada rutinitas dan ambisi yang anarkis dengan mengedepankan pencapaian kematangan kognitif belaka.

Para siswa didorong dengan sekuat tenaga untuk menguasai materi pelajaran dan mendapat skor yang tinggi sehingga dapat dianggap tuntas atau kompeten. Ironisnya, para siswa seringkali tidak pernah tahu pentingnya belajar materi-materi itu bagi hidup dan masa depan mereka.

Semuanya, dilakukan, hanya karena formalitas dan paksaan kurikulum belaka. Inilah kekerasan psikis sesusungguhnya dalam dunia pendidikan, di mana anak-anak merasa tak berdaya menghadapi situasi sulit tersebut. Kearifan sangat jauh dari situasi pendidikan seperti itu. Miris.

Lebih hebat lagi, berbagai labelling di sekolah menjadikan anak-anak harus hidup dalam "penjara" kompetensi, seperti: anak bodoh, pintar, rajin, bandel, nakal, dan sebagainya.

Label tentang kualitas semu anak tersebut sesungguhnya merupakan ketidakarifan orang dewasa dalam mendampingi anak-anak muda dalam belajar menjadi dewasa. Ketika logika dan suara hati berperan aktif dalam mensikapi keadaan tersebut, pastinya dapat diurai bahwa tidak perlu adanya labelingdalam dunia pendidikan karena semua anak pasti memiliki potensinya masing-masing.  Bisa jadi dunia pendidikan harus berjuang lebih keras dalam pendampingan untuk meyakinkan anak-anak pada potensi dan arah hidupnya.

Kadangkala orang yang kurang memiliki kearifan jarang ada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat pula. Mengusahakan dunia yang terdidik berarti mengusahakan setiap pribadi di dunia ini berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat pula. Kepemimpinan memegang peranan besar untuk mengusahakan kearifan untuk dunia yang terdidik.

Oleh karena itu, setiap orang sudah seharusnya membangun habitus setiap saat untuk: mengolah akal budi dengan segala logika yang rasional dan daya berpikir yang mendalam, mengasah hati nurani lewat berbagai pengalaman kemanusiaan dalam hidup yang mengugah kepedulian pada sesama, dan memelihara komitmen diri pada kebenaran sejati dan kuasa ilahi. Saatnya menjadi manusia pembelajar, saat ini dan sepanjang masa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun