Mohon tunggu...
Martino
Martino Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Freelance Writer

Gemar Menulis, Penimba Ilmu, Pelaku Proses, Penikmat Hasil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerakan Desa Bebas Korupsi: Membangun Ketahanan, Mewujudkan Partisipasi

13 November 2012   14:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:27 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Korupsi di Indonesia mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan.  Korupsi menyerang dan bersarang di institusi negara dalam berbagai tingkatan pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Tak terhitung kerugian yang ditanggung bangsa ini atas kejahatan korupsi. Efek destruktifnya merenggut hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti kesejahteraan dan demokrasi, merusak hukum serta melemahkan pembangunan. Sudah banyak kasus korupsi diungkap, banyak pula koruptor yang diadili dan dijebloskan ke penjara, namun praktik korupsi terus terjadi.

Masyarakat kini menaruh harapan besar pada Komisi Pemberantasan Korupsi, institusi yang berperan sebagai mata pedang pemberantasan korupsi. Namun pada dasarnya kekuatan terbesar penggerak pedang tersebut terletak pada partisipasi masyarakat. Upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi sulit dilakukan jika dukungan dan partisipasi masyarakat masih rendah. Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang berdaya, maka perlu didasari penanaman nilai, moralitas dan semangat anti korupsi di masyarakat. Daya tahan moralitas serta nilai anti korupsi dalam kehidupan masyarakat inilah yang menjadi kekuatan dalam mendorong keyakinan, keberanian dan responsivitas partisipasi masyarakat memerangi korupsi.

Mewaspadai Ancaman Terbesar Korupsi

Hasil survei Transparency International tahun 2011 kembali menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup dengan skor indeks persepsi korupsi sebesar 3,0. Rendahnya angka ini menggambarkan betapa parahnya korupsi di negeri ini. Namun jika melihat kenyataan dilapangan, dipastikan korupsi yang terjadi lebih buruk dari yang tergambar dalam indikator tersebut. Sejak otonomi daerah diberlakukan, pusaran korupsi terus menyebar dan tumbuh subur di tingkat daerah. Praktik korupsi seperti penyalahgunaan, penyuapan, penggelapan, gratifikasi, mark up, akrab mengintai dalam proses pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial, proyek-proyek pembangunan, proses peradilan maupun layanan publik.

Korupsi acapkali menciptakan ketidakberdayaan di masyarakat ketika bersentuhan dengan pemenuhan kepentingan publik seperti dalam proyek pembangunan, bantuan sosial dan layanan publik. Kecil namun terjadi secara jamak, korupsi konteks ini menyeret masyarakat terlibat didalamnya. Dalam banyak kasus di daerah, masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan layanan diposisikan lemah dihadapan aparatur pemerintah yang memiliki kewenangan dan legitimasi kekuasaan memberikan layanan. Demi mendapatkan layanan yang dibutuhkan, maka masyarakat cenderung akan permisif terhadap apa yang dilakukan dan diminta pihak pemerintah meskipun dalam praktiknya terindikasi korupsi. Sikap permisif masyarakat ditandai dengan adanya pembiaran dan keengganan melaporkan praktik korupsi yang terjadi secara kasat mata. Masyarakat justru terjebak dalam budaya patronalistik demi kelancaran urusannya dan menghindari konflik dengan pemerintah.

Ketika perilaku korupsi menjangkiti masyarakat, maka praktik suap, pungutan, pemotongan dana bantuan, akan dianggap sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Maka jadilah korupsi melibatkan masyarakat secara langsung dan berhasil membungkam suara masyarakat. Inilah ancaman terbesar yang kita hadapi dari budaya korupsi, yaitu terdegradasinya sistem nilai dan keyakinan anti korupsi dalam masyarakat. Masyarakat kehilangan keberanian memegang teguh nilai untuk memerangi korupsi yang diindikasikan dengan munculnya sikap permisif dan acuh terhadap praktik korupsi. Hal ini disebabkan oleh ketidakberdayaan dan rasa frustasi masyarakat melawan korupsi. Jika masyarakat telah terbiasa dengan pola perilaku yang korup, maka akan sangat sulit menemukan kekuatan untuk memberantas korupsi yang terlanjur menggurita di Indonesia.Pada akhirnya partisipasi masyarakat yang diharapkan dapat mendorong pencegahan dan pemberantasan korupsi akan sulit terwujud.

Menggagas Gerakan Desa Bebas Korupsi

Penanaman nilai-nilai anti korupsi sangat penting dilakukan sebagai fondasi perlawanan terhadap korupsi. Sikap permisif dan acuh terhadap korupsi dapat dicegah jika sistem nilai anti korupsi di masyarakat tertanam kuat. Penanaman nilai anti korupsi akan membentuk daya tahan moralitas, keberanian, dan responsivitas mencegah dan memberantas korupsi. Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah membangun gerakan desa bebas korupsi. Desa bebas korupsi merupakan gerakan yang dapat diinisiasi warga masyarakat secara bottom-up, sebagai proses konstruksi dan implementasi sistem nilai anti korupsi mulai dari lingkungan terkecil seperti rukun tetangga, rukun warga, dusun, hingga mendorong pencanangan desa sebagai wilayah bebas korupsi.

Inisiatif ini berangkat dari kepedulian dan keinginan besar untuk berkontribusi terhadap proses pencegahan dan pemberantasan korupsi. Proses diawali dengan membangun wawasan dan kesatuan sikap memerangi korupsi melalui komunikasi, sosialisasi dan edukasi antar warga masyarakat dalam forum-forum warga. Masyarakat ditanamkan pemahaman bahwa berkontribusi dalam cegah-berantas korupsi harus diawali melalui implementasi nilai anti korupsi dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat. Dari sana diharapkan terwujud kesatuan sikap dan komitmen tingkat rukun tetangga, rukun warga, dan dusun sehingga melahirkan konsensus antar warga untuk menjunjung tinggi nilai dan semangat anti korupsi dalam perilaku dan struktur kemasyarakatan. Kekuatan kolektif masyarakat ini selanjutnya digunakan untuk mendorong pemerintah desa mencanangkan kawasan bebas korupsi di wilayahnya sekaligus mendorong komitmen penyelenggaraan fungsi pemerintahan berlandaskan prinsip anti korupsi.

Pencanangan desa bebas korupsi sebagai bentuk gerakan sosial-moral menjadi saluran partisipasi masyarakat untuk tumbuh dan berdaya dalam melawan korupsi. Masyarakat berperan saling menguatkan nilai dan moralitas anti korupsi untuk memastikan setiap kegiatan pemenuhan kepentingan publik bebas dari unsur korupsi. Dalam sistem tersebut diimplementasikan sanksi sosial yang disepakati dalam konsensus antar masyarakat terhadap tindakan pembiaran terhadap praktik korupsi. Di tingkat yang lebih tinggi, masyarakat bertindak melakukan pengawasan (public watchdog) terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan, pelayanan publik, pembangunan serta penggunaan anggaran di tingkat desa. Masyarakat mendorong pemerintah desa untuk transparan dan akuntabel sebagai bentuk komitmen yang diikrarkan bersama masyarakat untuk membangun desa bebas korupsi. Masyarakat bersama dengan pemerintah desa memastikan pelayanan publik, proyek pembangunan maupun penyaluran bantuan kepada masyarakat bebas dari korupsi. Jika terdapat perbuatan aparat pemerintah tingkat desa maupun aparat pemerintah di tingkat yang lebih tinggi terindikasi korupsi, maka masyarakat dapat menjalankan perannya sebagai pelapor (whistleblower) atas tindakan tersebut.

Desa bebas korupsi merupakan inovasi gerakan membangun dan mengimplementasikan secara konsisten nilai, moralitas dan semangat anti korupsi di masyarakat. Nilai dan semangat anti korupsi yang terbangun, akan menjadi kekuatan masyarakat untuk berkontribusi mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat berdaya bersama pemerintah desa membangun wilayah bebas korupsi sekaligus menjalankan fungsi pengawasan dan pelaporan terhadap indikasi praktik korupsi. Keberhasilan membangun desa bebas korupsi diharapkan memotivasi dan mendorong masyarakat daerah lain untuk melakukan replikasi hal serupa. Sehingga dengan kian gencarnya pencanangan desa bebas korupsi diberbagai daerah, akan semakin memperbesar kekuatan dan partisipasi masyarakat dalam upaya perlawanan terhadap korupsi. Dengan demikian masyarakat dapat meningkatkan perannya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi mulai dari lingkungan terkecil dan berkontribusi bagi perwujudan kemanfaatan di lingkup yang lebih besar.

(Martino)

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba penulisan nasional anti korupsi KPK (Indonesia Menulis)

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun