Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Dia, dan Goethe

9 Mei 2019   01:34 Diperbarui: 9 Mei 2019   01:55 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata orang cinta itu buta. Buta itu kesempatan. Kesempatan itu gelap, antara ya dan tidak.

Apa artinya cinta ... memang abu-abu? Pusing akh!. Bicara tentang hal itu gak bakalan habis idenya. Aku sendiri suka mencintai. Ya, wujudnya sih sederhana aja. Mungkin seperti membantu orang memberi senyuman yang tulus (keahlianku..he..he), atau mencintai orang tuaku, atau parahnya masih memikirkan mantan-mantanku.. pssst !. Tapi aku ...juga yakin bahwa itu baru separuh dari elemen cinta. Mungkin bukan esens cinta yang murni juga.

Oh ya, nama aku Bunga. Sudah dua bulan ini aku pusing, karena dijatuhi cinta lagi sama orang yang pernah aku sayangi. Ingin rasanya berhenti memikirkan dia, tapi tak kuasa. Kadang aku kesal banget dengan diriku sendiri yang gak tegas dan nyaris pasrah menerima dia kembali. Bego ya?. Sebenarnya kami sudah lama mengakhiri hubungan itu. Tepatnya 7 Maret 2016 lalu. Ibaratnya, jika aku jadi bunga yang sedang mekar-mekarnya, si kumbang tua ini pergi tanpa meninggalkan sebagian wewangiannya di tangan aku yang memujanya setengah mati waktu itu. Kebayangkan rasa kesalku?

Kini dia datang lagi. Kadang aku merasa asyik tapi ragu, sering juga bisa tak bisa tidur, atau terbangun dengan senyuman. Walaupun aku kebingungan nih, tapi aku masih percaya bahwa aku harus memutuskan sesuatu. Bukan membiarkan rasa itu larut dalam kebodohanku, ya kan?. Karena kata temanku yang adalah anak psikologi, dasar pertimbangan sebuah relasi adalah demi kebahagiaan. 

Bahagia itu bukan lahir dari hadiah jaket yang pernah diberinya pas kami hendak hiking di pegunungan Cyclop di Sentani, atau jam tangan Mickey yang diberikan orang tuanya saat ulang tahunku, atau ketika dia bilang cinta ke aku dulu pake acara masukin cincin di dalam gelas segala (untung gak ketelan ... tapi aku sempat berteriak, "he !! elo mo bunu gue pake cincin ya?!...tapi aku suka sih..hehe).

Nah, ketika aku pikir-pikir, mungkin ada benarnya juga. Cinta itu seharusnya lahir tanpa tekanan. Cinta mestinya berakar pada pengalaman kasih sebagaimana Tuhan mengasihi kita, atau cinta orang tua kepada kita. Walaupun efek cinta kadang mengasyikkan kadang juga nggak, tetapi aku juga percaya yang namanya rahasia alur sungai cinta. 

Wow!! Tapi ...apa benar itu cinta, ketika dia marah padaku hanya karena lupa membalas smsnya?. Atau saat kulihat dia bersama cewek lain yang menurut dia sepupunya? Atau ketika aku sakit dia sempat datang?. Memang, cinta bisa menjajarkan kebahagiaan dan duka sekaligus. Apapun bentuknya, cinta itu hanya bisa ada jika kita sanggup menafsirkannya. 

Aku tersentuh dengan kalimat Camille Pissaro yang dikirim temanku di wall instagramku, kebahagiaan adalah bagi mereka yang melihat keindahan, pada sesuatu yang sederhana yang tidak dilihat oleh orang lain. Semua hal indah; rahasianya terletak pada kemampuan mengartikannya.

Menafsirkan cinta secara berbeda bisa mengakibatkan luka. Ya, minimal berdasarkan pengalamanku ini. Benar juga ya, bahwa pintu cinta hanya bisa terbuka jika ada kerelaan untuk mengartikan atau memberi bobot pada rasa suka atau gak suka. Aku pikir-pikir, jika semua manusia tahu artinya cinta, maka dunia akan indah. Kita semua diwajibkan membagi rahasia ini kepada orang lain. Oh God, Tapi tidak untuk dia!!.

-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun