Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kusta

2 Mei 2019   15:04 Diperbarui: 2 Mei 2019   21:04 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja di Bayun, Asmat. Foto Pribadi

Perjalanan panjang ini terasa melelahan. Sudah hampir delapan jam kami menyeberangi puluhan tikungan sungai, melawan hujan dan panas, menuju bagian hulu. Jarak puluhan kilometer tak terasa sudah kami lalui. 

Beberapa kali speedboat kaleng milik misi yang kami tumpangi menabrak kayu atau tumpukan pasir dan lumpur. Aku mulai menarik nafas dalam-dalam ketika mendengar namaku diteriaki. "Ya?" "ayo kawan...turun dan dorong lagi". 

Sudah ketiga kalinya kami terpaksa mendorong speed karena air sudah terlanjur surut. Ada ketakutan akan ular atau buaya di dalam air sekeruh coklat susu ini. Tapi apa mau dikata, kami harus turun dan mendorong perahu lagi, dari pada bermalam di tengah sungai dan dihajar nyamuk. "akhirnya....", kata frater Yosias ketika kami lolos dari jebakan lumpur yang mengendap.

Tiga bulan ini aku diminta untuk membantu melayani di salah satu stasi, sebuah stasi yang sangat jauh di ujung Keuskupanku. Rasa khawatir dan cemas menguasaiku. Apalagi kampung tujuan kami sedang dijangkiti penyakit kusta. 

Konon, berbagai macam cara telah dilakukan tetapi belum ada hasil yang maksimal. Kadang aku termenung sendiri, mengapa aku dikirim di tempat seperti ini. 

Perasaan sedih yang sangat kuat ini sampai mempengaruhi bobot badan, perasaan, bahkan doa-doa harianku terasa hambar dan tidak mendalam.  Aku mulai mudah melamun. Yang terdalam dari semua efek ini adalah aku mulai meragukan kuasa Tuhan dalam hidupku. Banyak tantangan yang melanda hidupku akhir-akhir ini. Aku berada pada titik ragu.

Akhirnya kami tiba. Sebuah kampung kecil yang dibelah oleh sungai yang berair deras. Di sisi kiri sungai terdapat pemukiman umat. Bevak atau rumah mereka sederhana, beratap dan berdinding daun sagu. Anak-anak kecil bermain perahu di sisi kali. Tampak pula ibu-ibu sedang mencuci dan beberapa bapak sedang mandi di kali. 

Di sisi kanan ada beberapa kios di sana. Mereka menguasai sisi sebelah kanan bantaran sungai, untuk mempermudah jalur perdagangan mereka. Banyak warga duduk menghabiskan waktunya di depan rumah pedagang-pedagang ini. "trada, kami tadah-tadah angin saja disini ..". Jawab seorang bapak berkaos Persipura menyolok ketika ditanyakan driver speedboat kami. "Mari bantu ambil barang dulu", ajak sang driver. "terlalu panas ni", katanya. 

Jawaban terakhir serentak membuatku berdiri, membereskan barang satu persatu. Perasaan jengkel seakan menerkam ubun-ubun. Masa diminta tolong saja tidak bisa? Mungkin ingin dibayar? 

Tidak tahukan kau bahwa kami datang untuk melayanimu? Rentetan pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulut rombongan kami. Dengan kesal kami memikul seluruh barang bawaan kami. Kasur, minyak tanah, kompor, kelambu, bahan makanan selama tiga bulanan, buku-buku, dan alat peraga untuk pendampingan bagi anak-anak. 

Sambutan yang kurang hangat menurutku. Tapi, apakah sambutan hangat yang kucari? Keramahankah? Kebingunanku dan kekesalan kubawa dalam doa malamku. Aku mencoba pasrah kepada Tuhan atas apa yang terjadi sepanjang hari ini.

Mie hangat merupakan makanan termewah setelah perjalanan hamper delapan jam. Saya dan frater Yosias hanya menatap wadah mie tanpa nafsu. Terbayang makanan enak yang selalu terhidang di biara di Keuskupan. Suasana hutan terasa kuat. Suara semilir angin dan hewan malam mengiringi istirahat kami. Satu persatu kejadian tidak sempat terputar ulang karena kelelahan.

* *  *

Sudah empat hari kami tinggal di sebuah rumah kecil. Sungguh, empat hari...tanpa keluar memandang mentari. Ini menegaskan bahwa kami tidak berkunjung ke rumah umat. Rasa takut dan khawatir akan penyakit kusta seakan menjadi alasan yang tepat untuk berkutat dengan urusan rumah tangga. "Kawan, katanya kusta itu tidak berbahaya", kata frater Yosias kepadaku. "Trus, mengapa kau juga masih tinggal di sini dan tidak pergi kunjungi umat di seberang kali?", kataku menangkis candanya. 

"Haha....itulah, sob. Saya juga takut. Kata perawat di samping rumah kusta tidak menular kalau mereka terus minum obat paket. Masalahnya mereka tidak mau minum. Katanya abis minum kepala pusing dan mual-mual. Akhirnya mereka tidak mau minum lagi", katanya. 

"kasihan ya", tanggapku segera. Pembicaraan kami terhenti ketika seorang anak kecil datang membawa botol air mineral yang telah kosong dan meminta kami untuk mengisi dari keran air. 

Kelihatannya anak itu sehat-sehat saja. Hanya mata kirinya juling dan jari kelingking kirinya tidak ada. Kami bergegas membantunya. Setelah dia pergi, kami langsung diajak makan oleh keluarga perawat di samping rumah. "frater, anak kecil tadi juga kusta", katanya kepada kami sambil tersenyum. "Haaa?", teriak kami serempak. "Ya. 

Banyak anak di kampung ini yang sudah tertular. Salah satunya anak tadi itu", perawat menjelaskan. "Tidak ada sekolah juga ya?", tanyaku antusias. "Benar, guru datang dan pergi. Mungkin tidak betah karena tempat terpencil dan sarana kurang memadai. Lebih 10 tahun sekolah tidak berjalan maksimal di sini", kata ibu ini dengan raut  sedih.

Ada rasa sesak memenuhi dadaku. Sekolah gratis dan gaji besar rupanya tidak menjadi jaminan bagi terlaksananya pendidikan yang maksimal. Ketika guru ada, siswa ikut orang tua ke hutan mencari makan berminggu-minggu lamanya. Ketika siswa ke sekolah, guru memutuskan ke kota menghabiskan waktu kosong di kota. Irama ini menjadi missing link bagi drama persekolahan yang konon berhasil. Kata pastor paroki, banyak anak tidak bisa membaca. 

Apalagi menulis. Kata-kata ibu perawat mengingatkan saya pada sharing pastor paroki, bahwa memang lebih dari 10 tahun sekolah sekarat di sini. Sepanjang makan malam, banyak hal berkecamuk di dalam hatiku. 

Dua hal yang sangat kuat dayanya seakan menarikku dari sisi yang berbeda. Ketakutan akan kusta dan rasa kasihan akan nasib masa depan anak-anak. Semuanya bermuara di tengah umat Allah di kampung ini. Tetapi bagaimana cara ke sana untuk berjumpa dengan mereka ?. Semoga Tuhan membuka jalan!. Kalimat terakhir ini terangkum dalam doa malam kami. Pasrah kepada Allah dalam takut dan cemas mungkin menjadi pilihan yang terbaik ketimbang tidak melakukan apa-apa.
 
* *
 
Ibadat hari minggu pagi ini terasa biasa-biasa saja. Aku memimpin ibadat sabda dan renungan diisi oleh Fr. Yosias. "Saudara terkasih, kami datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani". 

Tapi, waktu itu diminta memikul barang kami, kalian tidak mau datang dan kami dongkol setengah mati. "Kehadiran saya dan frater Yosias diutus oleh Uskup untuk hidup bersama di tengah umat, dan mungkin akan mengajar anak-anak". 

Lho, bagaimana bisa mengajar kalau tidak mengenal? Tidak pernah bertemu umat?. "Semoga Tuhan Yesus selalu memberkati kita, agar kita semakin bersatu dan bekerjasama membangun stasi ini". Wah, kapan saya ke rumah umat ya?. "Amin". Renungan Fr. Yosias seakan menjadi ruang percakapan luas dalam hatiku.

Setelah perayaan, tidak ada salam-salaman, cipika-cipiki, atau sekedar ngobrol. Kami buru-buru masuk ke kamar dan membiarkan umat menunggu, akhirnya pulang dengan sendirinya. Kami memang berdosa. 

Rasa takut dan enggan masih menjadi pergumulan kami. Tapi hasrat untuk melayani masih memaksa kami untuk berpikir kembali tentang kehadiran kami disini. Sungguh terlalu, sampai-sampai salaman pun sengaja tidak dibagi. Apa artinya renungan yang bagus jika tidak ada contoh yang nyata pula?. Saya mencoba mengkritisi diri saya sendiri.

Setelah menamatkan menu wajib kami di Minggu siang yang terik ini, aku menyantap sepiring nasi dan sepotong ikan asin bakar. Fr. Yosias memutuskan bersepeda menuju camp para pekerja yang mayoritasnya pendatang, kira-kira 5 km jaraknya dari tempat tinggal kami.

Tepat jam dua belas siang, seseorang bapak datang mengetuk jendela rumah kami sambil berteriak-teriak dalam bahasa daerah setempat yang sulit dimengerti. Saya keluar tergesa-gesa. "Bapa, ada apa?".

"Itu, sa pu anak perempuan mo melahirkan tetapi suster perawat tidak ada. Ko tolong doa di air ka, supaya dia bisa minum dan anak itu cepat lahir!". Saya terdiam sejenak. Rasanya ini kejadian pertama dalam hidupku mendoakan sesuatu lewat air. Ini juga pengalaman perjumpaan pertama kali dengan umat setempat yang sungguh membutuhkan pertolongan. 

Saya merasa mungkin ini jalannya dan meyakini sesuatu akan terjadi. "cepat sudah !!", teriakan Bapak ini serentak membuyarkan rasa bingung dan raguku. Apa yang bisa saya buat?

Segera sebotol air dalam wadah bekas disodorkan. Setelah berdoa sejenak saya memberikan botol itu kembali kepadanya. Dia mengucapkan terima kasih dan segera berlari menuju perahunya di bantaran kali. Dalam keraguan dan ketakutan, saya pun berteriak, "Bapa, tunggu... saya ikut!!".

Rumah kecil itu agak terpisah dari kampung. Kami harus meniti lembar demi lembar papan melewati selokan dan rerumputan menuju ke rumahnya. Kondisi dalam rumahnya lumayan teratur. Ada ruang duduk dengan tikar seadanya. Saya diantar masuk ke kamar melewati ruang makan yang dipadati puluhan orang. Kebanyakan mama- yang bertelanjang dada menangisi kejadian yang menimpa anak gadisnya ini. Ucapan salam saya tidak dibalas mereka. 

Saya pun bergegas masuk ke kamar dan melihat perempuan yang hendak melahirkan ini. Ia terbaring dengan kain seadanya. Di sisi kiri duduk suami dan seorang saudara perempuannya. 

Di samping perempuan yang kesakitan, terbaring seorang bayi mungil yang manis sekali. "Wah...dia sudah lahir, syukurlah", saya pun bergembira. Suaminya  segera bangkit berdiri dan berbisik, "Masih ada satu di dalam mama pu perut. Ibu perawat bilang ada dua di dalam. Tadi malam anak laki-laki ini su lahir. Jam 12. Mungkin dia lagi tunggu adiknya keluar".

Dengan penuh keyakinan saya berdoa. Rasa takut dan cemas seakan-akan melayang. Keraguan akan kebesaran dan kebaikan Tuhan semuanya terungkap dalam doa. Dalam rasa takut, bersalah, dan penuh dosa karena telah menghianati Allah seakan terhapus begitu saja. Allah mengajak saya untuk turun dan berjumpa dengan umatnya dengan cara yang sangat unik. 

Baru pertama kali rasanya saya berdoa dengan penuh kesungguhan hati. Sungguh pengalaman iman mulia yang kudapatkan di tengah umat yang saya hindari, hanya karena penyakit yang mereka derita. Tidak sadar saya menitikan air mata dalam doa di depan banyak orang. Saya diteguhkan dengan kuasa Allah yang tak terkira. Saya sungguh ditobatkan pengalaman ini. Beberapa orang di kamar turut menangis. "Panggil adikmu keluar ya.."bisikku di telinga kakaknya.
 
***
 
Telah dua hari saya menunggu kabar kelahiran itu. Tidak ada kabar apa pun yang disampaikan kepadaku. Ketika hari menjelang sore,  saya memutuskan berdiri di depan kios menunggu moment yang bagus untuk memotret. "slamat sore anak", sapa seorang bapak tua. 

"Selamat sore Bapa. Mo kemana?...eh, bagaimana bapa pu cucu? Su lahir?", tanyaku segera ketika menyadari bahwa ternyata bapak itulah yang memanggilku untuk berdoa kemarin. "Bapa mo ke kios dulu. Iyooo,...jantan dia sudah lahir. Mungkin stengah jam setelah anak pulang. Trima kasih anak, su bantu doa", jawabnya santai. 

"Syukurlah...sama-sama Bapa", jawabku gembira. Dalam diam aku bergegas menuju pastoran. Aku menangis sambil bersyukur atas mujizat Tuhan yang terjadi. Untuk keberanianku keluar dari kenyamanan pastoran menuju rumah umatku, untuk kembar yang kemudian diberikan namaku, dan untuk Allah yang mengutusku di tempat terpencil yang kurang disukai orang saat itu. 

Itulah titik pertemuanku dengan Allah. Kuambil kamera dan alat tulis segera dan menuju bantaran kali sambil menunggu perahu yang lewat. Rasa takut telah dikalahkan oleh laju perahuku menuju serombongan anak-anak yang tersenyum melihatku. Sepanjang perjalanan saya berdoa semoga kehadiran kami memberi semangat bagi upaya kesembuhan mereka.  

SEKIAN

Cerpen berlatar belakang pelayanan saya di tengah Suku Asmat ini pernah dimuat di Majalah Mingguan Hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun