Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kusta

2 Mei 2019   15:04 Diperbarui: 2 Mei 2019   21:04 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja di Bayun, Asmat. Foto Pribadi

Mie hangat merupakan makanan termewah setelah perjalanan hamper delapan jam. Saya dan frater Yosias hanya menatap wadah mie tanpa nafsu. Terbayang makanan enak yang selalu terhidang di biara di Keuskupan. Suasana hutan terasa kuat. Suara semilir angin dan hewan malam mengiringi istirahat kami. Satu persatu kejadian tidak sempat terputar ulang karena kelelahan.

* *  *

Sudah empat hari kami tinggal di sebuah rumah kecil. Sungguh, empat hari...tanpa keluar memandang mentari. Ini menegaskan bahwa kami tidak berkunjung ke rumah umat. Rasa takut dan khawatir akan penyakit kusta seakan menjadi alasan yang tepat untuk berkutat dengan urusan rumah tangga. "Kawan, katanya kusta itu tidak berbahaya", kata frater Yosias kepadaku. "Trus, mengapa kau juga masih tinggal di sini dan tidak pergi kunjungi umat di seberang kali?", kataku menangkis candanya. 

"Haha....itulah, sob. Saya juga takut. Kata perawat di samping rumah kusta tidak menular kalau mereka terus minum obat paket. Masalahnya mereka tidak mau minum. Katanya abis minum kepala pusing dan mual-mual. Akhirnya mereka tidak mau minum lagi", katanya. 

"kasihan ya", tanggapku segera. Pembicaraan kami terhenti ketika seorang anak kecil datang membawa botol air mineral yang telah kosong dan meminta kami untuk mengisi dari keran air. 

Kelihatannya anak itu sehat-sehat saja. Hanya mata kirinya juling dan jari kelingking kirinya tidak ada. Kami bergegas membantunya. Setelah dia pergi, kami langsung diajak makan oleh keluarga perawat di samping rumah. "frater, anak kecil tadi juga kusta", katanya kepada kami sambil tersenyum. "Haaa?", teriak kami serempak. "Ya. 

Banyak anak di kampung ini yang sudah tertular. Salah satunya anak tadi itu", perawat menjelaskan. "Tidak ada sekolah juga ya?", tanyaku antusias. "Benar, guru datang dan pergi. Mungkin tidak betah karena tempat terpencil dan sarana kurang memadai. Lebih 10 tahun sekolah tidak berjalan maksimal di sini", kata ibu ini dengan raut  sedih.

Ada rasa sesak memenuhi dadaku. Sekolah gratis dan gaji besar rupanya tidak menjadi jaminan bagi terlaksananya pendidikan yang maksimal. Ketika guru ada, siswa ikut orang tua ke hutan mencari makan berminggu-minggu lamanya. Ketika siswa ke sekolah, guru memutuskan ke kota menghabiskan waktu kosong di kota. Irama ini menjadi missing link bagi drama persekolahan yang konon berhasil. Kata pastor paroki, banyak anak tidak bisa membaca. 

Apalagi menulis. Kata-kata ibu perawat mengingatkan saya pada sharing pastor paroki, bahwa memang lebih dari 10 tahun sekolah sekarat di sini. Sepanjang makan malam, banyak hal berkecamuk di dalam hatiku. 

Dua hal yang sangat kuat dayanya seakan menarikku dari sisi yang berbeda. Ketakutan akan kusta dan rasa kasihan akan nasib masa depan anak-anak. Semuanya bermuara di tengah umat Allah di kampung ini. Tetapi bagaimana cara ke sana untuk berjumpa dengan mereka ?. Semoga Tuhan membuka jalan!. Kalimat terakhir ini terangkum dalam doa malam kami. Pasrah kepada Allah dalam takut dan cemas mungkin menjadi pilihan yang terbaik ketimbang tidak melakukan apa-apa.
 
* *
 
Ibadat hari minggu pagi ini terasa biasa-biasa saja. Aku memimpin ibadat sabda dan renungan diisi oleh Fr. Yosias. "Saudara terkasih, kami datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani". 

Tapi, waktu itu diminta memikul barang kami, kalian tidak mau datang dan kami dongkol setengah mati. "Kehadiran saya dan frater Yosias diutus oleh Uskup untuk hidup bersama di tengah umat, dan mungkin akan mengajar anak-anak". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun