Setiap orang tua selalu mendambakan anak yang cerdas, sehat lahir-batin serta berakhlak mulia. Espektasi tersebut tidaklah berlebihan, bahkan cukup rasional dan bersifat generik. Karena secara teologis kehadiran manusia di muka bumi ini sebagai khalifah dan ibadurrahman. Hal tersebut berimplikasi pada adanya cita-cita, pemahaman dan tindakan manusia itu sendiri. Maka, dambaan mengenai anak sholeh oleh setiap orang tua, merupakan suatu harapan yang sangat manusiawi.
Untuk mewujudkan espektasi yang relatif berat tersebut, manusia memerlukan perangkat yang memadai. Memadai dalam maksud yang lebih sederhana adalah, sejumlah upaya komprehensif-integratif, mewadahi kebutuhan fisik, biologis dan kerohanian manusia. Upaya inilah kemudian dikenal secara luas dengan sebutan pendidikan.
Kesadaran akan pendidikan sebagai mediator espektasi generik manusia pada realitas faktuil telah menjadi kesadaran universal. Dalam konteks ke-Indonesiaan, kesadaran tersebut tertuang secara konstitusional. Dalam hal ini, pendidikan yang dimaksudkan adalah, sejumlah upaya yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan potensi peserta didik agar memiliki kapasitas kekuatan spritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan.31
Begitu besar dan dalamnya ruang lingkup pendidikan, sehingga butuh suatu pemahaman yang utuh bagi setiap manusia yang membutuhkannya. Pemahaman tersebut menempati unsur yang lebih penting daripada pendidikan itu sendiri, karena tanpa pemahaman yang utuh, maka manusia tidak akan pernah sampai kepada hakikat pendidikan itu sendiri. Namun demikan, dalam kehidupan nyata terdapat pemahaman yang tumpang tindih mengenai pendidikan.
Pendidikan sering kali disejajarkan dengan pengajaran, bahkan malah disamakan. Suatu pemahaman yang tidak hanya rancu, akan tetapi tentu sudahkeliru. Fenomena serupa dalam kehidupan nyata, terdapat sekelompok masyarakat yang sering kali mengidentikkan sekolah dengan pendidikan, padahal sekolah itu hanya bagian dari tempat belajar bagi peserta didik. Disinilah kemudian berbagai kekeliruan itu dimulai, baik oleh para orang tua sebagai pemilik
espektasi, maupun oleh para guru sebagai pemangku amanah untuk mengantarkan para pesertadidik menuju harapan setiap orang tua.
Para orang tua dengan tanpa pertimbangan apapun, menyerahkan sepenuhnya perkembangan putra-putrinya kepada para guru di sekolah. Seakan-akan guru memiliki segalanya untuk memenuhi espektasi orang. Sejumlah espektasi kesuksesan masa depan putra-putri para orang tua benar-benar berada di tangan para guru, sehingga dalam hal ini guru menjadi profesi setengah dewa.
Di pihak lain, para guru yang sejatinya adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasa. Namun demikian, beban amanah espektasi tersebut rupanya diterima juga, baik secara sadar maupun tidak sadar. Sehingga hal tersebut memicu adanya berbagai metode, pendekatan dan teknis yang diterapkan untuk memenuhi espektasi orang tua. Di sisi yang lain, para gurupun seakan enggan untuk disudutkan walau juga tidak pernah mengajukan keberatannya.
Dua fenomena di atas terus bersemi dengan berbagai variannya. Terdapat sekelompok orang tua yang begitu nampak relegius dengan mengedapankan cita-cita simbolik, seperti keinginan menjadikan anaknya sebagai hafidh (penghapal qur'an), begitu juga di sisi yang lain terdapat sekelompok guru yang juga mengupayakan membangun lembaga pendidikan yang sangat relegius, dengan menyematkan visi dan misi pendidikan yang sangat ukhrawi.
Gejala di atas seakan tidak terdapat kekeliruan, oleh karena simbol dominan kesuciannya yang terdapat di dalamnya. Bahkan hal tersebut dianggap suatu awal dari kebangkitan pendidikan, walau pada hakikatnya belum dapat memenuhi kebutuhan manusia yang sesungguhnya. Secara implisit kesadaran model seperti yang disebutkan di atas, adalah kesadaran yang tidak berimbang dengan konteks kehidupan manusia, dimana manusia saat ini hidup di dunia serta sedang menuju ke akhirat.
Sementara jika dilihat dari sisi peserta didik itu sendiri terdapat tekanan-tekanan yang cukup serius. Tekanan tersebut datang dari egosime espektasi orang tua mereka sendiri maupun berbagai upaya yang juga dilakukan oleh para guru di sekolah untuk memenuhi espektasi orang tua. Kedua belah pihak antara orang tua dan guru seakan menihilkan keberadaan dan kondisi para peserta didik, sehingga persoalan pendidikan seakan-akan hanya relasi transaksional antara orang tua dan guru.