Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kusta

2 Mei 2019   15:04 Diperbarui: 2 Mei 2019   21:04 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja di Bayun, Asmat. Foto Pribadi

Lho, bagaimana bisa mengajar kalau tidak mengenal? Tidak pernah bertemu umat?. "Semoga Tuhan Yesus selalu memberkati kita, agar kita semakin bersatu dan bekerjasama membangun stasi ini". Wah, kapan saya ke rumah umat ya?. "Amin". Renungan Fr. Yosias seakan menjadi ruang percakapan luas dalam hatiku.

Setelah perayaan, tidak ada salam-salaman, cipika-cipiki, atau sekedar ngobrol. Kami buru-buru masuk ke kamar dan membiarkan umat menunggu, akhirnya pulang dengan sendirinya. Kami memang berdosa. 

Rasa takut dan enggan masih menjadi pergumulan kami. Tapi hasrat untuk melayani masih memaksa kami untuk berpikir kembali tentang kehadiran kami disini. Sungguh terlalu, sampai-sampai salaman pun sengaja tidak dibagi. Apa artinya renungan yang bagus jika tidak ada contoh yang nyata pula?. Saya mencoba mengkritisi diri saya sendiri.

Setelah menamatkan menu wajib kami di Minggu siang yang terik ini, aku menyantap sepiring nasi dan sepotong ikan asin bakar. Fr. Yosias memutuskan bersepeda menuju camp para pekerja yang mayoritasnya pendatang, kira-kira 5 km jaraknya dari tempat tinggal kami.

Tepat jam dua belas siang, seseorang bapak datang mengetuk jendela rumah kami sambil berteriak-teriak dalam bahasa daerah setempat yang sulit dimengerti. Saya keluar tergesa-gesa. "Bapa, ada apa?".

"Itu, sa pu anak perempuan mo melahirkan tetapi suster perawat tidak ada. Ko tolong doa di air ka, supaya dia bisa minum dan anak itu cepat lahir!". Saya terdiam sejenak. Rasanya ini kejadian pertama dalam hidupku mendoakan sesuatu lewat air. Ini juga pengalaman perjumpaan pertama kali dengan umat setempat yang sungguh membutuhkan pertolongan. 

Saya merasa mungkin ini jalannya dan meyakini sesuatu akan terjadi. "cepat sudah !!", teriakan Bapak ini serentak membuyarkan rasa bingung dan raguku. Apa yang bisa saya buat?

Segera sebotol air dalam wadah bekas disodorkan. Setelah berdoa sejenak saya memberikan botol itu kembali kepadanya. Dia mengucapkan terima kasih dan segera berlari menuju perahunya di bantaran kali. Dalam keraguan dan ketakutan, saya pun berteriak, "Bapa, tunggu... saya ikut!!".

Rumah kecil itu agak terpisah dari kampung. Kami harus meniti lembar demi lembar papan melewati selokan dan rerumputan menuju ke rumahnya. Kondisi dalam rumahnya lumayan teratur. Ada ruang duduk dengan tikar seadanya. Saya diantar masuk ke kamar melewati ruang makan yang dipadati puluhan orang. Kebanyakan mama- yang bertelanjang dada menangisi kejadian yang menimpa anak gadisnya ini. Ucapan salam saya tidak dibalas mereka. 

Saya pun bergegas masuk ke kamar dan melihat perempuan yang hendak melahirkan ini. Ia terbaring dengan kain seadanya. Di sisi kiri duduk suami dan seorang saudara perempuannya. 

Di samping perempuan yang kesakitan, terbaring seorang bayi mungil yang manis sekali. "Wah...dia sudah lahir, syukurlah", saya pun bergembira. Suaminya  segera bangkit berdiri dan berbisik, "Masih ada satu di dalam mama pu perut. Ibu perawat bilang ada dua di dalam. Tadi malam anak laki-laki ini su lahir. Jam 12. Mungkin dia lagi tunggu adiknya keluar".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun