Setiap pagi jam 6, Bang Andi sudah berdiri tegak di pos security sebuah gedung perkantoran di Tangerang. Seragam birunya yang mulai lusuh menjadi saksi bisu perjuangannya menghidupi seorang istri dan empat anak dengan gaji UMR. Sementara para karyawan lain sibuk mengejar target karir, Bang Andi bertaruh dengan sunyi, menahan kantuk, dan memastikan keamanan orang-orang yang lalu lalang. Dalam diamnya, ada pertanyaan besar yang menggayuti: "Apa arti semua ini?"
Paradoks Pekerjaan - Bekerja untuk Hidup yang Tak Pernah Cukup
Matematika kehidupan Bang Andi sederhana namun pahit:
- Gaji UMR: Rp 5.000.000/bulan
- Kebutuhan dasar 6 orang: Rp 7.000.000/bulan
"Setiap akhir bulan, saya selalu minus," katanya dengan senyum getir. "Tapi mau bagaimana lagi? Harus tetap semangat untuk anak-anak."
Inilah paradoks level dasar bekerja: kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan, namun hasil kerja tak pernah cukup. Seperti hamster di roda, kita terus berlari tetapi tetap di tempat yang sama.
Tangga Makna - Dari Survival hingga Transcendence
Namun, jika kita melihat lebih dalam, bekerja memiliki lapisan makna yang lebih kompleks:
Level 1: Survival
Bagi Bang Andi, bekerja adalah soal hidup mati. "Yang penting anak-anak bisa sekolah dan makan," ujarnya.
Level 2: Identitas
"Saya security," adalah kebanggaan sederhana yang memberinya tempat dalam masyarakat.
Level 3: Kontribusi
"Saya merasa bertanggung jawab pada keamanan penghuni gedung ini," katanya dengan mata berbinar.
Level 4: Transcendence
"Saya berdoa, mungkin dengan jujur dan tekun bekerja, rezeki anak-anak saya akan lebih baik kelak."