Mohon tunggu...
Don Martino
Don Martino Mohon Tunggu... Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konklaf: Drama Sunyi Pemilihan Paus dan Masa Depan Gereja Katolik

7 Mei 2025   08:14 Diperbarui: 7 Mei 2025   19:10 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Zucchetto yang digunakan para Kardinal (Foto: Vatican Media Divisione)

Setiap kali Takhta Santo Petrus menjadi kosong, dunia seakan menahan napas. Di tengah hiruk-pikuk zaman yang dipenuhi gejolak politik, krisis kemanusiaan, dan perubahan budaya yang begitu cepat, Gereja Katolik dipanggil untuk memilih pemimpinnya---seorang Paus yang bukan hanya gembala umat beriman, tetapi juga simbol harapan dan arah moral bagi lebih dari satu miliar jiwa di seluruh dunia.

Pemilihan ini bukan sekadar ritual internal Vatikan. Ia adalah drama sunyi yang dibalut keheningan Kapel Sistina, disaksikan langit Roma, dan diam-diam dicermati oleh media, umat, dan bahkan pemimpin dunia. Di sinilah Konklaf menjadi peristiwa yang penuh misteri, spiritualitas, dan determinasi sejarah.


Apa Itu Konklaf?

Kata konklaf berasal dari bahasa Latin cum clave---"dikunci". Dalam pengertiannya yang literal dan simbolik, para kardinal pemilih dikunci dalam satu tempat, menjauh dari dunia luar, demi satu tujuan: memilih Uskup Roma, pengganti Santo Petrus, dan pemimpin tertinggi Gereja Katolik.

Sejak ditetapkannya sistem ini oleh Paus Gregorius X dalam Konsili Lyon II pada tahun 1274, konklaf telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Katolik. Tujuannya jelas: melindungi kebebasan para kardinal dari tekanan eksternal, mempercepat proses pemilihan, dan menempatkan doa serta Roh Kudus sebagai sumber utama inspirasi.

Ritus yang Membungkam Dunia

Proses konklaf dimulai dengan Misa khusus Pro Eligendo Pontifice. Setelahnya, para kardinal memasuki Kapel Sistina dalam suasana sakral. Komunikasi dengan dunia luar dihentikan total. Mereka membawa hanya satu hal: hati nurani mereka dan harapan umat.

Pemungutan suara dilakukan dua kali di pagi dan dua kali di sore hari. Setiap suara dihitung dengan cermat dan rahasia. Jika tidak ada yang mencapai dua pertiga suara, lembaran suara dibakar dengan bahan kimia yang menghasilkan asap hitam---fumata nera---pertanda "belum ada Paus". Namun, ketika akhirnya seorang Paus terpilih, dunia menyaksikan asap putih membumbung dari cerobong kapel---fumata bianca. Dan dari balkon Basilika Santo Petrus, terdengarlah seruan legendaris: Habemus Papam!---"Kita memiliki Paus!"

Saat Gereja Bersiap: Menanti Pengganti Paus Fransiskus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun