Mohon tunggu...
Martin Rambe
Martin Rambe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup hanya sementara. Menghabiskan setiap detik dengan baik, menggunakannya untuk hak-hal yang positif, dan tidak pernah lupa untuk bersyukur: itulah yang selalu aku cita-citakan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersama Anies Kecil

3 Oktober 2014   18:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:30 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BERSAMA ANIES KECIL

part 1

Tempat ini sengaja aku pilih. Sebuah bangku bentuk memanjang tanpa sandaran. Saya yakin bangku ini terbuat dari kayu jati terbaik. Warna catnya yang kecoklatan tampak elegan. Kursi ini hanya dapat menampung dua orang, dengan posisi duduk yang sangat sempurna. Jarang-jarang ada kursi se-elegan ini di sebuah taman yang dipenuhi keindahan dan harum semerbak beragam bunga. Aku tidak begitu tahu nama-nama bunga, tapi aku mengenal bungayang ada tepat di depan bangku ini, ada bunga mawar, melati dan sedikit agak jauh ada bunga matahari. Ya, aku memang sengaja memilih tempat ini. Aku ingin semua lepas, bebas, dan plong. Bahkan cuaca cerah ini aku yakin adalah jawaban Tuhan atas doa-doaku. Ya, ini semua aku sengaja untuk pertemuan yang jarang dimiliki orang lain. Aku yakin pagi-pagi begini jarang orang lain mendapat kesempatan bertemu dengan idola banyak orang ini. Kalau pun ada pertemuan khusus, pasti dilakukan siang, sore, atau malam. Aku bersyukur mendapat kesempatan yang sudah lama kunanti.

“Insya Allah jam 7.00 WIB saya sudah di tempat” demikian bunyi sms pak Anies Rasyid Baswedan dua hari yang lalu.

Aku sengaja sedikit lebih cepat datang, tentunya aku tidak mau pak Anies duluan yang tiba di tempat. Aku tidak ingin membuat pak Anies kecewa sedikit pun.

Aku melirik jam tangan, 06.47. “Pasti bentar lagi nongol” gumamku

Sambil mempersiapkan diri bertemu idola, aku menduduki bangku yang sejak tadi aku pandangi dengan bunga-bunga di depannya. Aku membayangkan cara duduk, cara bicara, dan posisi yang paling tepat berhadapan dengan sang idola.

“Halo Martin, sudah lama nyampe?” Suara yang sangat khas itu tiba-tiba membuyarkan bayangangku.

Akh, sejenak aku tertegun. Tidak nyangka wajah itu benar-benar ada di depanku dan sungguh menyapa dengan suara yang dikenal banyak orang sebagai suara yang sangat adem dan bersahabat. Suara itu mampu mendinginkan panasnya hati, mengademkan suasana peperangan.

“Halo?”

Sedikit sadar aku melihat pak Anies melambaikan tangannya tepat di depan pandanganku. Itu ternyata cara yang ampuh untuk mengembalikanku ke titik normal.

“H..halo pak? Duduk duduk pak!” Sapaku. Aku langsung berdiri dan mengulurkan tangan.

Kami bersalaman.

“Maklum pak, gak nyangka aja akhirnya ketemu pak! Biasanya melihat dari jauh atau dari TV, tapi kali ini mimpi ketemu bapak kahirnya kesampaian”

“Akh, kamu ada-ada saja, Tin. Jadi, tadi sudah lama mengunggu?”

“Kalau menunggu ketemu sebenarnya sudah bertahun-tahun pak, hehe... Nggak kok pak, baru aja tadi. Hm, sebenarnya bapak pernah ke USU, aku kuliah disana pak. Waktu itu acara Metro TV Goes to Campus. Tapi, dapat jatah bertanya aja waktu itu enggak pak. Huh!” Kenangku kesal.

“Haha, tapi kali ini tampaknya kamu banyak pertanyaan nih...” Pak Anies mencoba menebak.

“Oh iya, pasti itu pak! Pasti! Gimana bapak mau persiapan dulu? Mungkin makan dulu atau gimana gitu pak? Soalnya bakal lama ini pak, heheh....” Aku coba bercanda

“Hahah, nggak akh, ntar malah kamu yang gak tahan, saya sih udah biasa!” Tantang pak Anies.

“Hehe. Oh ya pak, aku udah gak sabar mau nanya-nanya nih”

“Iyah, ayo mulai....” Pak Anies sambil menggerakkan tubuhnya mengambil posisi wena. Dengan gayanya, ia menyilangkan kedua tangannya tepat menempel di dada, tangan kiri agak lebih tinggi hampir mencapai dagu.

“Baik pak. Karena baru kali pertama, aku mau tanya arti nama. Apa arti Anies pak? Itu nama yang sangat enak di dengar pak, sama seperti suara bapak!”

“Jadi nama lengkap saya kan Anies Rasyid Baswedan. Kalau kata abah Anies artinya teman duduk. Ibu bilang saya diberi nama Anies juga untuk mengenang kakak saya yang bernama Anisah yang sudah meninggal. Kalau Rasyid itu nama abah saya dan Baswedan itu nama keluarga, seperti marga”

“Ooh. Saya sangat ingat loh ulang tahun bapak, tanggal 7 Mei, dan bapak lahir tahun 1969. Jadi sekarang bapak sudah berusia...”

“45 tahun” Pak Anies menimpali.

“Iyap! Jadi kan sekarang bapak sudah menjadi seseorangyang terkenal, bukan hanya nasional tapi juga internasional. Aku penasaran masa kecil pak Anies gimana ya sehingga bisa begini?”

“Wah, masa kecil saya itu sebenarnya tergolong tidak baik. Saya suka berkelahi. Saya tergolong nakal lah”

“Oh ya, bisa cerita pak gimana itu bapak dulu bisa berkelahi”

“Saya memang tipe orang yang aktif. Saya tidak bisa diam. Jadi kalau sedang bermain, saperti bermain bola, kadang saya tidak suka cara bermain teman-teman yang lain, jadi saya tidak segan-segan menonjok wajahnya atau kepalanya. Bahan kadang sampai berdarah-darah saya pukul. Kadang karena ada beberapa anak yang tidak suka sama saya, mereka mengeroyok saya. Tapi saya tidak pernah takut. Saya terus melawan! Meski akhirnya kalah. Ya, orang dikeroyok, mereka kadang berlima melawan aku sendirian. Ya, kalah” Kenangnya

“Oh ya, jadi bapak menangis dan mengadu sama orangtua?”

“Nggak, oh itu nggak pernah saya ngadu. Bahkan kata ibu dia pernah melihat saya dipukuli teman-teman, tapi dibiarkan!”

“Oh ya? Sedih banget ya pak!”

“Tapi justru menurut saya itu baik. Itu mengajari saya untuk dapat mengatasi masalah sendiri. Saya juga tidak menangis kalau berantam, selain lebih sering menangnya, saya pikir ngapain nangis. Kalau ada sakit itu resiko, ya harus ditanggung!”

“Waw, sejak kecil bapak memang sudah mampu mengambil pelajaran dari suatu kejadian dan bertanggungjawab ya pak. Itu kan kalau di lingkungan permainan, kalau di rumah gimana pak?”

“Ya, di rumah, saya beryukur dilahirkan di dalam sebuah keluarga yang mengerti pendidikan. Abah dan ibu saya kan dosen, jadi mereka sangat mengerti cara mendidik. Di rumah, kami anak-anaknya diberi ruang untuk menyampaikan ide, bahkan berdebat. Itu terjadi di meja makan, kami memang selalu dibiasakan makan bersama. Terkadang abah sama ibu mengutarakan sesuatu yang memancing kami untuk berdebat di meja makan. Ada banyak hal yang abah dan ibu ajarkan di meja makan, bukan hanya berdebat. Dalam hal pembagian lauk misalnya, kan saya bersaudara tiga orang. Jadi, jika lauknya hanya telur dadar, nanti salah seorang dari kami bertugas memotong telur dadar itu menjadi lima bagian, kemudian yang bertugas memotong mengambil bagiannya paling akhir. Beginilah cara orangtua menanamkan nilai keadilan, pemerataan, dan saling berbagi. Demikian juga pembagian nasi, dan lain-lain. Kami diajarkan demikian”

“Waw! Kalau sekolah ni pak, bisa cerita pak soal sekolah bapak dulu?”

“Waktu itu kata ibu, usia saya masih tiga tahun dimana saya terus merengek untuk sekolah. Akhirnya niat sekolah dikabulkan, saya pergi ke sekolah diantar-jemput pak Gimin, tukang becak. Saya senang sekali waktu itu. Tapi setelah tiba di sekolah, kadang saya mau pulang. Kadang saya terus merengek agar di antar ke sekolah. Tapi orangtua terus memenuhi keinginan saya kapan pun mau ke sekolah. Menurut pengakuan ibu, di usia saya yang lima tahun baru resmi terdaftar sebagai TK di Masjid Syuhada, dan pada usia enam tahun baru SD. Waktu itu, hari pertama masuk SD, saya tidak mau tuh berangkat karena belum dibeliin tas, lalu entah dapat darimana ibu memberikan tas, baru saya berangkat. Hehe...” Kenang pak Anies lagi

“Lalu di sekolah dapat juara 1 terus pak?”

“Ha?... haha, tidak! Saya tida pernah juara. Saya paling dapat 10 besar, tapi juara tidak pernah. Malah negerepotin, dulu saya suka berkelahi di sekolahan. Makanya ibu sering dipanggil ke sekolah”

“Oh ya? Terus bapak berhenti berkelahi?”

“Tidak juga! Ibu juga tidak melarang. Terakhir, saya tahu ibu tidak melarang karena katanya itu bentuk sosialisasi juga. Makanya dibiarkan asalkan tidak berbahaya”

“Oh ya, bapak sekolah di SD Laboratori kalau tidak salah, itu kan sekolah yang cukup terkenal di Jogja waktu itu pak...”

“Iyah, disana rata-rata orang kaya. Mereka ke sekolah diantar naik mobil, bus, sepeda motor, sedangkan saya diantar naik sepeda. Itu membuat saya malu waktu itu, kan saya minder. Untungnya hanya dua tahun, di kelas 3 saya dibelikan sepeda. Jadinya saya tidak diantar lagi, dan sejak saat itu saya tidak mau lagi berkelahi. Enaknya naik sepeda sendiri itu, saya bebas kemana saja setelah pulang sekolah. Saya memang jalan-jalan, jadi kalau pulang sekolah saya tidak langsung ke rumah, tetapi jalan-jalan dulu”

“Waw...

“Dring-dring-dring....” Handphone pak Anies tiba-tiba berbunyi mengagetkan kami berdua.

“Angkat saja pak!” Kataku

Pak Anies lalu mengambil handphonenya. Kemudian masih dalam keadaan duduk, pak Anies berbicara dengan sesorang di sebrang telepon.

“Tampaknya pak Anies harus pergi” pikirku mendengar percakapannya

“Tin, saya minta maaf. Ini ada urusan mendadak, saya harus pergi nih. Gimana? Gak apa-apa kan? Kita bisa atur waktu untuk bertemu lagi. Saya janji deh akan meluangakn waktu” Kata pak Anies setelah menutup telepon.

“Oh ya, gak apa-apa pak. Iya-iya pak. Saya mengerti!”

“Ok ya Tin, terimakasih banyak ya!” Pak Anies mengulurkan tangan sambil beranjak dari bangku kami duduk.

“Iya harusnya saya yang mengcapkan terimakasih pak, ok baik-baik pak! Hati-hati pak”

Aku mengakhiri percakapan. “Aku akan kembali mengatur waktu pertemuan, itu pasti.!” Gumamku.

(Diolah dari berbagai sumber menjadi percakapan imajiner)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun