I. Ideologi Sosialisme
Apakah ideologi sosialisme itu? Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni idea (gagasan) dan logos (studi tentang, ilmu pengetahuan tentang). Idelogi artinya sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis dan sosial. Istilah "ideologi" dipergunakan oleh Marx dan Engels mengacu kepada seperangkat keyakinan yang disajikan sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain adalah pencerminan kondisi-kondisi material masyarakat.
Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok.
Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme [lihat tabel]. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970an. Sama halnya dengan anarkisme yang terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
Uraian diatas menimbulkan banyak pertanyaan diantara kita, apakah Marxisme sebagai dasar sosialisme yang mengklaim dirinya ilmiah masih layak dipakai? Bagaimanakah masa depan sosialisme nantinya? Bagaimanakah peran ideologi dalam sebuah perjalanan bangsa?
II. Kegagalan Marxisme
Banyak diantara para pemikir sosialis maupun praktisi gerakan gerakan sosialisme masih mengandalkan Marxisme sebagai dasar pemikiran maupun gerakannya. Ada yang menggunakan Marxisme secara kritis akan tetapi ada juga yang secara dogmatis memujanya habis habisan hingga saat ini. Kecenderungan kecenderungan demikian terjadi tidak hanya di negara-negara Eropa akan tetapi juga di negara-negara dunia ketiga sepertihalnya Indonesia. Di Eropa, Marxisme digunakan sebagai alat analisa pemikiran, artinya peran Marxisme lebih berlaku pada perdebatan-perdebatan intelektual filsafat dalam melahirkan berbagai varian varian baru. Sementara di negara-negara dunia ketiga dimana tingkat kegiatan praksis sosialisme lebih berjalan, Marxisme masih menjadi ideologi dasar dan terutama bagi mereka yang baru saja lepas dari kungkungan rezim otoriter militeristik dimana Marxisme masih memukau seperti 'menemukan air ditengah dahaga ideologi' dengan teori-teori pembebasannya.
Harus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif.
Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat faktor faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.