Bertolak dari headline berita bertajuk "Sertifikasi Guru Baiknya Menggunakan Grade dan Bisa Diperbaiki Tiap Tahun!", kondisi guru yang lebih mementingkan proses sertifikasi lalu mengabaikan proses pembelajaran siswa, cukup membuat saya mengernyitkan dahi.  Kondisi seperti ini memang lazim ditemui pada beberapa sekolah.  Berdasarkan pengalaman saya yang pernah mengajar di beberapa sekolah swasta, pemandangan seperti ini jarang saya temui.  Namun, cerita-cerita mengenai guru yang seringkali "hanya" meninggalkan tugas bagi siswa-siswanya saat jam pelajaran, bukanlah hal baru.
Kegiatan Belajar Mengajar, atau yang seringkali disebut dengan KBM, lazimnya merupakan interaksi dua arah antara guru dan murid.  Adakalanya, dalam beberapa pertemuan tertentu, guru memang perlu memberikan tugas untuk mempertajam pemahaman siswa atas suatu topik pelajaran.  Durasi yang dibutuhkan siswa untuk mengerjakan tugas tersebut adakalanya juga bisa memakan cukup banyak waktu, namun bukan berarti siswa bisa "ditinggalkan" mengerjakan semuanya sendiri sementara gurunya sibuk mengerjakan hal yang lain untuk kepentingan pribadinya. Â
Apakah fenomena "meninggalkan tugas untuk siswa" memiliki korelasi dengan kualitas anak didik? Â Memang belum pernah ada penelitian yang secara khusus meneliti hal tersebut. Â Namun, marilah kita kupas dari dua sisi. Â Sisi positifnya, fenomena ini memberikan ruang segar bagi siswa di tengah-tengah kepenatannya. Â Ibaratnya, mereka memiliki waktu tambahan untuk sekedar bersantai dan bercengkrama dengan teman-temannya tanpa pengawasan guru. Â Sisi negatifnya, beberapa siswa menganggap biasa untuk menyontek hasil pekerjaan temannya pada menit-menit terakhir jam pelajaran. Â Mayoritas siswa cenderung tidak menganggap serius tugas-tugas tersebut. Â Apabila siswa hanya berorientasi untuk menyelesaikan tugas, tanpa adanya usaha untuk memahami topiknya lebih mendalam, maka proses KBM hasilnya nihil. Â Siswa tidak sadar, guru telah mengorbankan hak mereka untuk memperoleh pengajaran yang efektif.
Tugas guru memang banyak.  Apalagi jika menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan sertifikasi.  Banyak berkas-berkas yang harus dipersiapkan guna lolos proses sertifikasi.  Namun, apakah kesibukan mengurus hal tersebut sepadan dengan mengorbankan hak belajar siswa dalam proses KBM?  Saya pikir tidak.
Kenyataannya, kualitas siswa yang diajari oleh guru-guru yang tersertifikasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan siswa yang diajari oleh guru yang belum tersertifikasi. Â Lalu apakah kegunaan sertifikasi hanya untuk menjamin "dapur" sang guru tetap mengepul dengan tunjangan-tunjangan yang diperoleh?
Sebagai seorang guru yang aktif menjadi pengamat di beberapa forum pendidikan di beberapa media sosial, berita-berita mengenai sertifikasi guru lumayan membuat saya tergelitik.  Berita-berita tentang sertifikasi guru yang umumnya berseliweran di forum-forum pendidikan biasanya sangat erat dengan hubungannya dengan tunjangan-tunjangan hidup sebagai seorang guru.  Bicara menyoal tunjangan artinya bicara menyoal uang.  Bicara tentang uang, bicara soal urusan "makan, diberi makan, atau memberi makan" diri kita sendiri dan orang-orang di sekeliling kita.  Tidak heran apabila pembicaraan ini cukup pelik apabila dibahas, serta berpotensi menimbulkan pro dan kontra.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai korelasi antara sertifikasi guru dan kualitas anak didik, ada baiknya saya menegaskan posisi saya terlebih dahulu.  Saya adalah seorang guru yang tercatat belum memiliki sertifikasi.  Jika ditanya, apakah saya berminat untuk mulai mengurus proses sertifikasi, maka jawaban saya adalah untuk saat ini hal itu belum menjadi prioritas saya.  Namun, tentulah prioritas tersebut bukanlah suatu hal mutlak yang perlu ditiru oleh guru-guru lain.  Bicara soal prioritas, tentulah kembali lagi pada pilihan hidup masing-masing individu, bukan?
Saya tidak menentang proses sertifikasi.  Bukan tidak mungkin, kelak saya juga akan mengurus proses sertifikasi guru nantinya.  Kualitas anak didik yang terbentur dengan kondisi "sering ditinggalkan tugas" oleh guru yang kini menjadi perhatian saya.  Alih-alih mengejar sertifikasi demi "urusan dapur" pribadi, masih adakah guru-guru yang mengedepankan kualitas anak didiknya terlebih dahulu?  Seandainya prosedur sertifikasi guru memiliki tingkatan-tingkatan yang fair dalam menilai kinerja seorang guru, maka  hak-hak anak didik dalam proses KBM tidak perlu dikorbankan.
Sumber Gambar: